Dengan pongahnya, negara terus mengklaim diri sebagai “kampiun ekonomi hijau”. Namun klaim itu terdengar seperti lelucon murahan ketika banjir bandang dan tanah longsor menghantam tiga provinsi di Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Tragedi itu bukan sekadar efek Siklon Senyar, sebagaimana yang dikatakan BMKG. Ia adalah buah dari pembangunan yang gagal memahami, apalagi menjaga ekologi. Ratusan jiwa meninggal dan ribuan orang mengungsi bukanlah angka-angka statistik, mereka adalah nyawa yang dikorbankan oleh kebijakan yang buta pada daya dukung lingkungan.
Di antara puing rumah serta kubangan lumpur, ada satu artefak yang muncul berulang kali—kayu gelondongan. Kayu-kayu itu adalah saksi paling jujur. Ia hanya diam—tapi keberadaannya mengungkap cerita sebenarnya. Ada tangan-tangan serakah yang merampas hutan dan menyebutnya pembangunan.
Temuan WALHI Sumatera Utara dan analisis para pakar lingkungan di UGM memperkuat itu, bencana di Sumatera adalah kombinasi mematikan antara curah hujan ekstrem dan kerusakan ekologis jangka panjang. Hutan hilang karena ekspansi sawit, izin HPH, dan pertambangan legal maupun ilegal. Daerah Aliran Sungai kehilangan penyangga alami. Akar pohon—spons raksasa yang menahan air—direnggut. Lereng bukit yang dibuka menjadi rapuh, menunggu saat untuk jatuh.
Baca juga:
Maka ketika hujan ekstrem datang, air tidak lagi meresap. Ia meluncur sebagai limpasan yang membawa lumpur, batu, dan gelondongan kayu—bukti telanjang dari kejahatan ekologis yang dirakit secara sistematis. Hujan hanyalah pemicu kecil, bom waktunya sudah dirakit jauh sebelumnya oleh kebijakan yang mengabaikan alam.
Bencana ini adalah potret sempurna dari model pembangunan yang didorong oleh extractivism—pertumbuhan ekonomi yang lahir dari perampokan alam. Di panggung global, Indonesia rajin menampilkan diri sebagai negara yang patuh pada Agenda 2030, pejuang iklim, dan pionir energi hijau. Tetapi apa yang terjadi di Sumatera, memperlihatkan bagaimana pembangunan justru bersifat zero-sum game—keuntungan modal memperoleh tempat utama, keamanan ekologis dianggap dapat dinegosiasikan, dan nyawa masyarakat lokal adalah biaya operasional.
Banjir bandang tidak hanya menghanyutkan desa, ia menghanyutkan kredibilitas narasi “pembangunan berkelanjutan.” Bagaimana mungkin sebuah negara mengklaim kemajuan ekologis melalui REDD+ atau NDC, sementara ratusan hektar hutan terus dikonversi demi komoditas yang melayani pasar global?
Inilah sinisme paling telanjang, pertumbuhan PDB dirayakan di Jakarta sedangkan ongkos ekologisnya dibayar di Sumatera. Lalu para korban disebut “korban bencana alam”, seolah alam-lah yang memulai kekacauan ini.
Model Pembangunan yang Cacat
Dalam kacamata pembangunan, framing pemerintah terhadap bencana Sumatera justru memperlihatkan betapa dangkalnya paradigma yang digunakan. Narasi resmi yang menyebut tragedi ini sebagai “dampak cuaca ekstrem” adalah warisan logika pembangunan modernisasi, yang memosisikan alam sebagai hambatan teknis dan menjadikan pembangunan sebagai proses linier menuju kemajuan.
Di bawah logika ini, bencana dianggap kejadian alam yang dapat “diadaptasi” melalui teknologi, bukan sebagai konsekuensi dari model pembangunan itu sendiri. Dengan kata lain, problemnya selalu kurang canggih, bukan salah arah.
Padahal jejak kerusakan ekologis di Sumatera lebih cocok dibaca melalui kritik teori ketergantungan (dependency theory). Ekspansi sawit, tambang, dan HPH yang merusak lingkungan bukan hanya kebijakan nasional, ia adalah bagian dari rantai produksi global yang memaksa negara-negara pinggiran seperti Indonesia mengekspor bahan mentah dan menanggung seluruh ongkos ekologisnya. Negara terjebak dalam posisi komprador—melayani kepentingan modal global sambil menyingkirkan keamanan ekologis rakyatnya sendiri.
Baca juga:
Sementara itu, praktik framing bencana sebagai “perubahan iklim global” juga mencerminkan cara negara menjaga legitimasi dalam rezim pembangunan internasional. Selama narasi diarahkan pada iklim sebagai aktor utama, negara dapat mempertahankan citra sebagai “agen pembangunan modern”—selaras dengan Agenda 2030, NDC, dan program hijau lainnya—meski kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
Dalam perspektif post-development, framing ini bukan sekadar salah sasaran, ia adalah bentuk kontrol wacana. Bencana tidak dibaca sebagai kegagalan struktural pembangunan, tetapi sebagai gangguan minor dalam imajinasi kemajuan. Dengan terus mengulang kata “pembangunan,” negara menutupi pertanyaan paling sederhana—pembangunan seperti apa yang membuat rakyat semakin rentan dan tanahnya semakin rapuh?
Di titik ini, bencana Sumatera bukan hanya persoalan curah hujan atau perubahan iklim, tetapi cermin dari paradigma pembangunan yang cacat—paradigma yang memuja pertumbuhan, mengabaikan batas ekologis, dan berpihak pada modal. Selama cara pandang ini tidak berubah, kita hanya menunggu episode berikutnya dari drama yang sama, bencana yang dijelaskan dengan baik, tapi tidak pernah dipahami apalagi dicegah.
Bencana di Sumatera adalah pengingat bahwa alam tidak pernah menghukum, ia hanya merespons perlakuan manusia. Sudah waktunya negara menggelar konferensi pers yang isinya daftar panjang nama perusahaan dan pejabat yang turut berperan dalam menjadikan tanah di Sumatera sebagai bubur kematian. (*)
Editor: Kukuh Basuki
