Manipulasi Sejarah dari Galeri

Karunia Haganta

3 min read

Manipulasi sejarah adalah fondasi rezim otoriter. Dengan manipulasi sejarah, rezim menyingkirkan lawan politiknya dengan membuatnya menjadi asing dan tidak punya peranan serta hak untuk hadir dan tumbuh. Dengan manipulasi sejarah pula, rezim dapat memanipulasi pikiran rakyatnya, dengan mengatur siapa lawan dan siapa kawan, dan menjadikan kepentingan kekuasaan sama dengan kepentingan bersama. Sejarah manipulasi sejarah di Indonesia sudah berlangsung lama, dan kini rezim Prabowo-Gibran ingin memulai manipulasi lainnya.

Beberapa yang mengundang perhatian warga di antaranya adalah penulisan ulang sejarah Indonesia serta usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Sosok penting di balik dua upaya tersebut adalah Fadli Zon. Kedekatannya dengan Prabowo dibuktikan dengan besarnya penghambaan yang Fadli lakukan selama ini untuk memoles citra Prabowo. Riset Purdey (2016) memotret upaya Prabowo untuk mengglorifikasi bukan hanya dirinya, tetapi juga empat generasi keluarganya. Fadli Zon berperan penting dari mengatur film sampai penerbitan buku yang tidak hanya ingin menunjukkan kekuasaan Prabowo, tetapi juga penyangkalan terhadap dosa-dosa rezim otoriter Orde Baru, termasuk Prabowo di dalamnya.

Pola-pola manipulasi sejarah lewat produk-produk yang sifatnya populer kini makin gencar setelah Prabowo menjabat sebagai presiden. Tampaknya bukan kebetulan pada bulan Agustus 2025, buku mengenai Soemitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo) dan Margono Djojohadikusumo (kakek Prabowo) terbit dengan acara besar-besaran. Bukan hanya buku, galeri seni juga jadi metode manipulasi sejarah yang digunakan rezim Prabowo. Pada Desember 2024, pameran di Museum Nasional meneruskan mentah-mentah narasi “Indonesia sebagai peradaban tertua”. Pameran yang kontroversial tersebut, toh, nyatanya tetap terlaksana.

Baca juga:

Upaya serupa kembali dilakukan Fadli Zon, dan kali ini tidak memperoleh banyak perhatian publik tetapi wajib diwaspadai. Ini dilakukannya melalui pameran Henk Ngantung: Seni dan Diplomasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang berkolaborasi dengan Fadli Zon Library, Museum Seni Rupa dan Keramik, dan Galeri Nasional pada 17 Agustus-31 Oktober 2025.

Pameran Henk Ngantung dan Penghapusan Lekra

Bagi pengunjung yang awam, pameran tersebut mungkin tidak memiliki masalah. Puluhan lukisan Henk Ngantung dihadirkan di situ, termasuk lukisan Memanah yang paling menonjol. Adanya teknologi interaktif yang berisi gambar dari puluhan lukisan Henk Ngantung dari masa ke masa juga menarik dan informatif. Pengunjung juga diberi kesempatan untuk mewarnai sketsa yang didasarkan dari lukisan Henk Ngantung.

Namun, melihat keseluruhan koleksi yang dipamerkan, pengunjung dapat melihat secara gamblang bahwa, alih-alih urusan diplomasi seperti narasi utama pameran, Henk Ngantung jauh lebih banyak melukis mengenai kehidupan masyarakat. Narasi lukisan Melamun (1943) menyebutkan bahwa “Dalam karya ini Henk Ngantung menunjukkan kekuatan teknis dan konsep estetiknya pada pengungkapan realitas masyarakat bawah.” Keterangan terhadap lukisan lain yang berjudul Tani (1943) juga ditulis “Dituangkan lewat garis-garis ekspresif, penggambaran petani memperlihatkan perhatian Henk Ngantung pada kehidupan dan budaya kerja masyarakat bawah.”

Ini yang membuat narasi dalam pameran tersebut terasa janggal. Dominasi corak seni lukis Henk Ngantung yang memotret kehidupan “kelas bawah” ini tidak dipaparkan secara tuntas dalam pameran yang bertema “Seni dan Diplomasi”. Dari sini sebenarnya dapat ditelusuri mengapa narasi tersebut demikian aneh jika kita mendalami corak seni Henk Ngantung dan keterkaitannya dengan “kelas bawah”. Kejanggalan tersebut disebabkan hilangnya bagian penting dalam pembahasan mengenai Henk Ngantung, yakni kedekatannya dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dekat dengan PKI.

Henk Ngantung bukan hanya dekat dengan Lekra. Ia merupakan anggota awal sekaligus pengurus Lekra saat pertama kali didirikan pada 1950. Pada 1959, Henk Ngantung mengetuai salah satu lembaga kreatif bentukan Lekra, yakni Lesrupa (Lembaga Senirupa Indonesia) dan juga diangkat menjadi Wakil Sekretaris Umum I. Kedekatan ini tentunya juga didorong oleh kesamaan visi terhadap seni antara Henk Ngantung dengan Lekra. Salah satunya seperti kutipan pernyataan Henk Ngantung dalam Harian Rakjat, 11 Januari 1965 mengenai pameran poster, yakni “pameran ini adalah usaha untuk mendekatkan seni serta seniman dengan masyarakat luas” (Yuliantri & Dahlan, 2008, 308).

Dengan kata lain, kuatnya perhatian Henk Ngantung pada kehidupan “kelas bawah” adalah pokok dari corak seninya yang bersifat politis. Hal ini yang kemudian dihapuskan oleh Fadli Zon melalui narasi tanggung mengenai diplomasi dan lukisan Henk Ngantung. Peran Henk Ngantung dalam diplomasi juga hanya dibatasi dengan sketsanya mengenai suasana Perjanjian Linggarjati (1946) dan Konferensi Meja Bundar (1949). Padahal, Henk Ngantung merupakan salah satu dari enam utusan Lekra untuk mengikuti Perajaan Perdamaian Pemuda & Peladjar Sedunia di Berlin (5-19 Agustus 1951) seperti ditulis dalam Lekra Menjambut Kongres Kebudajaan. Karya Henk Ngantung juga pernah dipamerkan di Peking bersama dengan karya pelukis lain seperti Tarmizi T. dan Hendra Gunawan (Yuliantri & Dahlan, 2008, 302).

Baca juga:

Luputnya Lekra dalam narasi mengenai seni lukis Henk Ngantung adalah bagian dari sejarah manipulasi sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah seni. Henk Ngantung “dijinakkan” dengan memosisikannya sebatas pelukis sketsa suatu perundingan, alih-alih pelukis yang memiliki corak seni dan pemikiran yang jelas mengenai hasil seninya. Pameran ini justru lebih menonjolkan identitas etnis dan kedaerahan Henk Ngantung (Minahasa) melalui narasi tentang keterlibatan Henk Ngantung dengan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi).

Seni yang Borjuis ala Fadli Zon

Keterlibatan Fadli Zon dalam pameran ini bukan hanya karena posisinya sebagai menteri, tetapi juga karena banyaknya lukisan Henk Ngantung yang dikoleksi Fadli Zon Library. Justru di sini lagi-lagi letak ironi dari pameran ini. Visi Henk Ngantung mengenai seni yang tergambar lewat lukisan-lukisannya justru menjadi sebatas koleksi dari Fadli Zon yang bahkan meniadakan sisi politis lukisan Henk Ngantung. Karya seni dilepaskan dari konteks yang membentuknya, dan kemudian hanya dijadikan barang koleksi. Ini memelintir seni dalam pandangan Henk Ngantung yang harusnya dekat dengan masyarakat menjadi seni sebagai kebiasaan kelas borjuis untuk mengoleksi barang langka, tanpa peduli konteks sosial benda tersebut.

Watak ini yang dapat kita lihat dalam galeri-galeri kolonial yang memamerkan rampasannya terhadap masyarakat jajahan. Fadli Zon secara tidak langsung menegaskan bahwa perhatian rezim kini terhadap seni maupun kebudayaan sebatas upaya menyokong rezim dan memuaskan watak kolonialnya. Hal ini tidak mengherankan. Kebiasaan lain Fadli Zon adalah mengoleksi buku, termasuk buku yang menjelaskan fakta-fakta mengenai pemerkosaan massal 1998 – tragedi yang disangkalnya demi membersihkan nama Prabowo Subianto yang terlibat di dalamnya. Dari sini, kita bisa berekspektasi arah perkembangan seni menjadi sebatas alat rezim opresif untuk menguasai pikiran masyarakat, termasuk dengan memelintir atau menutupi fakta sejarah. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Karunia Haganta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email