Jika ada epitome dari dua hal yang tak saling melukai tapi saling menguatkan—seperti ronin dan sakabatō yang ia bawa bukan untuk menyerang, tapi menjaga arah—maka itulah Murakami dan musik: saling mengisi, saling menahan, berjalan berdampingan dalam diam.
Saya lantas ingat ocehan Kakek Tua bernama Nietzche pada waktu menjelang meninggalnya dalam bukunya ngoceh di Zarasutra “You need chaos in your soul, to make a dancing birds”. Sebetulnya, kekacauan macam apa yang Murakami pelihara, sehingga bisa dengan begitu tenang menghadirkan parade musik—di dalam novel-novelnya yang sebetulnya penuh ironi?
Di balik karya-karya Murakami, saya selalu takjub dengan bagaimana dia menyampaikan pengetahuannya akan musik. Pengalaman saya membaca Murakami—selalu saja dibuatnya kelimpungan—jika tidak mempersiapkan spotify untuk mengabadikan berbagai parade musik yang diobralnya. Untuk orang keren serupa Murakami, saya merelakan diri direpoti,—selalu!—membuat playlist, dan mendengar musik dari berbagai bukunya.
Baca juga:
Musik yang diminum Murakami juga eksploratif tergantung dari setting novelnya. Semisal pada novel termahsyurnya; Norwegian Wood. Abaikanlah dulu perihal perasaan aneh ketika membaca Norwegiaan Wood karena terlampau tertampar getir, pedih, dan pilu. Mari fokus pada bagaimana Murakami menciptakan tokoh imajiner yang menjadi gila. Gilanyapun dimulai dari musik, yang menjelma seolah jembatan puitik-otentik yang justru pada akhirnya menjadi alasan tokoh imajiner ini memulai memilih damai dengan kegilaaanya, karena musik itu sendiri. (yang saya maksud disini Nenek-Nenek Reiko Ishida).
Belum lagi, novel Dengarlah Nyanyian Angin, lagu-lagu cerah seperti California Girls justru mengantar kita pada sepi yang bising—krisis eksistensial anak muda Jepang tahun 80-an. Di Tsukuru Tazaki Tanpa Warna, genjerengan gitar jadi cara tokohnya bertahan dari luka lama. Di sini, di tangan Murakami, musik jadi alat untuk menenangkan kekacauan sekaligus memperjelas luka yang belum sembuh.
Baca juga:
Pokoknya, hampir semua karya sastra Murakami itu ada musik-musiknya. Murakami tidak sedang menulis tentang musik. Om keren satu ini sedang menulis dengan musik. Pengalaman membacanya sejauh ini, seperti undangan terselubung untuk ikut mem-fafifu wasweswos lagu-lagu itu—seolah kesedihan lebih jleb bila ada musik-musiknya.
Here’s the thing’s:
Karya tulisan Murakami, dari pembacaan saya, serupa cara kerja musik jazz: ritme yang tidak tetap, tempo yang kadang lompat, kadang sengaja melambat. Dan—selalu ada ruang kosong dalam jazz—yang perlu kita rayakan dengan pembacaan atasnya. Dan begitulah Murakami menulis.
Saya ambil contoh dari novelnya yang baru banged saya kelar baca: 1Q84! Novel tiga jilid yang gila sekaligus terstruktur rapi. Saya highlight salah satu adegan deh (semoga ini nggak spoiler, hehe). Tokoh Aomame duduk di dalam taksi, terjebak macet di jalan tol Tokyo. Di radio mobil, sopir memutar Sinfonietta karya Janáček—komposisi klasik modern yang keras, fanfarik, dan atmosferik, jauh dari kesan klasik yang lembut atau romantik.
Meskipun yang terdengar di radio adalah musik klasik, ritme narasi yang mengiringinya tetap terasa jazzy: tidak tergesa, tapi juga tidak diam. Musiknya hadir sebagai latar, tapi cara Murakami menyusun suasana, menanamkan ketegangan secara pelan-pelan—itulah yang aku sebut cara kerja jazz dalam tulisan Murakami. Magisnya disini:
Lalu sang sopir berbicara pelan, membuka celah semesta:
“Things are not what they seem. Don’t let appearances fool you. There’s always only one reality.”
Dan ketika Aomame bertanya apakah itu berarti dunia bisa berubah, sopir hanya menjawab:
“You’re about to do something out of the ordinary, aren’t you?”
Kalimat itu tipis, tapi seperti isyarat. Lalu Aomame membuka pintu, menuruni tangga darurat di antara jalur tol—dan hanya dengan langkah-langkah mantep itu, ia tak lagi berada di 1984. Ia sudah masuk ke semesta lain: 1Q84. Tidak ada cahaya menyilaukan. Tidak ada mesin waktu. Hanya denting Sinfonietta dan langkah yang tak ragu. Di sini, Murakami tidak membuat transisi yang dramatis—tapi atmosfer berubah total. Dan menurut saya, disitu nyampe jazznya Murakami: strukturnya dibangun—pelan, tercipta ruang, dan membiarkan makna muncul lewat jeda. Musik dan karakter tulisan Murakami, kawin disini! Ini soal pindah dunia, sekaligus juga soal perpindahan nada.
Membaca 1Q84 seperti mendengarkan improvisasi panjang John Coltrane. Tema utamanya samar, bahkan kadang nyaris hilang, tapi terus dipintal dan disimpul ulang dengan nada-nada tak terduga. Aomame sendiri tak tahu pasti di mana ia berada. Sama seperti pendengar jazz akut yang mencoba menebak ke mana arah melodi dibawa. Tapi alih-alih memberi jawaban, Murakami justru menghadirkan ruang; rest note. Diam yang tidak pasif. Dan saat narasi kembali mengalun, kita—entah bagaimana—ikut saja. Meski tidak paham sepenuhnya.
Murakmi tidak ujug-ujug menulis, dia lahir dari meja dapur, sisa malam, dan piringan hitam yang terus berputar di klub jazz kecil miliknya di Tokyo: Peter Cat. Di sana, ia memainkan musik, mencampur minuman, dan membiarkan sunyi menyusup di sela denting gelas. Ketika pengunjung pulang dan kota mulai tidur, ia menulis. Pelan-pelan. Sampai matahari naik, dan dunia kembali riuh.
Cinta Murakami pada musik tak bersifat dekoratif, musik mendapatkan tempat cukup intim didalamnya. Murakami mendengarkan jazz, klasik, folk, rock—dan lebih dari enam ribu (6.000!) piringan hitam menempati rumahnya seperti teman lama yang sabar menunggu giliran diajak bicara. Ketika ia menulis, kalimat-kalimatnya pun membentuk irama. Ia tak menulis untuk menjelaskan, tapi untuk mengalir. Menjaga ketukan, memberi ruang jeda agar makna muncul sendiri, tanpa paksaan.
Nama Murakami meledak lewat Norwegian Wood pada tahun 1987—sebuah novel yang secara aneh berhasil menjual kesedihan dalam bentuk paling heningnya. Buku itu menjadikannya terkenal se-Jepang, sesuatu yang tidak ia cari, bahkan mungkin ia hindari. Akhirnya, ia memilih menjauh, pindah ke Eropa, lalu ke Amerika pada awal 1990-an.
Dunia tak membiarkannya tetap asing. Ia kembali ke Jepang dan mendapati tanah yang berubah: gempa di Kobe meruntuhkan rumah orang tuanya, serangan gas di Tokyo mengguncang kepercayaan sosial. Bagi Murakami, dua peristiwa itu adalah kekerasan yang tersembunyi di balik wajah sopan Jepang. Sejak itu, tulisannya jadi ruang gempa: senyap, tapi perlahan meretakkan batin.
Yang menarik, Murakami tak pernah mengambil posisi sebagai “penulis serius”. Dia menolak gaya hidup destruktif yang sering dipuja-puja sebagai romantisme seniman. Dia berhenti merokok. Dia mulai berlari. Maraton demi maraton dia taklukkan dan hidup sehat.
Refleksiku dari membaca seabrek karya Murakami, saya bisa sedikit bilang bahwa dia tidak menulis untuk menjelaskan dunia, tapi untuk menunjukkan bahwa dunia bisa bergeser tanpa kita sadari. Dalam kesedihan yang senyap, dalam musik yang terus mengalun, dia menciptakan semesta yang retak tapi tetap hidup. Dunia tempat orang-orang kehilangan arah, tapi tidak kehilangan kemungkinan. Dan barangkali, itu cukup. (*)
Editor: Kukuh Basuki