Perempuan pecinta nasi padang.

Trigger: Ketika Algoritma Membisikimu untuk Menarik Pelatuk

Surya Rahmah Labetubun

3 min read

Kalau Anda seorang alumni Teknik Informatika seperti saya, menonton drama bukan cuma perkara healing, tapi juga decoding. Setiap adegan, setiap plot twist, selalu saya periksa seperti saya nge-debug script yang error. Dan K-Drama Trigger? Wah, ini bukan sekadar drama kriminal, ini drama yang nyubit keras saraf sosial-politik digital kita hari ini.

Premis ceritanya unik sekaligus disturbing: ada seorang pengusaha senjata misterius yang membagikan senjata secara gratis ke masyarakat Korea. Gratis, ya, Man-Teman. Bukan buat jualan, tapi buat “distribusi keadilan.” Bayangkan kamu hidup di negara yang ketat banget soal kepemilikan senjata, tiba-tiba masyarakat biasa bisa pegang pistol dan “membalas dendam” terhadap ketidakadilan yang mereka alami.

Tapi yang bikin saya makin terpaku bukan cuma itu. Latar belakang si tokoh utama adalah mimpi buruk kelas berat. Dia anak yang dibuang orang tuanya, diambil oleh jaringan perdagangan organ tubuh, lantas diselamatkan—atau lebih tepatnya, dilatih—oleh pengedar senjata. Dia tumbuh dalam dunia tanpa moral konvensional, tapi dengan satu prinsip: semua orang berhak untuk merasa berkuasa.

Masuklah kita ke dunia Trigger, dunia di mana kekuasaan tak lagi monopoli negara atau polisi. Di dunia ini, kekuasaan adalah barang yang bisa kamu klaim kalau kamu cukup menderita. Dan emosi, dalam skenario ini, adalah paspor kamu.

Baca juga:

Dalam banyak adegan, kita melihat masyarakat biasa yang marah pada hukum, kecewa pada negara, dan muak pada sistem, lalu dengan mengunjungi sebuah situs, “boom!” Tiba-tiba dikirimkan paket misterius, berisi pistol.

Inilah yang Michel Foucault maksud sebagai relasi kuasa yang tidak bekerja secara frontal, tapi lewat kanal-kanal halus: perasaan, institusi, dan kebutuhan untuk merasa dipedulikan. Trigger menunjukkan bahwa kuasa hari ini tidak selalu datang dari atas, tapi dari dalam. Ia muncul dari trauma, dari rasa tak berdaya, dan dari keyakinan bahwa keadilan bisa dituntaskan lewat peluru.

Yang menarik, masyarakat tidak menolak. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka menganggap aksi tembak-menembak sebagai bentuk keadilan mikro. Seorang ibu menembak pimpinan perusahaan yang dzalim, padahal yang dibutuhkan ibu ini adalah permohonan maaf.

Dan ini tidak terjadi begitu saja. Sang pengedar senjata tidak sembarangan membagikan pistol. Ia menggunakan sistem yang bisa memetakan siapa yang marah, siapa yang trauma, siapa yang punya potensi menjadi martir. Dia seperti programmer sosial: mengatur siapa yang diberi akses ke trigger, berdasarkan data dan cerita personal. Jadi kita tidak hanya bicara soal senjata, kita bicara soal pengetahuan sebagai seleksi kuasa. Dan Foucault sudah lama mengingatkan: pengetahuan bukan untuk memahami dunia, tapi untuk mengaturnya.

Saat orang merasa marah, lalu diberi alat untuk bertindak, mereka tidak lagi butuh sistem hukum. Mereka merasa sistem adalah mereka. Di sinilah Trigger meledakkan tatanan sosial. Ia mengganti pengadilan dengan keputusasaan, mengganti polisi dengan trauma, dan mengganti hukum dengan personal revenge. Semua atas nama keadilan.

Tapi jangan buru-buru bilang ini mustahil. Karena realitas kita hari ini sebenarnya sedang menuju ke sana—dengan versi yang lebih halus.

Algoritma, Kontrol Sosial, dan Dunia Tanpa Polisi

Di dunia tempat saya bekerja, semua data punya arti. Dari klik mouse sampai waktu kamu nonton video, semuanya bisa dianalisis. Dan saya ngeri saat menyadari, Trigger adalah simulasi distopia yang secara teknis sangat mungkin terjadi. Bayangkan: kamu sering membaca berita tentang kekerasan seksual, sering buka forum tentang keadilan, sering curhat di media sosial soal kekecewaan terhadap hukum. Lalu suatu hari, kamu menerima paket: sepucuk pistol dengan instruksi bertindak.

Kedengarannya absurd? Tidak bagi sistem yang sudah belajar membaca pattern of emotion. Di Trigger, sang pengendali senjata tidak butuh propaganda, dia hanya perlu tahu kapan masyarakat cukup lelah untuk berhenti berharap dan mulai bertindak. Dan siapa yang bisa tahu itu kalau bukan algoritma?

Foucault tidak hidup di era big data, tak pernah melihat Google Analytics, tapi kalau dia hidup hari ini, saya yakin dia akan menyebut algoritma sebagai bentuk kekuasaan paling halus dan berbahaya. Karena ia bekerja tanpa perlu sensor. Ia tak terlihat. Ia hanya menyodorkan apa yang “kamu inginkan.” Tapi seperti Trigger, yang ditawarkan bukan hiburan, melainkan alat untuk mengklaim rasa memiliki atas keadilan.

Kita harus jujur: algoritma sudah membentuk selera, opini, bahkan keputusan kita sehari-hari. Kita percaya pada konten yang sering muncul di beranda, seolah-olah frekuensi adalah bukti kebenaran. Dan dalam konteks Trigger, frekuensi penderitaan adalah syarat untuk bertindak. Semakin sering kamu merasa sakit hati, semakin besar peluang kamu jadi penerima “keadilan bersenjata”.

Baca juga:

Yang lebih mengerikan, masyarakat dalam Trigger justru menciptakan sistem kontrol sosial baru. Mereka mulai mengembangkan nilai sendiri soal mana tindakan yang layak diapresiasi, mana yang harus dikucilkan. Ada orang-orang yang menilai “tembakan layak”, bahkan sistem rating moral. Ini bukan kontrol sosial ala negara totaliter. Ini kontrol sosial yang tumbuh dari komunitas. Dari empati yang dibajak oleh frustrasi.

Kita semua tahu betapa mudahnya sistem dibangun dengan logika “jika… maka…”. Jika kamu marah dan punya trauma, maka kamu akan bertindak. Dan jika banyak orang berpikir seperti itu, maka sistem pun akan berkembang dengan logika kekerasan. Kita tak lagi butuh aparat. Kita cukup jadi algoritma satu sama lain.

Inilah kenyataan baru yang ditawarkan Trigger. Dunia yang lelah pada penantian keadilan, dan akhirnya memproduksi keadilan sendiri—dengan peluru sebagai statement.

Dunia Sudah Siap Menekan Triggernya

Saat saya menutup laptop setelah nonton Trigger, saya tidak merasa puas. Saya merasa khawatir. Bukan karena ceritanya terlalu fiktif, tapi justru karena ceritanya terlalu masuk akal. Ia terlalu akrab dengan dunia kita hari ini.

Trigger bukan sekadar drama tentang kriminalitas atau alih-alih tentang psikopat. Ia adalah kritik telak terhadap sistem hukum yang lambat, terhadap masyarakat yang tak lagi percaya pada solusi konvensional, dan terhadap dunia digital yang bisa menciptakan simulasi keadilan berdasarkan algoritma.

Dan seperti semua sistem, ada pertanyaan penting: siapa yang mendesain? Siapa yang mengendalikan? Siapa yang menulis script di balik semua ini?

Foucault pernah bilang bahwa kekuasaan bekerja seperti jaringan: menyebar, tak tampak, dan memengaruhi semua tindakan kita bahkan sebelum kita sadar. Dan Trigger adalah wujud konkret dari jaringan itu—jaringan kekuasaan yang dibungkus data, dikendalikan algoritma, dan disalurkan lewat emosi.

Di dunia Trigger, semua orang bisa punya pistol. Tapi yang benar-benar berkuasa adalah dia yang tahu siapa yang akan menembak, kapan, dan mengapa. Dan dia tak perlu muncul di hadapan kita. Cukup ada di balik layar. Seperti admin tak terlihat yang tahu semua isi log kamu.

Dan sialnya, kita tidak tahu apakah kita juga sedang diarahkan, atau justru sudah menekan trigger kita masing-masing. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Surya Rahmah Labetubun
Surya Rahmah Labetubun Perempuan pecinta nasi padang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email