“People fall in love without reason, without even wanting to. You can’t predict it. That’s love.”
– Haruki Murakami, Dance Dance Dance (1988)
Taman itu seperti bait puisi yang terlalu sering dibaca namun tak pernah benar-benar dipahami. Ia tumbuh di jantung kota yang lelah, dipagari gedung-gedung tinggi yang mengutuk langit dengan kaca-kaca runcing. Pohon-pohonnya tampak ragu untuk tumbuh. Bunga-bunganya seperti takut untuk mekar. Tapi lelaki itu mencintai suasana ini. Bukan karena keindahannya, tapi karena sepi yang ditawarkannya. Ia punya rahasia kecil yang tak pernah ia bagi; ia menyukai bunga, terutama yang mekar tanpa diminta.
Setiap sore selepas bekerja, lelaki itu datang duduk di bangku tua di ujung taman, di tempat yang selalu ia pilih, seolah takdir telah menandainya. Ia tidak duduk untuk beristirahat, melainkan untuk menyimak keheningan penuh suara: klakson, langkah-langkah tergesa, percakapan yang mengambang, dan pikiran-pikirannya sendiri yang berdesakan seperti debu dalam cahaya senja. Duduk di situ adalah bentuk pelariannya dari kantor yang sibuk, dari halaman-halaman naskah yang menumpuk, dari keharusan menjadi produktif ala aparatur sipil negara.
Ia seorang penyair kecil di majalah sastra yang mulai kehilangan imajinasi. Maka ia mengamati orang-orang yang lewat untuk dijadikan puisi. Tapi belakangan, pengamatannya beralih ke satu orang: perempuan itu. Rekan kerjanya. Ia yang kerap menoleh dan bertanya hal-hal sepele: tentang kata, tentang kalimat, tentang makna. Si perempuan yang selalu tampak murung sebelum suatu pertemuan tak sengaja di kafe membuat mereka berbicara untuk pertama kalinya. Sejak itu, perempuan itu menjadi lebih terbuka, lebih ceria. Dan lelaki itu merasa, mungkin dirinya adalah penyebabnya.
***
Perempuan itu nyata. Rambutnya hitam terurai, seperti malam yang begitu tenang. Matanya tajam saat menatap naskah, tetapi menghangat saat bertanya kepadanya. Kadang ia tertawa pelan, kadang menghela napas berat.
Tapi selalu, selalu, jika ia berbicara dengan lelaki itu, suaranya menjadi berbeda. Seolah mengandung sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang sedang jatuh cinta. Ia pernah bilang sedang kesepian di tengah tumpukan deadline. Lalu ia bilang, lelaki itu datang dan menyelamatkannya dari jerat rutinitas yang menyeramkan.
***
Ada satu momen yang melekat kuat di benak lelaki itu: saat ia menyarankan sebuah novel kepada perempuan itu, Dance Dance Dance karya Haruki Murakami. Novel itu tak hanya menjadi bahan obrolan mereka, tapi juga menjadi jembatan diam-diam yang menyatukan dunia batin keduanya. Perempuan itu membacanya sampai habis dan kembali ke kantor dengan mata yang berbinar.
“Aku suka caramu merekomendasikan sesuatu. Buku ini… aneh, tapi aku mengerti kenapa kamu suka,” katanya.
Sejak itu, lelaki itu merasa ia tak hanya menolongnya dari tekanan kerja, tapi juga memperkenalkannya pada ruang batin yang lebih intim.
Kalimat-kalimat perempuan itu menancap dalam dirinya seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Ia pun mulai menulis puisi; bukan untuk dikirim ke redaksi, tapi disembunyikan di balik halaman buku catatannya. Ia takut: bahwa kata-kata bisa mengubah segalanya. Atau jadi lebih buruk lagi, tidak mengubah apa-apa. Dalam puisi itu, ia menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang tak punya jawaban: apakah cinta bisa ada tanpa harus dimiliki? Apakah menjadi ‘bisa diandalkan’ adalah bentuk tertinggi dari keintiman?
Ia juga takut bahwa semua ini hanya ilusi. Mungkin perempuan itu memang baik pada semua orang. Tapi ia melihat isyarat kecil: perempuan itu hanya menawarkan roti kepadanya, hanya bertanya kepadanya, hanya mendengarnya dengan mata penuh. Dan ia memimpikan perempuan itu. Duduk bersamanya di taman, menggenggam tangannya. Tapi, di tengah mimpi, tangan itu berubah menjadi debu yang diterbangkan angin sebelum hujan turun.
***
Dan momen itu datang. Suatu hari, di tengah sunyi ruang redaksi, perempuan itu menatapnya dan tersenyum. Ia mengangkat tangan, membentuk hati kecil dari jari telunjuk dan ibu jari. Lelaki itu tersipu. Dunia di sekelilingnya menjadi buram, seolah hanya ia dan perempuan itu sajalah yang nyata.
Itulah momen yang paling membahagiakan, setidaknya bagi si lelaki. Tatapan yang dibalas. Senyum yang tak diabaikan. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, lelaki itu merasa ditatap bukan sebagai siapa-siapa, melainkan sebagai seseorang. Sebagai satu-satunya.
Ia nyaris bertanya saat itu juga: apakah ini cinta? Tapi ia menahannya, dan tertawa.
“Jangan-jangan kamu suka sama aku ya?” katanya bercanda.
Perempuan itu tertawa. Terlalu keras.
“Ya kali,” jawabnya ringan.
Dan tawa mereka berakhir di udara yang terasa asing.
***
Lelaki itu kembali ke taman. Merenung. Menyusun kata-kata seperti batu bata yang tak tahu sedang membangun tembok atau jembatan. Ia sadar, semesta tak memberi tanda apa-apa. Tapi pikirannya mulai tak rasional. Langit yang mendung tampak seperti tanda. Jalanan basah tampak seperti pesan. Dan ia merasa, mungkin hari itu adalah hari yang tepat.
Akhirnya, ia memutuskan. Ia harus tahu. Maka, sore itu, ia mengajak perempuan itu ke taman. Perempuan itu mengiyakan dengan nada penasaran.
Langit berwarna kelabu. Petir menggema dari kejauhan seperti suara takdir yang tak jadi turun. Mereka berjalan dalam diam. Perempuan itu memilih duduk agak berjauhan. Seolah bangku itu terlalu sempit untuk dua perasaan yang tak sama.
Dengan suara hampir tak terdengar, lelaki itu bertanya, “Menurutmu, kapan seseorang mulai memahami cinta?”
Perempuan itu tertawa pelan.
“Hah? Sepertinya gak asing… Murakami, kan?”
Lelaki itu menatap tanah. Lalu menatap mata si perempuan.
“Mungkin ini cuma perasaanku, tapi aku mulai menyukaimu.”
Perempuan itu membeku. Lalu tertawa.
“Asli, ini lucu sih. Kaget, asli.” Ia menatap arlojinya.
“Aku ada janji. Pulang dulu ya, maaf.”
Dan ia pergi. Tanpa beban seperti daun yang jatuh. Padahal, ia baru saja membuat seorang penyair kecil kehilangan arah.
Lelaki itu duduk diam. Sore menjadi gelap. Petir tetap menggema. Tapi hujan tak turun. Ia menatap tangannya, seolah ingin memastikan bahwa dirinya masih ada.
Hari-hari berikutnya, perempuan itu tertawa seperti biasa. Bercakap seperti biasa. Dunia berjalan seolah tak pernah terjadi apa-apa. Lelaki itu sadar, tak semua pengakuan melahirkan perubahan. Kadang, ia hanya menjadi bayangan tembok: terlihat tapi tak pernah disentuh.
***
Ia kembali duduk di taman, setiap sore, seperti biasa. Tapi kali ini, ia tak lagi menunggu siapa pun. Ia hanya menulis. Bukan puisi tentang cinta, tapi tentang kehilangan, tentang kehancuran yang lahir dari hasrat menggenggam terlalu erat.
Dan akhirnya, ia mengerti: cinta bukan tujuan. Ia hanya kompas. Ia menunjuk ke arah yang harus dituju, bukan tempat berhenti. Ia menarik suatu benang merah bahwa adalah kesia-siaan mencari-cari jawaban di balik pertanyaan mengapa seseorang jatuh cinta. Ia bisa datang begitu saja, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana: roti, senyum, dan sebuah novel.
Ia pun berjalan pulang. Tanpa bayangan. Karena bayangannya telah tinggal di taman itu, menari sendiri dalam senja yang lambat padam.
*****
Editor: Moch Aldy MA