Suka gadoin tempe mentah.

Realitas Konflik Agraria dari Proyek Strategis Nasional

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

3 min read

Romlah, warga Kampung Bulak, Sukmajaya, Depok, mengalami stres berat ketika menerima kabar bahwa rumahnya akan digusur. Ia tidak menyangka bahwa lahannya menjadi korban pertama penggusuran untuk pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada November 2019.

Kemudian, Romlah menjelaskan bahwa warga Kampung Bulak sempat bernegosiasi dengan aparat yang datang. Namun, sayangnya negosiasi tidak berjalan lancar. Warga malah dipaksa aparat untuk mengeluarkan barang-barangnya dari rumah. Selain itu, aparat juga menghancurkan jembatan yang menjadi akses masuk warga Kampung Bulak.

Kejadian ini hanyalah satu dari banyak kasus konflik agraria di Indonesia yang disebabkan oleh PSN. Melansir KontraS, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 73 konflik agraria sepanjang tahun 2015 sampai 2023 akibat PSN. Contohnya konflik agraria di Nagari Air Bangis (Sumatera Barat), Wadas (Jawa Tengah), Masyarakat Adat Poco Leok (Nusa Tenggara Timur), Natumingka (Sumatera Utara), Pulau Rempang (Kepulauan Riau), dan masih banyak lagi. 

KontraS pun juga menyebutkan sebanyak 79 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait dengan PSN yang terjadi di 22 Provinsi di Indonesia. Tiga lembaga menjadi pelaku pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam terkait PSN, yaitu Polri dengan 39 kasus, pemerintah dengan 30 kasus, dan sektor swasta dengan 29 kasus. Setiap kasus bisa melibatkan lebih dari satu lembaga sebagai pelaku. Dari pemantauan mereka terhadap kasus pelanggaran HAM, setidaknya 101 korban luka-luka, 248 korban ditangkap, dan 64 korban mengalami kekerasan psikologis berupa intimidasi oleh aparat.  

Sebenarnya, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menyatakan bahwa negara wajib untuk mengendalikan dan memberdayakan bumi, air, dan segala sumber daya alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok=Pokok Agraria (UUPA) memberikan wewenang kepada negara untuk mencapai kemakmuran yang besar bagi rakyat. Mencakup kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam konteks masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. 

Namun, fakta di lapangan masih jauh dari semangat UUD 1945 dan UUPA. Perampasan lahan kerap terjadi setiap tahunnya. Dan, kejadian tersebut mengingatkan saya pada monolog Putu Wijaya yang berjudul Demokrasi. Monolog ini menjadi cerminan dari realitas konflik agraria di negara kita, di mana kepentingan pembangunan seringkali bertabrakan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Tawar-Menawar Demokrasi

Monolog Demokrasi karya Putu Wijaya menceritakan tentang situasi Gang Gugus Depan yang tadi tenang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan petugas dari kelurahan. Petugas tersebut membawa kabar rencana pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh perusahaan pabrik tekstil. Pelebaran tersebut memakan dua meter tanah dari setiap rumah di gang tersebut. Kemudian petugas mencoba meyakinkan warga di gang tersebut untuk merelakan rumahnya digusur untuk kepentingan pembangunan bersama.

Suasana semakin tegang ketika suara mesin buldoser mulai terdengar. Tanpa izin atau peringatan, buldoser itu mulai menggerus Gang Gugus Depan. Teriakan warga bergema memenuhi udara, namun buldoser tetap maju dengan ganasnya. Warga berusaha menghadang buldoser dengan tegas. Warga menolak tunduk keputusan yang diambil tanpa adanya musyawarah.

Tak lama kemudian, datanglah mobil colt. Sekitar sepuluh orang laki-laki keluar memakai seragam. Warga Gang Gugus Depan bersorak ria, karena aparat datang untuk melindungi mereka. Namun, dugaan mereka salah, buldoser malah menerjang makin ganas.

Akhirnya, seorang RT dari Gang Gugus Depan dengan tekad kuat memasuki gedung kantor pabrik tekstil.  Saat bertemu dengan direktur pabrik, dengan tegas ia menyampaikan bahwa mereka, sebagai rakyat kecil, tidak bersedia kehilangan dua meter tanah mereka demi jalan pintas yang diinginkan oleh perusahaan. 

Kemudian pak RT ditawarkan makanan dan minuman, namun ia menolak dengan tegas. Ia tidak datang untuk bersantai atau bersuka ria, melainkan untuk menyuarakan keadilan bagi warganya yang merasa terancam. Namun, sebuah tiba-tiba direktur memberikan amplop coklat tebal. Jumlah uang yang tertera di amplop tersebut 250.000.000 rupiah. Dan, uang sebesar itu membuat pak RT tergoda. Lalu ia pun melupakan perjuangannya menyuarakan keadilan bagi warganya.

Esok harinya, warga Gang Gugus Depan berkumpul untuk mendengarkan hasil pertemuan pak RT dan Pak Direktur. Pak RT mengatakan kepada warga untuk merelakan dua meter tanahnya. Menurutnya, warga Gang Gugus Depan harus mengutamakan kepentingan bersama dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi.

Namun, respon yang pak RT terima membuatnya terkejut. Para warga hanya diam dan meninggalkan tempat tanpa memberikan tanggapan apa pun. Kejadian tersebut mengakibatkan perubahan sikap warga terhadap demokrasi. Warga Gang Gugus Depan pun mulai menolak konsep demokrasi. 

Demokrasi Seharusnya Melindungi Kaum Terpinggirkan

Apa yang diceritakan dalam monolog Demokrasi karya Putu Wijaya dan kasus penggusuran paksa di negeri ini sama-sama menggambarkan tindakan penggusuran dan pemindahan warga yang dilakukan tidak sesuai dengan standar HAM yang diatur dalam UUD 1945, UUPA, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang diakui pemerintah melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.

Penggusuran yang sesuai dengan standar HAM seharusnya mengalihkan warga ke tempat tinggal baru yang layak sebelum melakukan penggusuran. Ini bertujuan agar saat penggusuran dilakukan, warga terdampak sudah tidak tinggal di lahan tersebut. Sebaliknya, penggusuran paksa adalah tindakan penggusuran yang melanggar standar HAM, seperti memindahkan warga tanpa musyawarah atau solusi yang memadai, atau mengosongkan lahan ketika warga masih tinggal di sana.

Dari apa yang terjadi terlihat jelas ketidakpedulian terhadap nilai-nilai demokrasi dan standar HAM dalam pembangunan dan kebijakan publik. Penggusuran juga tidal melibatkan mekanisme seperti partisipasi, musyawarah, mencari solusi tanpa kekerasan, dan keterlibatan aktif semua pihak terkait.

Padahal dalam demokrasi, masyarakat seharusnya memiliki peran dalam menentukan nasib mereka sendiri. Melalui dialog yang terbuka, manusia dapat saling memahami dan memperjuangkan keadilan serta kesetaraan. Komunikasi yang melibatkan semua pihak adalah kunci dari sistem demokrasi. Demokrasi seharusnya memberi kesempatan kepada semua orang, termasuk orang yang terpinggirkan.

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo Suka gadoin tempe mentah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email