Bagaimana subjek di Indonesia menemukan keberadaannya di tengah tekanan sosial dan keterlemparan hidup? Pertanyaan inilah yang menjadi dasar risalah ini. Ketika subjek hidup di tengah kondisi yang tidak ia pilih, baik secara ekonomi, budaya, maupun sosial, bagaimana ia memahami keberadaannya? Bagaimana ia menegaskan dirinya sebagai subjek yang bebas dalam masyarakat yang menuntut keseragaman? Dan sejauh apa kecemasan eksistensial mampu menjadi pintu masuk bagi subjek di Indonesia untuk keluar dari determinasi sosial dan membangun hidup yang autentik? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi inti dari pembahasan yang mengalir di bagian-bagian selanjutnya.
Kesadaran eksistensial mengenai “keterlemparan” menjadi tumpuan fundamental penting dalam memahami perilaku sosial serta pilihan-pilihan subjektif, subjek Indonesia kontemporer. Ketika subjek menyadari bahwa ia ada dalam kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang tidak ia pilih sejak awal, kesadaran tersebut memicu proses refleksi diri yang mendorongnya untuk menegaskan kebebasan secara lebih bertanggung jawab. Jika kesadaran ini muncul, maka terbuka kemungkinan bagi subjek untuk mengatasi determinasi sosial melalui tindakan kreatif seperti berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan, membangun kompetensi diri, atau merumuskan tujuan hidup secara otonom.
Baca juga:
Untuk memperjelas hubungan konsep ini, perlu ditegaskan bahwa kesadaran eksistensial tidak hanya berfungsi sebagai bentuk refleksi, tetapi juga sebagai sikap perlawanan terhadap kondisi yang membatasi. Sikap ini sejalan dengan kritik Martin Heidegger terhadap das Man, yakni kondisi ketika subjek hidup mengikuti standar-standar massa tanpa refleksi personal. Dalam konteks ini, kesadaran eksistensial menjadi dinamika yang mendorong subjek keluar dari ketidakotentikan dan bergerak menuju pendirian diri yang lebih tegas.
Mari kita lihat contoh sederhana ilustrasi berikut:
“Di sebuah kampung di pinggiran kota, seorang pemuda bernama Rizki sering merasa hidupnya berjalan tanpa arah. Ia lahir di keluarga sederhana, tumbuh dalam lingkungan yang serba terbatas, dan mengira bahwa hidupnya sudah ditentukan sejak awal. Namun suatu hari, setelah berbincang dengan temannya yang baru pulang dari perantauan, Rizki mulai menyadari bahwa keterbatasan itu bukanlah vonis. Ia memang tidak memilih untuk lahir dalam keadaan tersebut, tetapi ia dapat memilih bagaimana menanggapinya. Jika ia menerima kecemasan dan ketidakpastian itu sebagai bagian dari hidup, maka ia bisa mulai membangun maknanya sendiri.
Sejak saat itu, Rizki memutuskan untuk mempelajari keterampilan baru, bergabung dalam komunitas sosial, dan perlahan menemukan arah hidup yang ia bentuk sendiri. Dalam perjalanannya, ia melihat bahwa banyak pemuda di Indonesia mengalami hal serupa, terlempar ke dalam keadaan yang tidak mereka pilih, tetapi tetap memiliki kesempatan untuk menegaskan kebebasan dan membentuk hidup yang lebih autentik. Dari sana ia memahami bahwa hidup bukanlah menunggu makna datang, melainkan menciptakannya melalui langkah-langkah kecil yang berani.”
Cerita sederhana ini dipilih karena memperlihatkan alasan mengapa konsep kecemasan Kierkegaard dan keterlemparan Heidegger relevan: keduanya menjelaskan bagaimana kondisi awal yang tidak dipilih tetap menyimpan kemungkinan eksistensial. Rizki, seperti banyak pemuda Indonesia mengalami apa yang Kierkegaard sebut sebagai despair atau keputusasaan eksistensial, yaitu jarak antara diri yang aktual dan diri yang mungkin. Dalam despair, manusia menyadari potensi dirinya tetapi takut untuk menggapainya. Namun justru melalui inilah muncul ruang untuk memilih, atau yang Kierkegaard sebut sebagai “loncatan iman” ke arah eksistensi diri yang autentik.
Konsep-konsep ini diperkuat oleh gagasan Søren Kierkegaard mengenai angst dan pilihan bebas, serta pemikiran Martin Heidegger tentang Geworfenheit. Menurut Kierkegaard, kecemasan adalah pengalaman mendasar yang memungkinkan subjek menyadari kebebasannya. Ia menulis:
“Anxiety is the dizziness of freedom, which emerges when the spirit wants to posit the synthesis and freedom looks down into its own possibility, laying hold of finiteness to support itself. In this dizziness freedom subsides” – Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety (1844)
Bagi Kierkegaard, kecemasan adalah syarat bagi kebebasan. Jika seseorang berani menghadapi itu, maka ia dapat mengambil keputusan secara personal dan bertanggung jawab terhindar dari despair yang membelenggu.
Sementara Heidegger menjelaskan bahwa subjek selalu “terlempar” ke dalam dunia penuh struktur sosial, tradisi, dan ekspektasi. Kondisi Geworfenheit menunjukkan bahwa subjek tidak memilih situasi awal hidupnya. Namun, keterlemparan bukan batas atau nasib yang beku. Justru dari sanalah muncul kemungkinan untuk hidup secara authentisch (autentik). Sebaliknya, ketika subjek menyerah pada kepasrahan sosial, ia jatuh pada das Man hidup menurut standar massa tanpa kesadaran reflektif.
Baca juga:
Jika dikaitkan dengan fenomena Indonesia saat ini, terlihat bahwa tekanan psikologis sering muncul dari fenomena FOMO digital, budaya kolektivistik yang menuntut keseragaman sosial, serta takaran ekonomi rumah tangga urban yang cenderung tidak stabil. Ketiga fenomena ini membentuk lanskap baru bagi pengalaman eksistensial subjek Indonesia.
Dalam konteks FOMO digital, subjek merasa tertinggal apabila tidak mengikuti ritme informasi dan pencapaian orang lain. Dalam budaya kolektivistik, subjek sering kali harus menyesuaikan diri dengan penilaian sosial, sementara tekanan ekonomi urban mempersempit ruang gerak pilihan hidup. Semua kondisi ini memperkuat kecemasan eksistensial, dan jika tidak dipahami dengan baik, dapat menjerumuskan subjek ke dalam despair atau hidup tanpa arah.
Namun, jika ini dibaca sebagaimana Kierkegaard memahaminya, maka dapat menjadi momentum bagi subjek untuk memasuki tahap refleksi yang lebih mendalam. Begitu pula, keterlemparan ala Heidegger tidak harus dipahami sebagai nasib, tetapi sebagai titik awal bagi pembentukan identitas yang autentik. Ketika subjek menyadari bahwa ia berada dalam struktur sosial tertentu entah kemiskinan, tuntutan budaya, atau tekanan politik, maka ia dapat memilih untuk melampaui kondisi tersebut melalui pendidikan, tindakan mandiri, dan pencarian makna personal.
Dengan demikian, eksistensi manusia di Indonesia dapat dipahami sebagai perjalanan dari keterlemparan menuju keotentikan. Setiap subjek berupaya mengatasi dominasi das Man ‘orang banyak’ dan membangun jalan hidup yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri. Kesadaran ini menuntut keberanian untuk memilih nilai-nilai hidup yang tidak sekadar diwariskan, melainkan diciptakan.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme menawarkan kerangka yang relevan untuk membaca kondisi masyarakat Indonesia hari ini. Kecemasan, keterlemparan, dan keputusasaan (despair) bukanlah hambatan, tetapi justru bahan bakar bagi pembentukan keotentikan subjek. Fenomena seperti FOMO digital, budaya kolektivistik, dan tekanan ekonomi urban memperlihatkan bahwa subjek Indonesia berada dalam ruang eksistensial yang menuntut refleksi diri. Dengan memahami konsep Kierkegaard dan Heidegger, subjek dapat bergerak keluar dari determinasi sosial, melampaui das Man, dan membangun identitas yang autentik melalui pilihan sadar dan bertanggung jawab. (*)
Editor: Kukuh Basuki
