Lebih banyak membaca dan merenung.

Kisah Cinta Lesi yang Tragis

Boiman Manik

4 min read

Seorang penulis yang meraih penghargaan dan uang sebanyak seratus juta itu membuatku kesal. Tulisannya tidak sebaik penulis lain yang hanya mendapat honor lima puluh ribu di majalah yang dikelola anak sekolah. Bahkan seorang kakek yang suka membaca di lapak buku pinggir jalan dekat alun-alun menulis cerita yang lebih bagus. Ceritanya tidak sempat masuk koran karena besoknya dia mati saat diberondong ke dinas sosial. Jadi, jika kau penasaran seperti ini ceritanya.

Suatu ketika seorang pria yang telah bertapa selama seribu dua hari ingin menguji kekuatannya. Ia mengumpulkan orang-orang di kampungnya dan pada siang hari mereka semua berkumpul. Beberapa mengenalinya sebagai pria yang doyan memanjat pohon sambil makan pisang. Beberapa wanita lain mengenalnya sebagai orang yang suka mencuri pakaian dalam.

“Dunia ini selalu siang dan tak pernah malam,” orang-orang kaget mendengar suaranya yang menggema seperti di dalam gua. Kekagetan mereka kemudian beralih menjadi rasa hening sekaligus takjub.

Tidak ada yang mengerti ucapan pria itu, tetapi suasana yang tercipta adalah kekaguman. Dan dengan dorongan rasa kagum, pria itu mulai mengaitkan sebuah batu sebesar genggaman tangan pada sebuah tali. Ia memutar-mutar batu itu selama beberapa saat hingga mencapai bagian atas kepalanya. Putarannya yang kencang membuat angin berontak sana-sini dan orang-orang melindungi mata mereka dari debu. Laki-laki itu melempar batu itu ke langit dan talinya mengencang karena menyangkut pada sesuatu.

Ternyata batu itu melekat pada matahari dan ia menariknya terus menerus sampai peluhnya berubah jadi bulir-bulir darah. Pria itu sanggup menarik matahari hingga tenggelam dan orang-orang hanya bisa diam. Demikianlah untuk pertama kalinya di kampung itu ada malam, seketika mereka ketakutan pada gelap.

Butuh waktu yang lama hingga mereka terbiasa pada gelap yang bisa terjadi selamanya. Pria penghilang matahari itu kabur tidak lama setelah matahari itu hilang. Orang-orang kampung, seperti manusia pada umumnya, terpaksa untuk terbiasa. Dalam rasa takut mereka menemukan cahaya dari api yang diperangkap dalam sebuah tempat. Dalam rasa takut juga mereka sulit menemukan hewan yang bisa dimakan yang rasanya seenak hewan yang hidup pada siang.

Dari sekian banyak yang ketakutan, hanya Boni saja yang kesenangan. Suasana gelap menjadi kesempatannya untuk bersembunyi, dan begitu cara dia menghampiri rumah Lesi yang berada di tepi kampung.

“Suamimu masih memburu pria itu, dia pasti akan lama pulangnya,” kata Boni merayu.

“Boni, tapi aku takut gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa.”

“Justru itu bagus. Orang tidak ada yang tahu.”

Maka dimulailah hari-hari Boni dan Lesi memadu cinta. Mereka bertemu kasih di hutan, pinggir sungai, gua, dan tempat-tempat lainnya yang cahaya bulan enggan mau datang. Boni sudah jatuh cinta pada Lesi jauh sebelum wanita itu menikah. Dan saat-saat seperti inilah yang selalu Boni doakan pada dewa matahari yang sudah hilang.

“Aku tidak ingin kau ditampar lagi,” kata Boni dengan suara Lembut sambil memegang jari-jari runcing Lesi. Wanita itu tentu tenggelam dalam kata-kata manis semacam itu dan dia ingin selamanya jari-jari itu dipermainkan.

“Itu takdirku sebagai perempuan.”

“Takdir matahari saja bisa diubah.”

Boni mengajaknya pergi jauh ke dalam hutan dan Lesi tidak memberi penolakan. Kakinya mau saja menurut pada kaki Boni, dan tangannya lemas-lemas saja ditarik-tarik Boni. Ia khawatir pada anaknya, tetapi Boni berkata mungkin itu bukan anaknya Lesi karena mereka tidak ada mirip-miripnya, dan wanita itu semakin yakin meninggalkan mereka di sana.

Mereka mendirikan sebuah gubuk yang menggantung di atas pohon, dan karena lelah Lesi merasa lapar. Boni bergegas mencari makanan di dalam hutan yang gelap. Lesi takut sendirian sehingga ia ingin ikut. Laki-laki itu melarangnya karena wanita itu kelelahan dan itu berbahaya.

Lesi sudah tidak tahu berapa lama Boni pergi. Ia tidak bisa memastikannya, tetapi ia tahu itu pasti sudah sangat lama. Lesi merasa dadanya sesak dan perih, ia tenggelam dalam rasa rindu. Lesi setia menunggu, sampai akhirnya seseorang datang. Rumahnya bergoyang dan Lesi merasa senang karena Boni sudah pulang.

“Melegakan, aku bisa bersembunyi di sini.” 

Lesi sempat girang sebelum akhirnya yang ia lihat adalah pria yang menghilangkan matahari. Wanita itu berteriak takut dan seketika mulutnya disumpal tangan dan diisi oleh daun-daun yang wangi. Lesi diam. Ia merasa tubuhnya lemas dan pria itu mengatakan ia sedang diburu dan ingin bersembunyi di sini. Lesi menghidu wangi amis dan ia melihat tangan pria itu berdarah.

“Aku takut Boni akan marah,” kata Lesi sambil mengobati pria itu. Ia merasa kulit orang ini kasar tetapi keras. Jari-jarinya gemuk, tetapi jumlah di sisi kanannya hanya sisa empat. Pria itu berkata bahwa jari telunjuknya putus saat menarik matahari.

“Aku anggap itu sebagai tanda kebanggaan seorang pria. Bukan meninggalkan perempuan sepertimu sendirian di sini,” kata-kata itu mencuri perhatian Lesi dan mulai menggerus ingatannya terhadap Boni. Dari yang setia menunggu, Lesi kini mulai mengutuk pria yang mengajaknya kabur itu.

Pria itu banyak bicara dan Lesi senang mendengar cerita-ceritanya. Tentang rasa kesal pria itu yang selalu dirundung hingga keinginannya yang ingin melawan dewa. Matahari hanya satu dari daftar perlawanannya dan dia sedang mencari bintang.

“Aku ingin mencari yang terindah, tetapi belum ada yang sebanding denganmu.”

Lesi yang mendengarnya memendam rasa senang karena ia malu menunjukkannya. Pria itu menangkap rasa malu itu dan membuat Lesi terlihat semakin cantik. Ia berkata pada Lesi ingin mencarikannya sebuah bunga sebagai hadiah karena pria itu begitu terpesona. Tiba-tiba jantung Lesi berdegup dan ia tidak mau ditinggal sendiri.

Entah sudah berapa lama pria itu pergi meninggalkan Lesi yang kelaparan. Tidak hanya perutnya yang lapar, tetapi hatinya juga. Ini menyakitkan bagi Lesi. Sekarang temannya hanya kebisuan di dalam gubuk yang menggantung di pohon. Pada waktu gubuknya kembali bergoyang Lesi malah merasa takut.

“Aku mencarimu ke mana-mana,” kata pria itu. “Anak-anak merindukanmu.”

Lesi keluar dari gubuk itu bersama sosok yang ternyata suaminya. Pada saat keluar dari pintu gubuknya, mata Lesi perih karena sinar. Matahari yang muncul itu membuat Lesi kaget, dan rasa kaget itu ia bawa ke dalam perjalanan menuju kampungnya.

Sampai di kampung ternyata Lesi masih bersama rasa kagetnya. Pria yang menghilangkan matahari sedang memegang tali. Otot-otot tangannya mengejang hingga uratnya seakan meloncat keluar. Bulir-bulir darah mengalir dari pipinya, dan ia bekerja sebagai pengganti siang dan malam.

Orang-orang yang ada di sana tenggelam dalam keributan. Mereka berebut mau diapakan nasib matahari itu. Banyak yang ingin tetap siang saja. Sebagian besar lebih menyukai malam. Ada juga yang ingin malam dan siang saling bergantian.

Tetua di kampung itu memberi pilihan bagi orang-orang sana, dan suara siapa yang paling banyak yang menentukan. Hasil pemilihan seimbang, dan Lesi yang baru datang akan menjadi suara penentu.

Demikianlah setiap hari rumah Lesi diseruduk oleh orang-orang yang ingin pilihannya dipilih. Mereka menawarkan apa saja yang sebelumnya tak terbayangkan oleh Lesi. Dengan satu pilihan saja, Lesi bisa jadi orang terkaya di sana.

“Aku akan menjadikanmu dewi yang disembah di sini,” Tetua menawarkan sesuatu yang membingungkan Lesi. Wanita itu tentu ingin menolak, tetapi ia tak sanggup dengan tekanan yang datang dari pria itu. Ia memohon izin untuk merenung sesaat dan dia memilih bertemu dengan pria pemanggul matahari.

Pria itu menderita. Matanya dibuat buta, mulutnya disumpal bambu, kakinya dipancung ke tanah, dan kepalanya diikat ke atas sebuah pohon, singkatnya orang-orang ia dibuat tidak bisa kabur. Mereka akan mencambuknya sepuluh kali jika ingin siang datang, dan sepuluh kali berikutnya jika ingin matahari tenggelam mendatangkan malam.

Lesi menangisinya semalaman hingga pria itu dicambuk lagi untuk menciptakan pagi. Tangisan Lesi begitu kencang, nyaring, dan menyakitkan telinga. Beberapa orang mengeluhkan telinga mereka berdarah dan tuli. Sebagian orang ingin menghentikan suara itu, dan itu berarti mereka harus memilih antara siang dan malam. Pemilihan dilakukan selama berhari-hari dan hingga bertahun-tahun tidak ada suara yang menang.

Cerita itu selesai dan orang-orang yang mendengarnya terpukau. Tidak sedikit dari mereka yang memuji bagaimana cerita berjalan, dan tentu saja caraku bercerita. Sebagian ada yang penasaran dan bertanya bagaimana cerita yang mendapat uang ratusan juta itu. Aku terkejut mereka tidak tahu maka aku memulai membacakan cerita. Pada suatu hari, aku terbangun di pagi hari saat matahari muncul malu-malu. Aku berhenti di tengah-tengah cerita karena sejak kalimat pertama mereka sudah tertawa kencang.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Boiman Manik
Boiman Manik Lebih banyak membaca dan merenung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email