Kaum santri ramai menggunakan tagar #boikottrans7 untuk menunjukkan aksi protes terhadap tayangan program Xpose Uncensored yang dinilai menghina kiai dan pesantren. Fenomena ini merupakan bentuk kemarahan yang tidak dapat terbendung akibat lapisan kekecewaan terhadap cara industri media mengkonstruksi citra pesantren.
Selain itu, pemberitaan tentang kelalaian pengasuh Al Khoziny yang menelan banyak korban diframing dengan narasi eksploitasi santri. Di sinilah framing media kerap memperbesar sisi negatif pesantren, Media arus utama dan media sosial alih-alih memberitakan dengan bingkai narasi yang “sensasional” dan “menjual”, justru mereka gagal paham terhadap kasus-kasus kontroversial yang melibatkan oknum-oknum di pesantren, terutama kiai. Gagal paham ini akibat menafikan sudut pandang emik (internal) dan etik (eksternal) yang berdampak pada pembentukan narasi penghinaan.
Baca juga:
Framing pemberitaan terhadap pesantren dan kiai tentunya menghasilkan konstruksi makna yang sarat kepentingan. Ketika media menyoroti kasus oknum kiai tanpa membedakan konteks institusi pesantren, maka publik membentuk persepsi bahwa pesantren identik dengan penyimpangan moral, bahkan menghasilkan pesantrenphobia.
Beginilah akar krisis representasi itu bekerja, di mana media gagal menampilkan kiai sebagai figur moral dan memperkuat stigma pesantren. Akibatnya, kemarahan santri menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap ketidakadilan naratif. Namun, mengapa gagal paham media terhadap kiai menyulut kemarahan para santri?
Kiai sebagai Simbol Kebanggaan Kolektif
Kaum santri menganggap bahwa kiai adalah sosok yang mereka cintai dan hormati, karena memiliki genetika intelektual yang berkualitas dari aspek penguasaan ilmu agama, akhlak, ketekunan dalam beribadah, serta pengabdiannya kepada agama dan masyarakat. Rasa cinta dan hormat santri kepada kiai direalisasikan dalam bentuk pengabdian (khidmah) yang menjadi fondasi pengkultusan santri kepada kiai.
Pengkultusan kiai yang dibangun melalui sistem dan nilai pondok pesantren membentuk serta menumbuhkan kebanggaan kolektif. Gavin Brent Sullivan menjelaskan bahwa kebanggaan kolektif adalah emosi positif yang dominan dalam suatu kelompok, seperti tradisi haul dan pengajian akbar pesantren. Dalam momen-momen seperti itu, kaum santri merasa bangga dan haru terhadap sosok kiai yang mereka anggap sebagai figur serta sumber keilmuan dan spiritual. Dengan kata lain, kiai dapat dipahami sebagai simbol kebanggaan kolektif bagi kaum santri.
Jika kebanggaan kolektif bersifat otentik yang tumbuh akibat pencapaian nyata dan memperoleh pengakuan timbal balik dari kelompok lain, maka kebanggaan tersebut dapat menjaga reputasi kolektif secara positif. Sebaliknya, kebanggaan kolektif akan berubah menjadi keangkuhan kolektif atau narsisme kelompok, ketika absennya pencapaian dan pengakuan timbal balik.
Agnieszcka Golec de Zavala menyebut bahwa kelompok ini memiliki narsisme yang tinggi dan cenderung merespon ancaman simbolik, seperti penghinaan atau kritik terhadap tokoh panutannya dengan cara agresif, defensif, bahkan kekerasan. Dalam konteks pemberitaan yang merendahkan kiai sebagai simbol keagamaan memunculkan collective hate di tengah derasnya arus pemberitaan negatif tentang pesantren.
Paradoks Reaksi Santri
Ragam reaksi santri yang muncul dapat dibaca melalui tipologi Yon Machmudi, yaitu “Santri Lama” dan “Santri Baru”. Santri Lama adalah kelompok santri yang tumbuh dan dididik dalam tradisi pesantren dan memiliki kedekatan emosional dengan kiai. Kelompok ini menganggap bahwa penghormatan kepada kiai tidak dapat terpisahkan dari iman dan adab berdasarkan ilmu agama, sehingga mereka menganggap bahwa pembelaan terhadap kiai merupakan kewajiban. Gerakan aksi dari kalangan santri yang turun ke jalan, seruan melakukan pemboikotan terhadap media Trans7, hingga pelaporan kasus penghinaan kiai ke pihak yang berwewenang merupakan reaksi yang memperlihatkan bentuk kebanggan kolektif yang kadang dapat bergeser menjadi respon defensif-agresif, jika tidak diimbangi dengan refleksi kritis.
Baca juga:
Berbeda dengan Santri Baru sebagai kelompok santri yang ter-urbankan melalui pendidikan modern. Kelompok ini menempatkan rasionalitas, objektivitas, dan akuntabilitas sebagai nilai-nilai penting dalam memahami realitas. Mereka lebih cenderung melihat kiai melalui konsep otoritas keagamaan secara kritis, tidak lagi berbasiskan pada takzim buta. Kelompok santri ini merespon penghinaan kiai melalui celotehan dengan gaya reflektif-kritis yang diunggah di media sosial. Misalnya, mereka menuliskan argumen yang membongkar cacat epistemik feodalisme pesantren dengan menyajikan keberagaman kehidupan pesantren, menyoroti fenomena kemarahan santri dengan membaca ulang kasus kelalaian pengasuh pesantren Al Khoziny, dan mengkritik sikap takzim buta santri terhadap kiai.
Dua reaksi ini memperlihatkan respon paradoks. Di satu sisi terdapat dorongan untuk menjaga marwah kiai sebagai simbol keagamaan, namun di sisi lain muncul juga kesadaran bahwa otoritas moral perlu dikawal secara kritis.
Pembelaan Simbol dan Otoritas Moral
Paradoks rekasi santri memunculkan pertanyaan penting: Masih perlukah kiai dibela? Pertanyaan ini mengingatkan pada gagasan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam tulisannya yang berjudul “Tuhan tidak perlu dibela”. Gus Dur mengutip pendapat Al-Hujwiri, seorang sufi Persia, untuk menegaskan bahwa Tuhan tidak bergantung pada pembelaan manusia. Analogi ini bisa ditarik ke dalam konteks penghinaan terhadap kiai. Jika kiai memang memiliki otoritas moral dan intelektual, seharusnya martabatnya tidak akan runtuh hanya karena sebuah celaan.
Sebagaimana Khaled Abou ElFadl pernah mengajarkan bahwa martabat keagamaan seorang tokoh agama seharusnya tidak hanya diukur dari status sosial (being in authority), melainkan dari being an authority – kualitas keilmuan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral. Perbedaan inilah yang kerap diabaikan dalam euforia pembelaan terhadap kiai. Pembelaan tanpa refleksi-kritis berpotensi menutup ruang kritik dan pembaharuan yang berpotensi menjadikan pesantren terjebak dalam feodalisme spiritual.
Munculnya fenomena kemarahan santri sebagai respon terhadap penghinaan kiai merupakan bentuk ekspresi akibat terusiknya kebanggaan kolektif. Lantas perlu dipertanyakan ulang, apakah pembelaan yang personifikatif terhadap kiai benar-benar menjaga marwah agama, atau sekadar karena takut kehilangan simbol yang diagungkan? Pertanyaan ini diperlukan untuk mengawal perjuangan kaum santri dalam merebut kembali narasi tentang kiai di mata publik. (*)
Editor: Kukuh Basuki

 
                                 
					 
                     
                    