Jika tidak ada perlawanan rakyat yang kuat, mungkin tidak lama lama lagi, Presiden Prabowo Subianto akan menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada mantan mertuanya, Soeharto. Soeharto adalah sosok jenderal militer yang pernah berkuasa selama 32 tahun di era Orde Baru. Di era itu, Soeharto diberikan gelar Bapak Pembangunan. Sementara model pembangunan di era Orde Baru berpijak pada ekonomi ekstraktif.
Model pembangunan ekstraktif ini bertumpu pada pengurasan sumberdaya alam (SDA). Tak heran model pembangunan di era Orde Baru meninggalkan jejak ekologi dan pelanggaran Hak Asasi Manuasia (HAM). Salah satu jejak ekologi dan pelanggaran HAM itu ada di Kedung Ombo. Pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah (1985–1989) adalah salah satu jejak ekologi Orde Baru paling menyakitkan bagi warga lokal. Waduk Kedung Ombo adalah simbol “dosa ekologi” rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Bukan sekadar proyek infrastruktur, Kedung Ombo adalah cerita tentang bagaimana pembangunan yang diagung-agungkan dengan mengabaikan hak-hak ribuan rakyat kecil atas lingkungan hidup.
Baca juga:
Proyek Waduk Kedung Ombo didanai oleh lembaga bisnis bantuan internasional. Pembangunan itu diklaim bertujuan untuk menyediakan air irigasi, pengendali banjir, dan listrik. Namun, ribuan keluarga dari puluhan desa di tiga kabupaten (Boyolali, Grobogan, dan Sragen) menjadi tumbal pembangunan itu.
Bagaimana tidak, warga dipaksa melepaskan tanah warisan mereka dengan ganti rugi yang sangat kecil, dikabarkan hanya mencapai ratusan Rupiah per meter persegi—jauh di bawah harga pasar dan bahkan nilai yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Sebagian besar uang ganti rugi yang seharusnya diterima rakyat justru diselewengkan oleh oknum pejabat.
Intimidasi dan Stigma PKI di Kedung Ombo
Warga yang menolak pembebasan lahan atau menuntut ganti rugi yang layak dihadapkan pada tekanan militer dan birokrasi. Mereka yang gigih menolak dicap sebagai “mbeguguk ngutho waton” (berkepala batu) oleh Presiden Soeharto sendiri, dan yang lebih kejam, dicap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Stigmatisasi ini adalah senjata ampuh Orde Baru untuk mematikan perlawanan.
Di era Orde Baru, bahkan hingga kini, bila label PKI sudah disematkan maka seolah-olah berbagai tindak kekerasan terhadap pihak yang mendapatkan labeling itu menjadi sebuah kewajaran. Singkatnya, dalam narasi pembangunan Orde Baru, rakyat dianggap sebagai “penghalang” kemajuan yang harus disingkirkan, bukan sebagai subjek yang berhak berpartisipasi dalam perencanaan nasib mereka sendiri.
Dosa Ekologi Orde Baru di Kedung Ombo
Pembangunan Waduk Kedung Ombo mengabaikan aspek keadilan lingkungan secara total. Setidaknya ada dua dampak buruk pembangunan waduk itu terhadap masyarakat sekitar. Pertama, pembangunan Waduk Kedung Ombo menciptakan kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural adalah jenis kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakadilan atau ketidakmerataan yang tertanam kuat dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik suatu masyarakat atau negara. Ini adalah kemiskinan yang terjadi bukan karena kurangnya usaha individu (seperti kemiskinan kultural), tetapi karena sistem itu sendiri menciptakan dan mempertahankan hambatan yang mencegah kelompok masyarakat tertentu untuk mengakses sumber daya dan kesempatan yang layak.
Bagaimana tidak, petani yang sebelumnya memiliki lahan produktif, sumber kehidupan merek, tiba-tiba kehilangan segalanya. Mereka yang bertransmigrasi ke lokasi yang dijanjikan, kerap mendapati lahan yang tidak layak tanam. Hal ini menciptakan kemiskinan antargenerasi yang mengakar, mengubah petani mandiri menjadi buruh tani atau nelayan yang terpinggirkan.
Kedua, hilangnya identitas lokal masyarakat setempat. Penggenangan wilayah bukan hanya menghapus fisik desa, tetapi juga menenggelamkan situs-situs budaya, lahan adat, dan ikatan sosial yang telah terjalin ratusan tahun. Pembangunan Waduk Kedung Ombo telah merobek kain sosial-budaya masyarakat.
Kedung Ombo adalah potret nyata dari paradigma pembangunan yang cacat. Pembangunan yang mengukur keberhasilan hanya dari infrastruktur fisik (waduk raksasa), namun gagal mengukur keberlangsungan hidup dan martabat manusia (ribuan keluarga yang tergusur).
Celakanya jejak ekologi yang berdarah-darah dari model pembanguan ekstraktif Orde Baru tidak hanya terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Hampir di setiap wilayah di Indonesia, Orde Baru meninggalkan jejak ekologi yang berdarah-darah.
Menolak Gelar Pahlawan Soeharto dari Prespektif Ekologi Politik
Jejak ekologi dan pelanggaran HAM model pembangunan ekstraktif ala Orde Baru sudah sangat terang benderang. Pertanyaannya, kenapa razim Prabowo-Gibran bersikeras memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat arah pembangunan yang digagas oleh mantan menantu Soeharto, yang sekarang kebetulan menjadi Presiden Indonesia. Dalam pidato pelantikannya menjadi Presiden Indonesia, secara jelas ia mengemukakan gagasan tentang swasembada energi dan pangan.
Swasembada energi yang digagas Prabowo Subianto bertumpu pada optimalisasi energi fosil (batubara) dan bio energi. Batubara adalah energi fosil yang paling kotor sejak dari hulunya. Sementara di hilirnya, pembakarannya menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim.
Bio energi yang digagas Prabowo Subianto juga bertumpu pada perkebunan skala besar. Ini adalah ancaman nyata bagi kelestarian hutan Indonesia. Saat memberikan pengarahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Jakarta pada akhir 2024, Prabowo mengeklaim “kelapa sawit jadi bahan strategis” dan “banyak negara takut tidak dapat kelapa sawit“.”Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?” tutur Prabowo.
Hal yang sama juga terjadi pada gagasan swasembada pangan. Gagasan swasembada pangan Prabowo berbasiskan pertanian skala besar, food estate. Di era Presiden Jokowi praktik dari food estate ini telah terbukti gagal. Bahkan di era mantan mertuanya menjadi Presiden Indonesia, program pembukaan lahan gambut menjadi sawah juga gagal dan menyisakan bencana ekologi.
Baca juga:
Model pembangunan di era Prabowo Subianto masih bertumpu pada model pembangunan ekstraktif seperti Orde Baru. Berbeda dengan di era mantan mertuanya berkuasa, saat ini masyarakat mulai memiliki kesadaran atas lingkungan hidup. Untuk menetralisir dan melemahkan penolakan masyarkat terhadap model pembangunan ekstraktif yang merusak, perlu dibangun wacana untuk menormalisasi daya rusak model pembangunan ekstraktif itu. Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah pintu masuknya.
Bila gelar pahlawan sudah disematkan kepada Soeharto maka segala model pembangunan ekstraktif Orde Baru yang merusak alam mendapatkan legitimasi baru. Legitimasi atas model pembangunan ekstraktif itu menjadi pijakan untuk mereplikasi dan memodifikasinya sehingga dapat diterima masyarakat saat ini.
Pemberian konsesi tambang untuk ormas keagamaan dan koperasi dengan dalih pemerataan ekonomi adalah bagian dari modifikasi model pembangunan ekstraktif Orde Baru. Dikerjakan oleh perusahaan multi-nasional, nasional, ormas keagamaan ataupun koperasi daya rusak tambang terhadap lingkungan hidup tidak berkurang.
Dalam prespektif ekologi-politik, penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan didasari atas kebencian individual terhadap sosok Soeharto sebagai manusia. Penolakan itu didasarkan pada upaya mencegah upaya penyelenggara negara saat ini untuk mereplikasi dan memodifikasi model pembangunan ekstraktif Orde Baru yang merusak alam. Penolakan ini didasarkan pada keselamatan generasi mendatang dari bencana lingkungan hidup akibat pilihan politik atas model pembangunan. (*)
Editor: Kukuh Basuki
