Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Hidup Berguling seperti Bola

Inas Pramoda

9 min read

Berkunjung ke taman bermain di hari kerja mungkin kurang seru, tapi itu pilihan bijak. Sepertinya hanya butuh tiga jam untuk menyisir tiap sudutnya, dan kalau mau, mencoba seluruh wahana. Aku yang biasanya hanya duduk-duduk berteduh dan membiarkan keponakanku melayap bersama ibunya, kali ini rela ikut menemani mereka naik kereta luncur. Sejak tahun lalu dan tinggi badannya melampaui 135 sentimeter, keponakanku Esa sudah bisa naik segala rupa permainan. Dan sejak itu juga, kereta luncur selalu jadi menu wajib baginya tiap kali kuajak ke taman bermain.

Mengetahui anaknya suka naik kereta luncur, adikku jadi sering memakainya untuk memaksa anaknya makan sayur dan menasehatinya jangan merokok seperti pamannya.

“Ingat loh kalau mau naik kereta luncur harus sehat, gak boleh sakit jantung,” bujuk adikku Laras tiap kali anaknya mulai pilih-pilih makan. Terkadang, menurutku Laras agak kelewatan juga memakai kartu truf itu. Sesekali ia mulai mengada-ngada. Kalau Esa sudah keseringan nonton TV, ia bakal mendekatinya dan berkata, “Nonton terus nanti bisa sakit jantung loh Esa.” Dan keponakanku dengan polosnya segera mengambil remot lalu mematikan layar.

Seandainya keponakanku tumbuh dewasa mengikuti arahan ibunya, ia bakal hidup panjang dan tak pikun, sebab ia tak akan mengenal kata candu. Setiap melakukan sesuatu dan dirasa berlebihan, ia bakal ingat wejangan ibunya: jangan ini, jangan itu, nanti sakit jantung. Dan kalau sakit jantung artinya tak bisa lagi naik kereta luncur. Aku hanya berdoa semoga Esa tumbuh besar tanpa menyadari bahwa tak semua yang keluar dari mulut ibunya adalah kebenaran; bahwa sebagian perkataan orang dewasa adalah omong kosong.

Aku dua kali naik kereta luncur hari itu. Laras hanya tahan sekali. Sementara Esa ingin naik kali ketiga jika tak kutahan-tahan. “Masih banyak yang lain,” rayuku. Wajahnya cemberut, tapi ia menurut. Sebagai ganti tak boleh naik kereta luncur tiga kali, ia minta dibelikan es krim. Itu permintaan yang mudah saja. Aku memesan tiga sekop es krim tanpa melihat harga dan bermurah hati memberi tip karena tak ada kembalian. Aku ingin menanamkan di ingatannya ada lelaki dewasa yang selalu bisa ia andalkan.

Taman bermain itu masih lengang hingga matahari lewat di atas kepala. Bayang-bayang perlahan condong ke timur dan bulir-bulir keringat mulai menyeruak di kening. Sejak turun dari kereta luncur, kami sudah mengunjungi rumah hantu yang tak menyeramkan; balapan gokar; dan naik ayunan putar di ketinggian 15 meter yang lebih menakutkan ketimbang wahana lain. Ia berputar-putar kurang dari lima menit dengan kecepatan pejalan kaki dan perlengkapan keamanan seadanya. Hanya ada pegangan besi antara rantai ayunan yang menyangga badan kami dan sabuk longgar antara kedua paha untuk menahan kami tak merosot jatuh.

Aku berkali-kali menggoyang rantai yang menjuntai di sekelilingku, memastikannya cukup kokoh untuk menahan bobot orang dewasa. Saat menoleh ke samping, Esa tampak girang menendang-nendang lantai dengan tumitnya. Sementara Laras melambai-lambai di bawah sambil mengarahkan kamera hp ke muka anaknya. Suaranya kurang terdengar, tapi aku agak bisa membaca gerak bibirnya. “Senyum, senyum.” Sungguh ibu dan anak ini pasti tak pernah berpikiran bahwa seluruh wahana di sini bisa jadi alat eksekusi mati. Senang sekali hidup tanpa kewaspadaan seperti itu.

Tiga menit berlalu begitu saja. Tak ada skenario buruk terjadi—selain kepalaku yang agak pening turun dari ayunan. Esa segera berlari ke kamar mandi. Sepertiga putaran terakhir mukanya memang sudah mengerut dan kakinya terus bergerak-gerak seperti cacing.

“Capek, Mas?” tanya Laras. Aku menggeleng.

“Mau pulang habis ini?”

Aku menggeleng lagi. “Masih banyak yang belum dicoba. Mumpung di sini.”

“Mas hari ini izin cuti?”

“Bilang mau liputan khusus. Jatah cutiku udah habis.”

“Liputan apa?”

“Apa aja yang bisa diliput.”

Sebelum Laras bertanya lebih jauh, keponakanku sudah beres dari kamar mandi. Aku lupa sejak kapan ia bisa cebok sendiri. Mengamati pertumbuhan seseorang dari masih orok hingga sebesar ini, waktu terasa begitu lekas berlalu. Tahu-tahu ia sudah merangkak; tahu-tahu sudah berjalan; tahu-tahu sudah punya cita-cita. Padahal dulu rasanya aku tumbuh dewasa dengan perlahan.

“Om, Om, mau main apa lagi?” Esa tampak antusias.

Aku menunjuk ritsletingnya. “Itu ditutup dulu.” Ia buru-buru membenarkan celananya lalu segera mengikuti langkah kakiku. Dan ternyata tak banyak lagi sisa permainan menarik selain Istana Boneka. Keluar dari istana itu, kami berputar-putar seperti Hajar mencari sumber air di padang gersang. Dan percayalah, pada saat-saat tersulit, selalu saja perempuan yang menemukan jalan keluar. Waktu aku nyaris menyerah dan hendak pulang, Laras menarik-narik lengan bajuku dan menunjuk ke kiri. “Belum nyoba itu kan, Mas?”

Seekor banteng mesin dengan muka bodoh tampak kesepian dikelilingi pagar karet berwarna biru. Taman bermain sepi sejak tadi, dan rasanya tak akan mendadak ramai hingga akhir pekan. Esa yang seumur-umur belum pernah menunggangi hewan langsung semangat. Matanya terbuka lebih lebar melihat tulisan RODEO besar-besar di atas papan berdekorasi ala bar lawas di film-film koboi.

Tanpa disuruh, ia langsung berjalan cepat-cepat ke penjaga loket—seorang pria kurus bertopi yang jalannya malas-malasan. Aku dan Laras hanya memerhatikan dari belakang. Esa menaiki banteng mesin bermuka bodoh sambil melambai-lambai ke arah kami. Di leher banteng itu, seutas tali tambang menjuntai.

“Esa, pegangan, talinya dipegang!” seru Laras. Ia lantas menoleh ke penjaga loket dengan wajah mengiba. “Mas, jangan kenceng-kenceng ya.” Lalu banteng mesin itu mulai bergoyang naik-turun; maju-mundur; kanan-kiri.

Setengah badan Esa bergontai bagaikan ilalang ditiup angin, sedangkan sepasang kakinya terapit kencang seperti mati-matian menahan kencing. Ia hanya bertahan setengah menit sebelum terjungkal ke matras karet dengan posisi menjengking. Bocah itu bangkit kembali sambil memegangi perut banteng, lalu menghadap ke penjaga loket dan mengacungkan telunjuk. “Sekali lagi.”

Pada percobaan kedua, ia hanya bertahan lima detik lebih lama. Laras menyuruhnya menyudahi permainan. Bagiku banteng bermuka bodoh itu tak mengancam sama sekali, tetapi bagi Laras yang menyaksikan langsung anaknya bolak-balik mencium matras, mungkin itu satu-satunya wahana paling berbahaya. Aku baru hendak balik kanan saat ditantang keponakanku untuk bertahan lebih lama darinya di atas punggung banteng itu. Katanya, paling-paling aku cuman kuat 10 detik. Tentu hanya bocah kemarin sore yang bakal terpancing dengan provokasi murahan tadi. Namun, agar tidak membuatnya sedih, aku pura-pura tertantang.

“Om dulu pernah naik kuda peliharaan Eyang,” aku sesumbar. “Kuda pejantan, sulit jinak, tapi Om bisa bawa dia keliling lapangan.”

Aku tak berbohong. Walaupun waktu itu kudanya dituntun Bapak dan aku hanya keliling setengah lapangan. Esa tak perlu tahu rinciannya. Ia cukup perhatikan kepiawaianku menjinakkan banteng bermuka bodoh ini. Dan saat berada di atas punggungnya, baru aku sadar perbedaan besar antara menaiki makhluk hidup dan mesin. Tubuh banteng itu terlalu kaku dan kakiku tak bisa mengapit sempurna. Karena terlanjur menyombongkan diri, aku melilit lengan kananku dengan tambang dan menggenggamnya erat-erat. Aku bertekad setidaknya bertahan selama satu menit. Dan tanpa hitungan mundur, tiba-tiba banteng itu menyentak keras hingga bokongku melayang. Jelas goyangannya dua kali lipat lebih kuat dari sebelumnya.

Yang kuingat setelahnya, kepalaku dikocok-kocok; badanku terhempas ke segala arah; bokongku segera merosot; dan seketika mukaku bertemu matras. Saat banteng itu berhenti mengamuk, hanya sebelah lenganku yang masih menggantung karena tersangkut tali. Sementara di luar arena, Laras menahan tawa, sedangkan Esa menggenggam hp ibunya dengan kedua tangan. “Sebelas detik,” katanya. Aku malu sekali hingga melupakan rasa sakit tergesek tambang yang mengelupas kulitku setengah lengan.

Kakiku masih agak gemetar waktu berdiri. Dan saat berjalan gontai keluar, baru kulihat dengan jelas wajah tirus penjaga loket. Ia tampak tak terhibur sama sekali. Senyumnya seperti sudah punah bertahun-tahun. Kedua matanya terbuka, tapi tak menatap siapa pun, persis bayi menjelang tidur. Aku tak menyangka ada seorang pekerja di taman bermain memasang muka begitu muram. Dan karena kesan yang ia tinggalkan sangat menyedihkan, aku sampai-sampai telat sadar siapa sebenarnya lelaki kurus itu.

“Ah Om payah,” celetuk Esa sambil cengengesan. Suaranya terkaburkan ingatanku yang mulai mengenali sosok penjaga loket. Aku menoleh lagi ke arahnya, benar dugaanku. Setelah itu, Laras kuminta pergi lebih dulu membawa anaknya makan siang. Aku bilang akan menyusul dan ia tak bertanya macam-macam lagi. Tinggal aku, penjaga loket, dan banteng bermuka bodoh yang tersisa. Dua-tiga pengunjung lalu-lalang tanpa berhenti. Aku melangkah mantap mendekati penjaga loket yang duduk termangu.

“Mas Aji?” sapaku. Ia menoleh tanpa jawaban. Aku merogoh saku jaket bagian dalam lalu mengeluarkan kartu pers. Ia melihatnya sekilas lalu membuang muka. Aku menyebut angka 118 dan berharap ia mengerti. Namun, ia masih bergeming.

“Yang tadi itu ponakanku,” aku tak peduli ia menyimak atau tidak. “Bapaknya, adik iparku, mati pas malam 1 Oktober.” Kali ini aku berhasil merebut perhatiannya. Ia menoleh dan tak segera berpaling.

“Namanya Anto, dulu teman satu sekolah, naksir adikku. Aku tahu sejak lama dia suka Laras, ada aja alasannya main ke rumah. Tiap pamit pulang, barang selalu ketinggalan. Dia pakai itu buat alasan mampir lagi. Curi-curi pandang lihat Laras. Luluh juga hatinya. Sembilan tahun lalu mereka menikah. Dari zaman SMA, kita sama-sama suka nonton bola. Mas ingat, pas klub kota ini menang liga musim 2009-2010? Kami berdua ada di tribun, lihat tropi itu diangkat semua pemain. Megahnya. Habis itu gak pernah lagi lihat klub ini juara. Pemain datang-pergi, pelatih ganti-ganti, kami di sini-sini aja. Aku menyesal. Harusnya kami lupakan sepak bola dari lama. Tapi hiburan kita apa lagi sih, Mas? Dan semuanya direnggut dalam semalam…”

Lelaki kurus di sebelahku mendengar dengan tekun. Aku hanya menatapi banteng bermuka bodoh yang lama-lama kelihatan makin menjengkelkan. Dari samping, aku bisa merasakan sedang ditatap oleh sepasang mata yang mulai membara. Aku tahu ia memerhatikanku—kita selalu tahu ada yang mengawasi walau kita tidak melihat ada siapa pun.

“Aku ada di sana, Mas. Malam 1 Oktober, bareng Anto. Kamu main bagus. Aku hitung-hitung, bisa aja klub kita kebobolan empat kali. Kamu main bagus. Semua main bagus. Yang bajingan polisi-polisi itu. Kami ada di tribun 11… 10, 11, 12, 13, semuanya neraka. Baru sekali itu aku dengar suara badan diinjak-injak sampai ke tulang. Suara orang-orang sekarat. Semua orang panik. Susah melek gara-gara gas air mata. Gak ada yang niat mau demo malam itu. Siapa yang datang ke stadion buat demo? Siapa yang mikir bakal ada tembakan gas air mata? Malam gelap, lampu redup, asap pekat, semua kabur dituntun suara-suara ketakutan dari sisi tangga ke pintu.”

Aku memperlihatkan gigi taring yang tanggal ke lawan bicaraku, Aji, mantan bek kebanggaan kota ini. “Gigiku hilang kena sikut waktu turun tangga. Anto nyawanya yang hilang, kehabisan napas kejepit ratusan orang. Dua hari Mas, dua hari baru ipar malangku ditetapin jadi korban ke-118. Sebelum berangkat nonton pertandingan, aku bilang ke adikku Laras, pinjam lakimu sebentar. Ponakanku lagi ngaji di langgar. Dia gak sempat pamitan sama bapaknya. Harusnya yang mati aku aja. Kenapa kita masih hidup, sih?”

Lewat seperempat jam sejak kami bertemu, ia belum bicara sekata pun atau menunjukkan ekspresi wajah selain datar. Ponselku sudah berdenting dua kali, sepertinya pesan masuk dari Laras. Belum ada pengunjung lain yang mampir. Semua tampak bersekongkol membiarkan kami—dua orang dewasa penuh duka—saling mengadu.

“Aku gak punya muka ketemu Laras. Adikku malang, anaknya lebih malang lagi. Belum ada 10 tahun umurnya. Masih terlalu kecil buat kehilangan. Tapi sudah cukup besar buat ingat semua memori bareng bapaknya. Waktu aku pulang ke rumahnya, ponakanku duduk depan lemari sepatu, nanya bolak-balik, ‘Om, Bapak mana? Bapak kapan pulang?’ Anto bukan aku yang bunuh, tapi aku merasa paling bersalah, Mas. Dulu bapakku juga mati kecelakaan, motornya diserempet pick up. Dia lagi bonceng adiknya. Bapakku mati, omku cuman sekarat. Habis keluar rumah sakit, dia gak pernah mampir lagi ke rumah. Sebelum meninggal, omku cerita, dia malu ketemu aku sama Laras. Sekarang aku ngerti bagaimana perasaannya.”

Aji masih diam, tapi ia menyodorkan sekotak rokok dari balik bajunya.

“Boleh merokok?” Ia menggeleng, tapi tangannya masih menjulur kaku. Ia goyangkan kotak rokoknya sekali lagi. Aku meraihnya dan mengambil sebatang, kemudian ia menyalakan korek buatku. Aku agak merunduk dan mendekatkan wajah, jarak antara kami hanya sejengkal rokok, dari sana dapat kulihat lebih jelas garis-garis halus di mukanya yang tertarik ke bawah.

“Aku nonton pertandinganmu terakhir, bareng keluarga korban yang lain. Kami bawa spanduk hitam besar-besar, isinya maki-maki polisi, klub kita juga. Aku ingat seisi stadion kebingungan waktu Mas bikin gol bunuh diri.” Ekor mataku melirik ke luar area wahana RODEO; sepasang perempuan urung mampir ke mari setelah melihat sekitar ragu-ragu dan saling berbisik.

Sesaat kemudian, lawan bicaraku akhirnya menyahut. “Yang kupingku dengar, semua supporter misuh-misuh,” katanya sambil tertawa kecut. Ia pun mulai membakar sebatang rokok.

Itu kali pertamaku merokok di taman bermain dan melihat seorang atlet menghisap rokok tanpa malu-malu, meski entahlah ia masih bermain bola atau tidak saat ini. Kami berdua terdiam beberapa waktu, membiarkan abu berjatuhan seperti laron kehilangan sayapnya. Aku selalu benci perokok yang merokok tidak pada tempatnya, tapi anggap saja ini pengecualian.

Aku ingat gol bunuh diri Aji seperti baru kemarin. Berat bagi kami yang kehilangan keluarga di stadion untuk kembali menonton orang-orang merayakan sepak bola. Kami datang semata-mata untuk memperlihatkan sikap bahwa yang mati tak bisa hidup lagi; yang hidup tak bisa hidup seperti sedia kala; dan sepak bola bukan lagi permainan yang bisa dinikmati. Sementara orang-orang di sekitar kami masih bersorak sorai menyanyikan yel-yel penuh ancaman; saat memerhatikan mata mereka yang menyala-nyala, aku masih tak mengerti dari mana datangnya gairah itu. Dalam mataku, kamu hanya bisa menemukan kubangan dendam berjelaga.

Lucu bahwa gairahku terhadap sepak bola berkelebat lagi ketika melihat Aji melesakkan tembakan ke gawangnya sendiri. Itu gol termudah dan terindah yang pernah kusaksikan langsung. Aku segera tahu bek itu memendam dendam serupa denganku. Satu lagi yang kuingat setelah laga itu, orang-orang mengutuki Aji karena gol bunuh dirinya bikin klub sialan kesayangan mereka kalah tipis. Mereka bilang klub itu main bagus, lawannya cemen, dan seharusnya itu bakal jadi kemenangan mudah. Hanya butuh kurang dari setahun untuk memberangus semua kenangan tentang malam 1 Oktober. Dan gol bunuh diri Aji tak membuat mereka mengingat apa pun—seperti orang kena gendam.

“Itu jelas disengaja, kan?” tanyaku. Ia hanya menatapku. “Gol bunuh diri itu.”

“Emm… kamu lihat sendiri aku langsung diganti,” katanya.

“Mas sudah gak main bola lagi?”

“Bola?” matanya memerhatikanku. “Bola asu… aku sudah bilang istriku loh, tunggu di rumah saja, nanti malam kita bisa rayakan ulang tahun pernikahan berdua. Makan ceker pedas kesukaan dia. Emm… kamu tahu apa dia bilang?”

Aku hanya diam.

“Dia pengen nonton aku main, biar sekalian ngerayain kemenanganku nanti. Emm… perempuan itu simpel sekali loh, dia pikir semua permainan bisa dimenangkan. Dan kalau kalah, namanya juga permainan.” Lelaki itu memutar-mutar rokok di sela telunjuk dan jempolnya. Pandangannya menyusuri kakinya sendiri. “Emm… aku gak tahu dia nonton di tribun mana malam itu. Aku gak dengar suaranya. Siapa juga yang bisa nandain suara seseorang di stadion sebesar itu, di laga sekeras itu?”

“Kamu wartawan, kan?” tiba-tiba ia bertanya sambil menunjuk pakai rokoknya yang sisa sepertiga. “Berapa ditulis korban yang mati?”

“135.”

Aji membuang rokoknya dan segera menguleknya pakai bagian depan telapak kakinya; lalu menarik tungkainya ke belakang; meninggalkan segaris bekas hitam, kertas rokok tercabik-cabik, dan isinya terburai berceceran.

“Istriku Luluk belum masuk hitungan itu. Dia mati habis dirawat beberapa minggu. Sampai saat terakhirnya belum sadar juga. Emm… klub kita kalah, istriku mati, gak ada yang pernah kami rayakan. Dan Mas nanya apa aku masih main bola setelah itu?”

Aku mengisap panjang batang rokokku untuk terakhir kali hingga bara apinya nyaris mengenai filter, lalu membuang sisanya seenakku dan menginjaknya seperti yang dilakukan Aji. Laras menelepon tak berselang lama. Ia bertanya kapan aku menyusul makan. Aku bilang kepadanya pesankan dulu apa saja dan aku akan segera ke sana.

“Mas Aji mau sampai kapan di sini?”

“Sampai tutup.”

“Maksudku kerja di sini.” Ia hanya diam. Aku meninggalkan kartu namaku. “Aku harus pergi sekarang, Mas. Tapi kita perlu ngobrol lebih banyak nanti.”

Sesaat setelah berbalik badan, ia memanggil namaku.

“Emm… kamu masih nonton bola?”

“Nonton bola? Aku wartawan olahraga, Mas.” Aku tersenyum. “Ya, aku masih nonton bola. Orang-orang bilang timnas kita lagi bagus, mungkin bisa masuk Piala Dunia.”

“Aku doa semoga mereka cepat kalah.”

“Aku juga.”

Jakarta, 2024

*****

Editor: Moch Aldy MA

Inas Pramoda
Inas Pramoda Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email