morally bankrupt woman who can't even call herself a feminist

Guntur Gumregah

Sofiana Martha

9 min read

Cerpen ini merupakan bagian kedua (dan yang terakhir) dari cerpen berjudul “Serenada Langit”.

***

Aku melihatmu dari sini, kau tidak perlu khawatir.

Itu adalah kalimat yang bisa dibaca dari pergerakan bibir tipis Jati di seberang sana. Miyano terlihat enggan, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Jati hanya tersenyum, duduk dengan tenang beralas tikar, di balik layar yang menayangkan kisah cerita. Ia kena usir sebab di bagian atas pintu masuk, tertulis kalimat verboden voor honden en inlander. Alias anjing dan pribumi dilarang masuk.

“Kau tidak apa-apa?”

Jati mengangguk.

Malam itu, Wasesajati mengungkapkan perasaan yang jujur kepada hatinya sendiri. Dia tidak sempat menghafal wajah para totok yang berani meludah ke arahnya sambil memonyong-monyongkan bibir. Dia juga tidak sempat bersedih meski disamakan dengan anjing di tanah kelahirannya sendiri. Apalah guna semua itu terpikir jika ia sedang kelewat senang? Semua itu karena sejengkal senyum — yang katanya sanggup ia tukar dengan nyawa — bak opium. Gusti ingkang murbeng gesang, tengoklah senyum itu! Senyum itu mahal sekali! Persetan soal banyak hal, kecuali deru napas berbau jeruk dari dua belah bibir tipis itu.

Sejatinya, nyawa Jati tidak akan sepadan dengan senyum itu.

“Sapalah orang-orang itu.”

Jati mengangguk paham, mengaitkan kedua tangan di depan dan menunduk pada ayahnya. Beliau adalah sang penguasa di tanah ini. Gayanya yang agung dan pendiriannya yang tangguh membuat wilayahnya menjadi kawasan paling disegani. Kehadirannya yang sanggup mengheningkan seisi aula membuat orang-orang meneguk ludah. Pria itu adalah orang yang mencengkeram Belanda. Orang yang sanggup menghadirkan guntur dan hujan jika sedang murka.

Jati tergugu sedikit agak lama saat tatapan matanya tertumbuk pada Gubernur Jenderal Kyokushin. Tidak ada tanda bahwa ia bersama orang lain, itu berarti kemungkinan Miyano sedang di rumah sendirian. Untuk beberapa waktu, mereka menjadi sangat dekat sebab sering berbincang di belakang sekolah, ditemani burung-burung yang masih sibuk membuat sangkar untuk menyambut musim kemarau. Jati pernah berkelakar soal rumah yang berusaha dibangun oleh para burung itu, yang menurutnya tidak ayal hanya rumah sementara, sejenak bersinggah dari migrasi atau semacamnya.

Jati yang hendak menghampiri, kemudian bersitatap dengan wajah itu. Wajah Gubernur Jenderal Kyokushin yang menatapnya dengan dingin. Seperti saat terakhir kalinya Jati mengantarkan Miyano pulang. Pria itu menepuk kedua bahu Jati secara bergantian kemudian berbisik, “Andaikata kami memang diharuskan mundur maka bumimu tetap akan seperti ini, Nak. Aku tahu kau adalah pria yang selalu Miyano nantikan kedatangannya. Aku juga paham bahwa kaulah alasan dia yang penurut itu jadi membangkang akhir-akhir ini. Ada berbagai hal di dunia ini yang tidak akan bisa kau ubah. Seperti bebatuan yang hanya bisa digerus oleh air dan waktu.”

Untuk pertama kalinya, Wasesajati merasakan dingin yang luar biasa, menumpuk pada tengkuknya, mengantarkan rasa ngeri luar biasa. Bukan karena seberapa mengerikannya orang itu, tetapi perkataannya yang memasuki relung hatinya. Rasa itu melanda dari saraf telinganya lalu berproses menuju otak dan memompa jantungnya untuk berdentum bertalu-talu. Kakinya yang dibalut jarik serasa dibebat oleh tali sehingga terasa seperti diam di tempat.

Namun, persoalan itu berhenti seketika di dalam kepalanya ketika manik matanya menangkap sesosok Miyano dari kejauhan. Ia selalu nampak cantik luar biasa. Selalu memakai setelan putih sebab menurut dirinya sendiri, itu membuatnya merasa lebih baik. Suci selalu berlambangkan putih. Doakan saja kalau itu akan cocok denganku, katanya suatu hari saat Jati mengajaknya pergi ke panti asuhan. Saat itu, wajahnya terlihat berpendar. 

Jati segera menghampiri, “Apa yang kaulakukan di sini?”

“Menemani Gubernur Jenderal Kyokushin. Apa lagi?” tawa Miyano pelan. Kimono putihnya terlihat apik membungkus pinggang ramping seukuran jengkal itu. “Katanya, di sini adalah tempat yang cocok untuk berdansa, ya? Kalau begitu, apa kau bersedia untuk berdansa denganku?”

Jati termangu. Pikirannya bercabang antara merasa hina atau merasa tertarik. Kedua tangan Miyano mengelus dua bahunya, mengelus pipinya perlahan seolah porselen. Pandangan itu mengantarkan kelembutan yang luar biasa seakan bulan sedang memeluk. “Aku selalu mengatakannya. Tapi aku memang suka saat kau memakai pakaian seperti ini. Aku suka saat kau berlaku sopan kepada orang lain. Aku suka saat kau mengatakan banyak hal yang tidak aku tahu. Aku suka tiap kau, dalam jalanmu, selalu seperti mengajakku berdansa.”

“Tapi, aku tidak pernah sekalipun berdansa.”

“Genggam kedua tanganku sekarang. Jangan sampai lepas karena kau bisa tergelincir. Taruh kedua tanganmu di pinggangku dan melangkahlah semaumu. Tenang saja, aku akan menuntunmu. Tidak akan lucu jika seorang anak orang penting sepertimu terjatuh karena menginjak jariknya sendiri, bukan? Kau tidak mau kena omel ayahandamu, bukan?”

Miyano sempurna melebas habis pertahanan Wasesajati, seseorang yang selalu menghindar dari takhta. Seseorang dengan hasrat yang menggebu perihal buminya yang agung. Miyano sempurna memegang kendali seorang yang seperti itu. Miyano mempunyai kuasa yang absolut atas diri itu.

“Aku juga suka saat kau memanggilku Ilyan. Katamu, itu nama yang cocok untuk anak kecil sepertiku. Aku suka saat kau menatap mataku dengan dua bola mata berisikan rembulan. Aku suka saat kau menulis surat untukku yang kemudian datang bersamaan dengan desir halus di arteri. Ayo, berdansa, aku tidak akan membiarkanmu jatuh.”

Genggaman Jati di pinggang Miyano kian mengerat. Tidak akan ia biarkan pinggang kecil itu menari sendiri tanpa pendamping. 

“Apa yang kau suka dariku?”

“Semuanya, tapi yang pasti adalah senyum mahalmu. Akhir-akhir ini, sepertinya senyum itu jauh lebih bisa kubeli. Kenapa begitu?”

“Tidak, bukan begitu. Aku tersenyum tidak hanya untukmu.” Ada rona merah di pipinya. Senyum itu terasa berbeda dari senyum sejengkal yang biasa Jati pandang.

“Kau hendak ke mana?” Jati bertanya, jeda sedikit karena kaki Miyano yang terdiam. “Kenapa aku merasa kau hendak pergi? Kenapa terasa ada yang aneh dari senyummu?”

“Senyumku?”

“Kau tersenyum dengan matamu, Ilyan.” Jati mengusap kelopak mata itu, kemudian dia elus bulu mata lentik yang meluruh. “Kau tersenyum dengan matamu untuk pertama kalinya. Apa sebelumnya kau tidak nyaman denganku? Apa mungkin ada suara dari hatimu yang bilang bahwa aku ini sepalsu itu? Ilyan, ada apa? Ada apa denganmu?”

Miyano menenggelamkan dirinya di pelukan Jati. Menghirup aroma sitrus yang menguar dari beskapnya. Tidak memedulikan keadaan sekitar. Tidak peduli dengan sorot mata tajam yang menjadikannya luluh lantak sedalam-dalamnya sampai bumi pun berkabung untuknya. 

“Kenapa kau membawaku ke dermaga?”

Suasana entah kenapa terlihat sedikit sepi. Beberapa kuli pikul sibuk mengerang dan menapaki bumi mereka sendiri sampai kaki-kaki itu lecet karena darah. Punggung-punggung itu membungkuk tanpa disengaja karena kebiasaan bagai unta memaksa tulang belakang untuk manut. Mereka mana peduli terhadap tulang belakang atau kaki yang lecet? Bayangan anak-anak yang marasmik membuat mereka terpaksa bekerja tidak kenal waktu. Konyol sekali pemandangan seperti ini. Si Eropa atau Jepang meludah ke bumi kepunyaan para kuli, lalu ludah itu terinjak oleh kaki-kaki telanjang para tuan rumah.

“Entahlah?” Miyano menjawab kecil, derasnya suara ombak mungkin akan menelan suaranya yang hendak menangis. “Hanya ingin memperlihatkan padamu bahwa sekutu akan segera datang. Itu tandanya negerimu akan merdeka. Kedatangan Gubernur Jenderal Kyokushin kemarin karena hendak mengabarkan perihal kekalahan mereka kepada ayahmu. Maafkan aku, ya? Aku menghalangimu melihat pria tua itu menunduk dan mencium lantai, meminta tolong kepada ayahmu.”

Maka, pria itu sedikit banyak paham. Mulai menebak ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh, apalagi saat sebuah kapal besar mulai berdengung kencang. Ilyanie, si manis berwajah putih bak ular yang cantik, menatapnya dengan sinar rembulan yang sendu. “Kau mulai paham kondisinya?”

“Kenapa kau hendak pulang? Bukankah ayahmu ada di sini?” tenggorokan Jati sakit luar biasa, tercekat menahan isakan yang hendak keluar. Pria macam apa dia yang akan menangis di hadapan pujaan hati? Kenapa dia mulai merasa takut sebab mungkin pemikirannya selama ini tertutupi oleh kecantikan itu? Siapa sebenarnya Ilyanie-nya itu?

Kapal berdengung sekali lagi.

“Dia bukan ayahku.” Miyano menjawab pelan. Mengusap wajah tegas Wasesajati. “Apa kau pernah sekalipun mendengar aku memanggilnya dengan sebutan ayah? Dia adalah iblis yang mencengkeramku selama ini. Meski aku diancam untuk mati pun, aku tidak akan menyebutnya dengan sebutan itu.”

“Aku … tidak mengerti.”

“Kau tidak perlu mengerti,” ujar Miyano, mengambil selangkah lebih dekat untuk mengelus blangkon pria di depannya. Menatap wajah kecokelatan itu, tersenyum halus. “Kau belum perlu mengerti.”

“Kau hendak ke mana? Ke mana kau akan pergi? Pulang? Pulang ke rumahmu? Ilyanie, tak bisakah kau di sini saja bersamaku? Kalau negaramu itu tumbang maka tidak ada alasan baginya untuk terus mengikatmu, bukan?” Jati menggenggam ujung pakaian Miyano dengan tangan yang gemetar. “Yanie, bagaimana bisa aku hidup jika kau pergi? Bagaimana bisa setelah kau memberiku cara untuk bernapas?”

“Mas,” panggilan Miyano terasa sangat pelan, sembari mengusap pipi itu. Menikmati jempol tangan kanannya yang mengelus pelipis dan alis tebal Jati. “Mas, aku tidak bisa hidup di bumimu. Aku tidak pantas berada di sini. Aku mengalami masa yang pahit di bumimu, mungkin tak terbayangkan olehmu. Suatu saat kau akan tahu. Aku hendak pulang untuk mengecup kening ibuku dan mengatakan padanya bahwa penantiannya sudah selesai.”

Sebuah amplop diserahkan kepada Jati.

“Apa ini?”

“Surat,” Miyano menjawab dengan retorik. “Surat ini akan menjelaskan padamu tentang aku. Surat ini akan berkata padamu soal tanda tanya besar yang ada di kepalamu sekarang. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu sampai rasanya ingin mati. Mengapa kita dipertemukan di zaman di mana aku tidak akan bisa menyentuhmu?”

“Ilyanie, kau bisa menyentuhku.” Jati meraih jemari Miyano, mengais-ngais harum di sela-selanya. Menciuminya dengan lembut. Pria itu menggigit pipi dalamnya demi menahan isakannya. “Kau bisa menyentuhku semaumu. Apa maksud perkataanmu? Jangan pergi dan tinggalkan aku setelah kau ambil semuanya dariku.”

Mungkin, langit kala itu ikut bersedih. Suasana laut yang tadinya sedikit beriak tiba-tiba terasa lebih tenang. Angin yang menyelisik tanpa paham situasi, memungkinan rambut hitam bak jelaga itu teracak-acak dengan begitu anggun.

Wasesajati merasa dunianya runtuh.

Miyano adalah semua ‘pertama’ yang pernah ada di hidupnya. Dia yang pertama memanggilnya dengan sebutan “Mahardika” karena kagum. Dia yang pertama mengajarkannya tentang Gunung Baekdu dan Arirang ketika mengatakan bahwa dia sebenarnya lahir di Korea. Dia juga yang pertama kalinya membuat Jati rela membodohi diri sendiri untuk selalu menulis surat yang dititipkan pada Kartaleswara untuk diantar ke rumah besar Gubernur Jenderal. Dia juga yang pertama membuat Jati akhirnya mengetahui pasal kemampuannya untuk membalikkan keadaan di buminya yang selama ini terinjak lewat semua usaha dan torehan tintanya di surat kabar.

Dia pulalah yang pertama kali mengajarinya untuk berdansa. Ditemani musik yang keluar dari gramofon, tatapan orang-orang yang dengki dan iri mendapati seorang ular cantik yang menari dengan bebasnya.

“Aku tidak mengambil semuanya. Kau tetap akan bisa hidup tanpaku. Kau akan mempunyai seribu satu kebahagiaan yang akan segera datang setelah bumimu merdeka. Berbahagialah bagi mereka yang berjuang sampai titik darah penghabisan, untuk kemudian mencicipi hasil perjuangan itu bersama kawan-kawannya. Aku tidak pernah meninggalkanmu.”

“Kumohon, Yanie ….”

Jati merasakan ketakutan mengerikan yang tidak pernah menderanya sejak dia kehilangan bermacam-macam orang yang dia cintai pascaperang. Ketakutan itu menjalar bagai bisa ular. Membuat kehampaan di hatinya bagai diremukkan palu. Dia merasa pendengarannya menurun dan fokus matanya menggelap. Ilyanie-nya akan pergi begitu saja. Setelah mengambil hati dan jiwanya yang rengsa, si ular putih itu kemudian mengganti sisiknya dan pulang. Menuju kebahagiaan yang bak nirwana, keabadian yang mengalir tidak terperi, sebab menginjakkan kaki pada tanah kelahiran.

Wajah itu tersenyum untuk terakhir kalinya. Senyum yang Jati rela tukar dengan nyawanya sendiri. “Bukalah surat itu saat aku sudah pergi. Ada begitu banyak takdir baik-Nya yang belum terlaksana. Nantikan itu semua. Kalau kau mau, carilah aku ke mana pun kau pergi karena aku pasti akan ada di sana. Menunggu untuk kau genggam lagi pinggangnya, berdansa sepanjang malam ditemani gramofon yang menjadi kesukaan kita.”

Yogyakarta, 1945

Wasesajati yang luhur.

Kutulis surat ini berangsur setelah hari-hari tanganku sembuh dari hasil murka Gubernur Kyokushin padaku soal banyak hal. Ia berkali-kali menyiksaku di tiap jengkal Jepang semakin mendekat kepada keruntuhan. Di lain sisi, semerbak itu semakin harum tercium dan membuatku ingin segera pulang. Pulang ke tempat di mana aku lahir dan memijakkan kaki untuk pertama kali.

Aku bersama Gubernur Kyokushin kurang lebih sejak aku kanak-kanak. Aku sudah lupa wajah dari saudaraku yang mati satu per satu, tapi aku tidak pernah melupakan wajah ibuku. Saat itu, para tentara Jepang memaksaku untuk naik ke sebuah truk. Siapa pula yang bodoh dan tidak paham atas situasi itu? Ibuku menangis sembari memegang kaki salah satu di antara mereka hingga kaki-kaki itu menerjang wajahnya. Ia berucap banyak hal dengan suaranya yang serak bagai tertusuk duri jika ia akan memberikan apa pun sebagai ganti atas tubuh tidak berhargaku. Namun, semua itu jelas sia-sia. Aku berteriak saat kakak perempuanku yang bodoh itu menusuk salah satu dari para mereka, lalu berbalas poporan senjata pada kepalanya. Padahal, aku hanyalah tubuh tidak berharga, yang telah direbut dari keluargaku.

Waktu itu, di antara dua belas pria dan dua puluh wanita yang berkumpul di truk, aku tahu jika pandangan mereka sudah tidak lagi hidup. Kepala-kepala itu jelas membayangkan akan seperti apa nestapa yang dihadapi. Satu-dua dari mereka masih kolot berteriak-teriak minta dilepaskan sampai teriakan itu berganti menjadi batuk berkepanjangan. Belum menyerah, sampai ludah darah keluar darinya dan membuat mereka terdiam. Aku menyadari bahwa saat itu masih lebih baik berbicara pada batu daripada berbicara pada para tentara yang membawa kami.

Rumah Kehangatan itu diperuntukkan untuk para tentara Jepang yang berdinas di mana pun: Indonesia, Singapura, semua wilayah jajahan mereka yang mereka pikir hina. Dengan segala kebiadabannya, aku mulai menyadari, sepertinya masih lebih baik jika aku mati. Seharusnya, orang-orang itu tidak akan sudi menyetubuhi mayat. Saat para wanita di rumah itu melihatku dengan tatapan dingin sekaligus bingung, aku paham seberapa murahnya badan ini akan dilelang. Mengganti bajuku yang lusuh dengan kain halus dan memoles bibirku agar semakin merah untuk siap diperjualbelikan, aku disuruh menunggu di sebuah kamar.

Maafkan aku karena kemungkinan aku akan memaksamu untuk membayangkan sebuah ruangan tiada berjendela. Hanya ada satu ventilasi dengan tinggi satu meter dari lantai yang aku gunakan untuk mengintip dunia luar. Saat itu juga aku menyadari bahwa neraka bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang sudah mati. Neraka adalah tempat di mana doa dan dosa menyatu menjadi satu dalam kubangan lumpur bernama takdir yang tidak sanggup kusentuh. Sekonyol-konyolnya situasi, aku sudah tidak sanggup menangis karena suaraku sudah tidak sudi keluar.

Dalam sehari, ada banyak waktu di mana aku harus melayani beberapa pria. Mereka tidak malu untuk menurunkan celana dan memperlihatkannya padaku seolah aku hanyalah jalang. Atau memang aku adalah jalang? Aku akan terbangun dengan tubuh bagian bawah yang mati rasa. Dalam sekejap, aku harus bersiap kembali memoles wajahku, tanpa sempat bersedih atau justru menangis, agar tubuh tidak berhargaku ini siap digunakan lagi. Menangis adalah sebuah kemewahan untuk kami.

Hingga suatu saat, pada hari keberapa yang aku sudah lupa.

Pria itu datang. Dalam sekejap, suasana yang awalnya gaduh, bagai kertas tersiram air dengan hening yang menusuk tiba-tiba. Saat itu aku sedang menjemur pakaianku di depan ruangan. Matahari bersinar terik tanpa belas kasih padaku yang terlanjur hina. Terkadang, saat melihat matahari, ingin rasanya bola putih berpendar itu kutusuk dengan pisau sampai berdarah dan mati, agar ia tidak mengejekku lebih jauh dengan pendarannya.

Saat itulah sepatu berpantofel hitam mengunci pandanganku dan seseorang menyibak baju putih yang sedang kujemur. Sorot mata itu bukan suatu hal yang prudensial karena garis senyum itu melengkung naik hanya di satu arah. “Kau akan pulang bersamaku.”

Sejak awal aku tahu. Saat pria itu menandatangani kertas sialan yang tidak kupahami isinya, dia memanggilku dengan sebutan seolah aku anaknya. Dia mengelus kelingking jari kakiku yang berdarah hasil paksaan kepada sepatu kecilku. Dengan perlahan, dia menggendongku di punggung, memuji betapa cantiknya diriku andai memakai pakaian-pakaian yang telah ia siapkan.

Hari itu, aku paham banyak hal.

Tidak ada satu tempat pun di dunia ini yang akan sanggup menanggung sakitku. Aku berusaha tersenyum saat melihat bulan dari atap rumah pria itu. Tapi, apa yang harus kusyukuri? Apa aku harusnya bersyukur sebab sudah keluar dari rumah bordil bangsat itu? Pria itu mengikatku bagai anjing peliharaan. Dia akan menyisir rambutku jika aku patuh. Dia akan memberiku makan daging dan susu jika aku membuatnya tertawa. Dia akan memukuliku dengan apa pun di sekitarnya jika aku membuat kesalahan. Dia akan menarik rambutku jika aku memotongnya barang sedikit. Dia akan menyetubuhiku semalam suntuk jika aku salah membaca kanji yang dia ajarkan. Aku tidak akan bisa melarikan diri darinya. Aku tidak akan bisa berlaku semauku tanpa menjilat pahanya.

Sejauh ini, kalimatku yang menyatakan bahwa hidupku lebih buruk, apakah kau sudah memercayainya? Sejauh ini, kau sudah paham maksudku, bukan?

Jati melipat surat itu setelah hari mulai tumbang. Semenit empat puluh dua detik dari matahari yang terbenam menemaninya untuk terakhir kali. Wajah-wajah yang menyendu, juga pipi yang pilu atas gigitannya sendiri. Pria itu tidak pernah merasa sepecundang ini. Namun, hatinya sedikit lega. Senyum terakhir dari sang kekasih benar-benar senyum yang beremanasi dan beraut tenang. Tidak perlu lagi hati untuk merana sebab Miyano akan selalu ada di sana. Bermandikan cahaya matahari yang menyelisik di balik Gunung Baekdu atau di mana pun ular cantik itu menghirup udara buminya yang bebas.

*****

Sofiana Martha
Sofiana Martha morally bankrupt woman who can't even call herself a feminist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email