Dulu, tiap minggu pagi teramat senang jika diajak berkebun Mbah Kakung. Ia mengajarkan cara menanam bibit tanduran dan menjaga pepohonan—yang sudah kokoh-gagah sejak mbah-mbah dulu, serta tak luput dengan petuah khasnya bak filsuf Yunani. Wejangan yang tetap subur diingatan, salah satunya, adalah gemah ripah loh jinawi—ungkapan tradisional dari falsafah jawa yang/untuk merayakan bumi subur-makmur, sawah-kebun berisi, dan masyarakat yang sejahtera-berkecukupan.
Frasa tersebut bukan sekadar pujian atas kelimpahan tanah dan kekayaan alam; ia adalah janji sosial, bahwa alam yang sudah memberi, kita haruslah turut menjamin dan menjaganya demi keselamatan-keharmonisan interelasi ekologis.
Namun, realitas alam yang terjadi di Sumatera akhir November lalu telah berkata lain. Banjir bandang hingga tanah longsor yang melanda wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh seakan memberi alarm, bahwa janji itu berubah menjadi gema yang retak. Ironis. Tanah yang dulu gemah ripah, kini (kok) rapuh?
Baca juga:
- Membongkar Alibi “Cuaca Ekstrem” di Balik Kejahatan Industri Ekstraktif Sumatra Utara
- Banjir Sumatra: Ketika Pemerintah Lempar Batu Sembunyi Tangan
Peristiwa itu semacam memory recall, pesan dari Mbah yang sudah lama itu, muncul kembali ke daratan ingatan, menaruh rasa yang berbeda dan makna nun terkoyak. Ada apa?
Jika dulu “gemah ripah…” mengisyaratkan ketahanan pangan, kearifan lokal, dan keseimbangan antara manusia dan alam, kini frasa tersebut terasa seperti nostalgia yang dipaksakan.
Kekayaan alam, kini hanya diukur dalam ton sawit, kubik kayu, pun hektar tambang. Seakan alam adalah budak yang bisa diapakan saja, semaunya-sesenangnya. Rupiah berputar cepat ke kota-kota besar dan pabrik-pabrik; desa-desa dibiarkan menanggung beban lingkungan. Petani dan masyarakat adat (justru) yang paling menderita. Terdampak beban degradasi lingkungan terbesar. Tak adil—bagi ia yang tak berdosa. Akibatnya, janji kelimpahan menjadi nisbi dan mudah remuk oleh kepentingan modal.
Lunturnya Etika dan Kesadaran Humanis
Musibah yang terjadi di Sumatera bukanlah kecelakaan alam semata; ia adalah produk dari regulasi politik dan ekonomi. Ketika hutan ditebang untuk perluasan perkebunan atau tambang, ketika lahan berhektar-hektar disulap demi pundi-pundi korporasi, ketika tata ruang lingkungan dikelola oleh kalkulus keuntungan jangka pendek, di situ kita sedang menukar ketahanan jangka panjang dengan keuntungan instan.
Menukil ungkapan Arne Naess, “The well-being of nonhuman life on Earth has value in itself”. Ini bukan hanya soal rugi atau untung; ini soal moralitas kolektif: siapakah yang diberi suara ketika keputusan tentang lingkungan diambil? Tentu saja, kerapkali menunjukkan ketimpangan kuasa; masyarakat adat dan petani kecil tak jarang menjadi korban. Sebagaimana highlight Murray Bookchin, “The domination of nature by man stems from the domination of man by man”.
Statistik kehilangan hutan, meningkatnya frekuensi banjir, hingga kemerosotan indeks kualitas ekologis menjadi angka-angka yang menggambarkan penderitaan manusia ini kian nyata. Petani yang kehilangan ladang, anak-anak yang tercekik asap tambang, masyarakat adat yang kehilangan sumber penghidupan, dan hari ini, permukiman yang jadi puing-puing; luluh-lantah rata dengan tanah.
Di balik setiap batang pohon yang (di)tumbang(kan) ada ritus keluarga yang terhenti—panen yang gagal, tradisi upacara alam yang luntur, kokohnya bumi yang pudar. Emosi ini penting. Tanpa rasa, kritik kebijakan menjadi dingin dan tak menggugah.
Cita-cita Lingkungan Berkelanjutan, Realistis atau Utopis?
Gemah ripah loh jinawi bukan sakadar falsafah yang ingin menunjukkan eksistensi alam, tetapi juga menyatu dalam cita-cita luhur toto titi tentrem kerto raharjo. Bukanlah jampi-jampi sihir jawa, namun pegangan moral-etik atas pikiran budi manusia yang njowo (paham).
Toto titi tentrem kerto raharjo dalam istilahnya memiliki makna bahwa pentingnya menjaga keselamatan, ketenangan, dan kedamaian dalam hidup kita, baik bagi diri sendiri (sebagai manusia) maupun bagi lingkungan sekitar.
Baca juga:
- Cengkeraman Kebun Sawit yang Membanjiri Aceh Tamiang
- Membaca Bencana Ekologi di Sumatra Melalui Filsafah Minangkabau
Selaras dengan itu, dalam kacamata filsafat lingkungan yang mengajarkan kita melihat waktu bukan linear semata, tetapi intergenerasional. Kerusakan yang kita lihat hari ini adalah utang terhadap generasi yang belum lahir. Menyebut rupiah nun rapuh berarti mengakui bahwa nilai ekonomi yang dihasilkan hari ini tidak mengambil biaya masa depan—biaya kehilangan keanekaragaman hayati, biaya pemulihan lahan, biaya kesehatan masyarakat, dan biaya hidup layak generasi mendatang. Kita hidup dalam periode hiperinflasi ekologis, nilai riil alam terus terdepresiasi, sementara angka di rekening bank tampak mengkilap.
Narasi pembangunan sering berbunyi tentang kemajuan harus melalui industrialisasi, investasi, modernisasi, dan/atau hilirisasi. Tetapi pembangunan yang hanya mengukur dirinya lewat PDB mengabaikan modal sosial dan ekologi yang tak ternilai. Tanpa menafikan pembangunan industri ekstraktif, hal yang perlu dititiktekankan adalah “tanpa merusak”.
Di Sumatera, proyek-proyek besar sering dipresentasikan sebagai wujud modernitas—jalan, pabrik, perkebunan—namun sering kali proses itu menghapus basis kehidupan setempat, seperti sistem pertanian tradisional, pengetahuan pengelolaan lahan, dan solidaritas masyarakat adat. Kritik yang harus tetap tajam adalah, pembangunan tanpa etika ekologis adalah bentuk perampasan baru.
Memakai konsep Henry David Thoreau, bahwa “In wildness is the preservation of the world”. Alam adalah guru moral; manusia harus kembali kepada kesederhanaan, kesadaran alamiah, dan hidup berdekatan dengan alam. Turut menjaga, merawat, membangun relasi ideal, dan sadar akan batasan—mana yang bisa, mana yang boleh, dan mana yang tidak. (*)
Editor: Kukuh Basuki
