Ruang publik digital telah menjadi arena baru dalam dinamika politik di Indonesia. Perdebatan politik tidak lagi terbatas di ruang-ruang formal seperti parlemen atau forum akademik kampus, tetapi telah bergeser ke platform media sosial, seperti kolom komentar, fitur cerita (misalnya Instagram Story), hingga siaran langsung.
Sebagai contoh, popularitas video blusukan Gubernur Jawa Barat, Dedy Mulyadi, lebih cepat menyebar bukan karena tayangan dari media resmi, melainkan karena potongan video berdurasi singkat yang dibagikan oleh akun anonim. Klip berdurasi 30 detik ternyata mampu membentuk opini publik secara lebih cepat dibandingkan pidato panjang yang disampaikan di gedung DPR.
Selama tahun 2024, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat sedikitnya 1.923 temuan terkait hoaks, disinformasi, dan berita palsu. Di tengah derasnya arus informasi, tagar dapat direkayasa, opini dapat diarahkan, dan persepsi masyarakat dapat dibentuk hanya dalam waktu singkat.
Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: siapa sebenarnya yang saat ini mengendalikan arah demokrasi? Apakah suara rakyat masih murni, atau telah larut dalam algoritma dan narasi yang dibuat berdasarkan kepentingan tertentu?
Demokrasi di Tengah Budaya Engagement
Dalam lanskap politik masa kini, kampanye tidak lagi berisi janji-janji atau program yang dipresentasikan di mimbar-mimbar umum semata. Politik hari ini turut dikemas dalam format konten pendek yang menarik dan mudah dibagikan—atau yang sering disebut snackable content. Misalnya, video singkat calon kepala daerah berjoget sambil menyapa warga lebih cepat viral ketimbang pemaparan panjang visi dan misi yang substantif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa politik telah merambah ke ranah industri hiburan. Para kandidat tidak hanya beradu gagasan, tetapi juga bersaing dalam meraih engagement. Semakin tinggi jumlah likes, shares, dan komentar, semakin besar kemungkinan narasi mereka mendominasi perbincangan publik.
Realitas ini menciptakan apa yang disebut sebagai “demokrasi algoritmik,” di mana persepsi politik publik lebih ditentukan oleh siapa yang tampil menarik secara visual ketimbang siapa yang benar secara substansi dan kebijakan.
Tak bisa dimungkiri, ruang digital telah membuka akses partisipasi politik yang lebih luas. Kini, masyarakat biasa, mahasiswa, bahkan kelompok-kelompok yang sebelumnya termarginalkan memiliki ruang untuk bersuara, tanpa harus bergantung pada media arus utama. Ini bisa dilihat sebagai bentuk baru dari demokratisasi partisipatif. Namun di sisi lain, keterbukaan ini juga membawa konsekuensi serius: bermunculannya akun-akun anonim, penyebaran konten manipulatif, hingga narasi politik pesanan yang dibungkus layaknya hiburan.
Ketika ruang politik bertransformasi ke platform digital, siapa pun yang memahami cara kerja algoritma dan mampu menyajikan konten dalam format viral akan lebih berpeluang memengaruhi opini publik. Sementara itu, aktor-aktor yang tidak mampu beradaptasi akan tertinggal dan tenggelam dalam arus informasi yang serba cepat, dangkal, dan rawan disinformasi.
Siapa Pengendali Narasi di Ruang Digital?
Dalam konteks politik digital saat ini, kehadiran buzzer dan influencer tidak bisa dipisahkan dari dinamika antara media dan kekuasaan. Mereka berperan layaknya aktor strategis yang menentukan wacana mana yang menonjol dan mana yang tenggelam dalam riuhnya percakapan media sosial.
Buzzer biasanya merupakan akun yang beridentitas pribadi maupun anonim dan secara terorganisir menyebarluaskan pesan-pesan politik tertentu. Banyak di antara mereka yang terafiliasi dengan tim kampanye atau partai politik dan mendapatkan kompensasi untuk menjalankan tugasnya.
Baca juga:
Tugas mereka bukan hanya menyampaikan opini, tetapi juga membentuk arus isu publik: mulai dari memviralkan topik tertentu hingga mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu penting ke hal-hal yang lebih remeh.
Strategi semacam ini sering digunakan sebagai bentuk distraksi yang efektif, untuk memecah fokus publik dan membelokkan arah diskursus politik. Misalnya, ketika isu korupsi besar mulai menjadi sorotan, para buzzer bisa mengangkat isu selebritas lama yang kontroversial untuk menggeser perhatian publik melalui manipulasi algoritma.
Sayangnya, sampai hari ini belum ada regulasi yang kuat untuk mengatur transparansi konten politik berbayar di media sosial. Minimnya pengawasan membuat keberadaan akun buzzer anonim sulit untuk dilacak maupun dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis yang serius: apakah keberadaan buzzer bisa dianggap sebagai bentuk baru partisipasi politik, atau justru menjadi ancaman terhadap kualitas demokrasi?
Sementara itu, influencer juga tak luput dari pusaran ini. Tidak sedikit dari mereka yang, baik secara sadar maupun tidak, ikut menyebarkan narasi politik tertentu. Konten mereka, yang sering dikemas dengan gaya santai dan mudah diterima anak muda, bisa menjadi alat ampuh dalam membentuk opini publik.
Gabungan antara buzzer dan influencer ini berkontribusi besar terhadap menguatnya polarisasi politik di media sosial. Masyarakat menjadi mudah terpecah, saling menyerang, dan akhirnya tenggelam dalam kebisingan digital. Dalam situasi seperti ini, batas antara fakta dan rekayasa menjadi kabur. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi melemah, dan proses politik pun kehilangan transparansi serta integritas yang seharusnya dijaga.
Tantangan dan Tuntutan Regulasi
Dalam sistem demokrasi kontemporer, proses politik tak lagi hanya berkutat pada persoalan jumlah suara atau evaluasi terhadap kebijakan publik. Kini, siapa yang mampu membentuk, menyebarkan, dan menguasai narasi di ruang digital memiliki pengaruh besar terhadap arah demokrasi. Di balik itu semua, algoritma platform digital bekerja untuk satu tujuan: mempertahankan keterlibatan pengguna agar iklan terus berjalan dan keuntungan tetap mengalir.
Baca juga:
Dampaknya, konten yang memicu emosi seperti kemarahan, kecemasan, atau kebencian justru mendapat prioritas lebih tinggi dalam distribusi. Konten informatif dan edukatif cenderung tenggelam, tergantikan oleh video dan unggahan yang bersifat provokatif. Inilah yang membuat suhu politik di media sosial terus memanas: karena yang paling viral adalah yang paling memecah.
Tak berhenti di situ, algoritma juga menciptakan ruang gema atau echo chamber, di mana pengguna hanya disuguhkan konten yang sejalan dengan pandangan mereka. Akibatnya, ruang untuk berdialog semakin sempit, dan perbedaan pendapat justru dianggap sebagai ancaman. Publik pun makin terjebak dalam gelembung informasi yang seragam dan menutup diri dari perspektif lain.
Kondisi ini menuntut peningkatan kewaspadaan masyarakat, khususnya dalam hal literasi digital. Memahami cara kerja algoritma dan mengenali konten manipulatif adalah langkah awal. Namun, literasi saja tidak cukup. Negara juga harus mengambil peran aktif dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan adil.
Langkah konkret yang bisa diambil, misalnya dengan mewajibkan pelabelan konten politik berbayar di media sosial, sebagaimana iklan kampanye yang diatur di televisi. Transparansi dalam pendanaan kampanye digital juga perlu ditegakkan. Selain itu, platform digital seharusnya diwajibkan untuk membuka data distribusi konten politik kepada publik dan lembaga pengawas independen.
Tanpa regulasi yang jelas dan tegas, aktor-aktor politik akan terus leluasa memanipulasi opini publik dari balik akun anonim atau kerja sama terselubung dengan influencer. Sebaliknya, dengan pengawasan yang kuat, media sosial berpotensi menjadi ruang diskusi yang sehat, bukan sekadar alat propaganda terselubung. Inilah langkah penting untuk menjaga kualitas demokrasi dan mendorong kemajuan bangsa di tengah era digital.
Editor: Prihandini N
