Catatan Hari Kemerdekaan: Penindasan Transpuan di atas Panggung

Audea Septiana

2 min read

Perayaan kemerdekaan seharusnya memberikan makna merdeka pada siapa saja. Namun, siapa sangka dalam momentum ini justru saya menyaksikan ketidakadilan. Perayaan kemerdekaan di kampung halaman saya terdiri dari acara lomba, makan bersama, dan menghadirkan elekton transpuan. Perayaan yang awalnya membuat perayaan saya kalut karena melihat antusiasme warga menyambut kemerdekaan, namun berujung pada meledaknya amarah.  

Relasi Kuasa dalam Tubuh Transpuan

Tubuh transpuan menjadi objek lelucon yang menyegarkan. Kondisi ini tidak terlepas dari relasi kuasa atas tubuh perempuan. Tubuh perempuan berada pada genggaman penindasan. Jadi, tidak heran jika transpuan pun terkena imbasnya. Ditambah pilihan sebagai transpuan masih belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Sehingga, kebebasan transpuan dalam berekspresi cenderung terbungkam.

Termasuk, keamanan transpuan dalam bekerja. Melansir dari xx transpuanmemiliki profesi sebagai pemilik warung, perias pengantin, dan pelayan salon. Selain itu, transpuan juga berprofesi sebagai pengamen maupun penyanyi. Keterbatasan pekerjaan tersebut membuat transpuan tetap bertahan meskipun sering mendapatkan pelecehan. Sebagai contoh dalam HUT Kemerdekaan yang ke-80 di kampung halaman saya transpuan yang menjadi penyanyi elekton mendapatkan pelecehan seksual fisik, verbal, dan digital.

Baca juga:

Pelecehan verbal nampak dalam cuitan, ungkapan, dan lelucon yang dilontarkan. Sejak awal naik panggung transpuan disambut sorot mata dan tawa yang merendahkan. Tidak berhenti di situ, saat menyambut penonton, transpuan juga mendapatkan teriakan untuk turun dari panggung. Puncaknya ketika ada beberapa laki-laki yang merendahkan dengan berkomentar seksis, seperti “Susumu nrembes”, “halah mek plembungan”, “suaramu gak enak”.  Kemudian pelecehan fisik, tanpa rasa sungkan beberapa laki-laki yang berjoget di atas panggung memegang bagian tubuh transpuan , bahkan memukul pantatnya. 

Dalam pelecehan digital, mereka memaksa transpuan melakukan atraksi berbahaya, seperti memanjat tiang panggung hanya untuk sebuah konten. Sungguh, apakah ini kemerdekaan?

Normalisasi Penindasan Transpuan

Berbagai runtutan penindasan transpuan masih dianggap normal. Ekspresi dan kreativitas transpuan hanya dijadikan sebagai bahan lelucon publik. Dengan kata lain, kehadiran transpuan tidak dilihat sebagai manusia seutuhnya, tapi sebagai objek tawa. Penghargaan atas identitas dan keterampilan mereka dibuang karena ekspresi gender yang dipilih. Tubuh transpuan menjadi objek yang bebas untuk disentuh, diejek, dan dikomersialisasi tanpa konsekuensi. Padahal, transpuan juga memiliki peran sosial dan kontribusi budaya.

Belum lagi istilah-istilah yang merendahkan seperti banci, bencong, dan feminim yang semakin mengukuhkan citra transpuan sebagai perilaku menyimpang. Istilah ini terus direproduksi sehingga menjadi alat untuk melegitimasi penindasan terhadap transpuan.  Kondisi ini merepresentasikan hierarki sosial bahwa yang dominan selalu unggul dan minoritas layak diinjak-injak.

Baca juga:

Ketika laki-laki memilih menjadi transpuan, ia dianggap sebagai individu yang rendahan. Bahkan, setiap tindakan dan penampilannya memicu subordinasi. Sedangkan ketika perempuan memilih berpenampilan layaknya laki-laki, ia dianggap maskulin. Fenomena ini menunjukkan bahwa representasi dalam tubuh perempuan masih menjadi objek yang dipinggirkan. Sedangkan laki-laki masih superior. Konstruksi sosial menjelma sebagai bius yang menundukkan logika berpikir untuk mengkerdilkan transpuan.   

Perlawanan Transpuan dalam Panggung Penindasan

Transpuan dengan berani melawan penindasan yang dilakukan penonton. Perlawanan tersebut muncul dalam kepercayaan diri untuk tetap menampilkan performa terbaiknya. Lebih lanjut, transpuan tetap professional, tentu hal ini menunjukkan bahwa transpuan bisa menempatkan diri dan memiliki manajemen emosional yang baik.

Tidak berhenti di situ, transpuan juga secara perlahan menjauhkan diri dari penyawer yang merendahkannya. Dengan begitu, sang penyawer merasa malu karena kehadirannya tidak digubris. Meskipun belum mampu melakukan perlawanan secara radikal, setidaknya transpuan memiliki kegigihan dalam melindungi martabatnya.

Paradoks dalam Perayaan Kemerdekaan

Narasi perayaan kemerdekaan kerap kali ditujukan sebagai rasa syukur atas terbebasnya bangsa ini dari belenggu kolonialisme. Padahal, makna kemerdekaan tidak terbatas dalam hal itu. Kemerdekaan bisa dimaknai sebagai kesadaran akan pentingnya menghormati perbedaan. Namun dalam konteks penampilan transpuan, justru saya menyaksikan penindasan itu. Bertajuk merayakan kemenangan tapi membatasi kemerdekaan orang lain.

Sudah semestinya perayaan 17-an menjadi simbol persatuan dan keadilan. Ironinya realita menampakkan acara tersebut menjadi panggung diskriminasi. Dalam perayaan yang meriah ini, sebagian orang tertawa puas dan bahagia. Tapi, sebagian dari mereka juga merendahkan martabat transpuan. Tradisi seperti ini sudah sepatutnya dihapus.

Dengan demikian, perayaan kemerdekaan menjadi paradoks. Sebab, perayaan ini tidak lagi menjunjung asas keadilan dan kesetaraan. Tapi mengedepankan kesenangan semata. Lebih miris lagi, perayaan ini disaksikan puluhan anak-anak. Sehingga, berpotensi memicu cara berpikir yang tidak adil sejak dini.

Pekerjaan transpuan sebagai penyanyi elekton sama halnya dengan profesi lain. Mereka hanya ingin menyambung hidup dalam tekanan ekonomi yang semakin mengkerdilkan rakyat kecil. Sudah sepantasnya kita menghargai profesi tersebut. Setidaknya dengan memberikan apresiasi. Transpuan sudah hidup dalam belenggu penindasan di berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, dan budaya.

Sudah selayaknya kemerdekaan ini menjadi ruang inklusif. Bukan menjadikan transpuan sebagai komedi murahan di panggung Agustusan. Transpuan harus mendapatkan ruang aman untuk menunjukkan peran sosialnya. Jika kemerdekaan hanya untuk sekelompok orang dominan, maka perlu dipertanyakan lagi apakah benar kita sudah merdeka atau hanya merayakan seremoni saja tanpa memahami makna merdeka yang sesungguhnya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

 

 

 

 

Audea Septiana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email