Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Biologi dan Politik Tata Ruang Kota

Joko Priyono

3 min read

Di tengah keriuhan yang terjadi pada ruang urban, selama di Kota Solo, kiranya bisa dikatakan saya sangat jarang melihat kupu-kupu. Pengalaman itu berkelindan akan fakta bahwa betapa pun, makin hari, ragam tanaman di tanah yang luas sangat terbatas. Hal itu kemudian membuat kita menerawang ingatan semasa sekolah mengenai ilmu biologi. Dalam kehidupan di kota, agaknya kita makin sulit mendefinisikan materi dalam pelajaran macam fotosintesis, rantai makanan, hingga kenekaragaman hayati.

Ironi ini mencerminkan keterputusan yang mendalam antara kehidupan urban modern dan prinsip dasar ilmu biologi. Kota-kota tumbuh sebagai ruang yang semakin menjauh dari proses-proses biologis di dalam menopang kehidupan. Pepohonan ditebang demi jalan tol, taman diganti gedung pencakar langit, dan lahan hijau dikonversi menjadi kawasan bisnis. Kota menjadi “ekosistem buatan” tempat manusia hidup dalam dunia beton, logam, dan kaca—tanpa kupu-kupu, tanpa burung, bahkan tanpa bau tanah.

Situasi itu mengingatkan puisi karya penyair dari Karangasem, Bali, I Wayan Mardana Putra berjudulkan “Sangkar Burung” (2019). Beberapa larik dalam puisi tersebut berupa: “Polutan berseru ancam populasi/ Polutan berseru ancam pola pikir/ Jantung kota ini makin sesak/ Kotor karena polutan/ Kotor pula karena pola pikir.” Penyair itu membuat ajakan pada kita untuk mendedah akan penyebab atas segenap masalah di dalam kota.

Baca juga:

Tepat kiranya jika dikatakan, pola pikir dalam kehidupan kota sangat berpengaruh atas tanggung jawab bersama dalam menjalin relasi pada alam. Kita adalah bagian dari ekosistem, spesies di antara spesies lain, bergantung pada udara bersih, air jernih, dan tanah yang subur untuk bertahan hidup. Ketika ruang-ruang kota tidak lagi memungkinkan interaksi ini, maka kota tidak sekadar menjadi tidak ramah lingkungan, tetapi juga secara fundamental anti-biologis.

Lenyapnya Ilmu Biologi?

Fenomena keterasingan dari alam ini bukan hal baru. Filsuf dan sosiolog berkebangsaan Jerman, Georg Simmel dalam karyanya The Metropolis and Mental Life (1903) mencatat bahwa kehidupan kota memaksa manusia untuk mengembangkan “saraf-saraf pelindung” dari impresi-impresi alamiah. Akibatnya, manusia kota menjadi tumpul terhadap suara burung, bau tanah, atau angin sore. Semua impresi itu tergantikan oleh deru kendaraan, cahaya lampu buatan, dan aroma polusi.

Lebih dari sekadar deskripsi sosiologis, kondisi ini berdampak langsung pada kesejahteraan psikologis dan fisiologis manusia. Ini mengingatkan gagasan Richard Louv dalam bukunya Last Child in the Woods: Saving Our Children From Nature-Deficit Disorder (2005). Ia  memperkenalkan istilah “nature-deficit disorder” atau gangguan kekurangan alam untuk menggambarkan gejala gangguan perhatian, stres, dan keterasingan sosial yang dialami anak-anak akibat kurangnya interaksi dengan alam.

Studi-studi lanjutan membenarkan temuannya, seperti riset yang dilakukan oleh Marcia P Jimenez, dkk. (2021). Dalam riset berupa Associations between Nature Exposure and Health: A Review of the Evidence ditegaskan bahwa paparan alam kepada manusia memberikan dampak positif. Itu berupa peningkatan fungsi kognitif, aktivitas otak, stabilitas tekanan darah, menjaga kesehatan mental, hingga berdampak pada aktivitas fisik dan tidur.

Sayangnya, alih-alih memperbaiki kondisi ini, kebanyakan kota justru memperparahnya. Tata ruang dirancang untuk efisiensi transportasi dan ekonomi, bukan untuk konektivitas ekologis. Ruang hijau dipersempit menjadi “taman estetika”, kadang hanya berupa pot-pot tanaman yang tidak mampu mendukung kehidupan fauna. Jalan-jalan rindang digantikan trotoar kaku. Lahan kosong yang mungkin menjadi kebun komunitas atau hutan kota dijadikan apartemen atau gudang logistik.

Politik Tata Ruang

Permasalahan ini bukan semata soal perencanaan teknis, tetapi juga persoalan politik. Tata ruang kota adalah ekspresi dari nilai-nilai, kepentingan, dan kekuasaan. Dalam kerangka ini, kota yang mengabaikan proses biologis sesungguhnya mencerminkan sistem politik-ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dibanding keberlanjutan kehidupan. Seperti dinyatakan oleh Henri Lefebvre dalam The Production of Space (1991), ruang kota tidak pernah netral—ia diproduksi oleh relasi kuasa dan ideologi dominan.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan tata kota menghadapi tantangan berupa orientasi pada kepentingan elite ekonomi. Itu berwujud pembangunan kawasan hunian mewah, jalan tol, atau pusat belanja yang menggerus lahan produktif dan ekologis. Proyek tersebut kerap diberi label “pembangunan” dan “modernisasi”. Padahal di balik itu memuat konsekuensi, berupa pengusiran spesies lain dari habitatnya dan keterputusan manusia dari relasi ekologis.

Apa korelasi biologi dan politik tata ruang kota? Kota Singapura, misalnya, merancang jaringan taman dan atap hijau (green roofs) yang memungkinkan habitat bagi burung dan serangga. Di Jerman, konsep urban gardening dan edible city telah lama dipraktikkan untuk mengintegrasikan produksi pangan ke dalam lanskap urban. Studi oleh Timothy Beatley dalam Biophilic Cities: Integrating Nature into Urban Design and Planning (2011) menunjukkan bahwa kota yang memberi ruang pada proses biologis cenderung lebih resilien terhadap perubahan iklim dan bencana.

Baca juga:

Biologi bukan sebatas cabang sains, tetapi juga lensa untuk memahami bagaimana kehidupan dijalankan dan dimatikan melalui keputusan-keputusan sosial dan politik. Kota-kota yang hari ini kita tempati, jika tidak direvisi secara radikal, adalah kota-kota yang akan mempercepat krisis ekologi, menggerus empati antarspesies, dan memiskinkan pengalaman hidup manusia.

Maka, menempatkan pola pikir dari keberadaan biologi dalam jantung politik kota adalah tindakan mendesak. Ia bukan sebatas soal romantisisme alam, tetapi soal keberlangsungan hidup yang adil dan sehat. Tanpa kupu-kupu, pepohonan, dan tanah, kita bukan hanya kehilangan objek penelitian biologis. Walakin, kita juga kehilangan bagian dari kemanusiaan kita. Dan betapa pun, pelajaran biologi sangat erat dengan keseharian—dengan artian, ia tak netral dan sebatas tekstual. Walakin, proses pendidikan menyadarkan kita untuk bisa mengambil sikap politik. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Joko Priyono
Joko Priyono Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email