Bencana, Kapal Nabi Nuh, dan Politik Eksklusi

Purnawan Andra

3 min read

Kita mengenal kisah Kapal Nabi Nuh hampir selalu sebagai cerita iman yang sudah selesai. Cerita ini diajarkan sejak kecil dengan alur yang rapi berupa dunia rusak karena dosa manusia, Tuhan murka, Nabi Nuh taat, bahtera dibangun, dan keselamatan diberikan kepada yang terpilih. Di akhir kisah, pelangi muncul sebagai tanda ketenangan dan bukti kebenaran.

Dalam tafsir semacam itu, Kapal Nabi Nuh menghadirkan gambaran ketertiban kosmik. Ada hukuman bagi yang bersalah, ada kepatuhan yang diberi ganjaran, dan ada keselamatan sebagai hadiah moral.

Namun dari perspektif cultural studies, cerita Nuh tidak beku sebagai kebenaran tunggal. Ia bisa dibaca sebagai teks budaya yang terus diproduksi, diwariskan, dan digunakan dalam berbagai konteks sosial yang berbeda. Maknanya tidak pernah diam tapi selalu bergerak dan diperebutkan.

Teks Budaya

Sebagai teks budaya, kisah Kapal Nabi Nuh tidak pernah netral. Ia tidak hanya berbicara tentang iman, tetapi juga tentang bagaimana manusia membayangkan keselamatan, siapa yang dianggap layak diselamatkan, dan pengorbanan siapa yang dianggap wajar.

Baca juga:

Stuart Hall mengingatkan bahwa makna tidak melekat secara alami pada teks. Makna dihasilkan melalui proses representasi yang selalu melibatkan relasi kuasa. Karena itu, ketika kisah Nabi Nuh diceritakan hari ini selalu berkaitan dengan kepentingan tertentu.

Pertanyaan pentingnya bukan apakah kisah ini benar atau salah secara teologis, melainkan bagaimana ia dikontekstualisasi dan digunakan dalam kehidupan sosial kita sekarang. Apakah kisah ini membantu kita membangun kesadaran kritis, atau justru menormalisasi kepasrahan dan penerimaan tanpa pertanyaan? Pertanyaan ini membawa kita ke inti narasi keselamatan itu sendiri.

Dalam kisah Nabi Nuh, keselamatan bekerja melalui logika seleksi. Bahtera hanya disebut sebagai alat penyelamat karena ada yang tidak ikut diselamatkan.

Terkait hal ini, Jacques Derrida menunjukkan bahwa setiap konsep yang tampak utuh selalu bergantung pada apa yang dikecualikan. Keselamatan, dengan demikian, tidak pernah benar-benar universal. Ia selalu mengandaikan ada yang dikeluarkan, ditinggalkan, atau dianggap tidak memenuhi syarat.

Logika ini tidak berhenti di dalam teks keagamaan. Ia hadir secara nyata dalam praktik sosial kita hari ini, terutama dalam politik kebencanaan.

Dalam berbagai peristiwa banjir, longsor, dan kebakaran hutan, negara berbicara atas nama penyelamatan. Namun pengalaman keselamatan itu tidak pernah dibagikan secara merata. Ada kelompok yang cepat ditolong, dan ada yang berulang kali dibiarkan menghadapi risiko yang sama.

Bahasa Bencana

Dalam studi budaya, bencana tidak dipahami hanya sebagai peristiwa alam. Bencana juga merupakan peristiwa yang direpresentasikan melalui bahasa. Media, pidato pejabat, dan dokumen resmi negara sering membingkai bencana sebagai “musibah”, “cobaan”, “takdir”, atau bahkan “alam yang sedang murka”.

Bahasa semacam ini terdengar menenangkan, tetapi sekaligus menghapus tanggung jawab struktural. Deforestasi, pertambangan, alih fungsi lahan, dan tata kota yang mengabaikan daya dukung lingkungan jarang disebut sebagai penyebab utama.

Baca juga:

Istilah “bencana alam” terdengar netral, tetapi sarat ideologi. Pierre Bourdieu menyebut bahasa semacam ini sebagai kekuasaan simbolik, yakni bahasa yang membuat ketidakadilan tampak wajar dan tak terhindarkan. Ketika banjir dianggap sebagai takdir, pertanyaan tentang kebijakan tata ruang dan eksploitasi alam kehilangan daya kritisnya.

Sosiolog Jerman Ulrich Beck, dalam bukunya Risk Society: Towards a New Modernity (1992), menyebut kondisi ini sebagai masyarakat risiko. Bahaya diproduksi oleh keputusan manusia, tetapi direpresentasikan seolah-olah datang dari alam. Dengan cara ini, risiko menjadi sesuatu yang terasa tak terhindarkan, bukan hasil dari pilihan politik dan ekonomi tertentu.

Cara membingkai bencana seperti ini menentukan siapa yang terlihat sebagai korban dan siapa yang disingkirkan dari imajinasi keselamatan. Bahtera dalam kisah Nuh sering dibayangkan sebagai ruang inklusi yang suci. Namun pembacaan kritis menunjukkan bahwa bahtera adalah ruang seleksi yang ketat. Tidak semua boleh masuk.

Dalam politik kebencanaan hari ini, “bahtera” hadir dalam bentuk bantuan sosial, relokasi, dan rehabilitasi. Prosedur administratif, status kepemilikan tanah, dan kedekatan dengan jaringan kekuasaan sering menentukan siapa yang dianggap layak diselamatkan. Kampung miskin di bantaran sungai, warga pesisir yang tergusur, atau masyarakat adat di wilayah konsesi kerap diposisikan sebagai masalah, bukan sebagai subjek keselamatan.

Dalam konteks ini, keselamatan berubah menjadi hak istimewa, bukan hak hidup. Negara, melalui bahasa kemanusiaannya, menyaring siapa yang boleh masuk ke dalam “bahtera” pembangunan dan siapa yang terus hidup dalam risiko. Logika ini memperlihatkan bahwa narasi keselamatan selalu berjalan berdampingan dengan mekanisme eksklusi yang halus, tetapi sistematis.

Eksklusi ini tidak hanya menyasar kelompok manusia tertentu, tetapi juga meluas ke makhluk nonmanusia. Dalam kisah Nuh, hewan hadir sebagai simbol kelengkapan ciptaan, hadir berpasangan untuk menjaga keseimbangan kosmik. Namun pengalaman mereka sebagai makhluk yang terdampak bencana hampir tidak pernah dibicarakan.

Dalam bencana kontemporer seperti kebakaran hutan, banjir bandang, atau longsor, jutaan hewan mati, kehilangan habitat, atau dipaksa beradaptasi secara brutal. Namun mereka jarang hadir dalam narasi resmi. Mereka muncul sebagai latar visual, bukan sebagai korban yang diakui secara etis.

Di titik ini, negara modern kemudian tampil sebagai penulis utama narasi bahtera. Ia menentukan apa yang disebut bencana, siapa yang disebut korban, dan bentuk pertolongan apa yang dianggap cukup. Bahasa kemanusiaan sering menutupi kepentingan politik dan ekonomi di baliknya. Keselamatan menjadi persoalan distribusi kuasa, bukan sekadar persoalan etika.

Di tengah krisis ekologi dan bencana yang kian intens, kisah Kapal Nabi Nuh mengajak kita meninjau ulang relasi manusia dengan alam, dengan sesama, dan dengan kekuasaan. Pertanyaan itu menjadi semakin mendesak: keselamatan versi siapa yang sedang kita bangun, siapa yang masuk ke dalam bahtera, dan siapa yang terus dibiarkan tenggelam di luar narasi resmi kehidupan bersama? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Purnawan Andra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email