Penikmat Kopi dan Senja

Banjir Sumatra: Ketika Pemerintah Lempar Batu Sembunyi Tangan

Ali Afifi

2 min read

Belum kering luka Banjir bandang di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Korban masih berjatuhan. Ratusan orang masih dalam pencarian. Istana segera memberi jawaban. Saat memperingati Hari Guru Nasional 2025, Prabowo Subianto mengusulkan agar “pendidikan lingkungan” dijadikan bagian resmi dari kurikulum sekolah di seluruh Indonesia.

Pernyataan ini sepintas terdengar baik. Namun rentan menimbulkan kesalahan premis. Pemerintah seolah melihat bahwa perusakan lingkungan di Sumatra dilakukan oleh masyarakat. Anak SD yang tak mencintai alam. Padahal deforestasi di Sumatra dilakukan oleh para pengusaha dengan ekskavatornya, bukan karena anak SD yang tak mau menyiram pohon.

Baca juga:

Deforestasi di Sumatra berakar dari meja administrasi pemerintah, yang menerbitkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dari Analisis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang hanya dijadikan formalitas administrasi belaka.

Deforestasi Bukan Masalah Pendidikan

Pemerintah seperti selalu gagal mencari solusi dari akar masalah. Deforestasi bukan persoalan kesadaran, tapi faktor kesalahan sistemik. Ini adalah soal kebijakan yang tidak pro ekologis. Perekonomian yang berdiri tanpa asas keberlanjutan.

Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2006, terdapat 48 HPH di Sumatera dengan konsesi 2,4 juta hektare. Sumatra menyumbang 1,4 juta meter kubik produksi kayu bulat. Dua Dekade selanjutnya, pada tahun 2024, HPH di Sumatra menyusut menjadi 11 HPH.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan, hingga tahun 2024, Region Sumatera menyisakan hutan alam seluas 12 juta hektare, atau 25% dari total daratan di region tersebut. Berkurang 2,7 juta hektar, hanya dalam waktu 7 tahun.

Dalam grafik berjudul Rate of Deforestastion in Sumatra Region (Hectares/ Year) disebutkan, pada kurun waktu 2017-2021 deforestasi di Sumatera mencapai 428.232 hektare. Angka ini sempat menurun pada kurun waktu 2021-2022, menjadi 96.660 hektare, dan turun lagi pada 2022-2023 menjadi 64.097 hektare. Kemudian mengalami peningkatan tajam dalam dua tahun belakangan menjadi 222.360 hektare.

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Pemerintah seperti sedang melempar batu sembunyi tangan. Meletakkan semua sumber masalah pada rakyat, yang padahal hanyalah korban dari politik pembangunan yang tidak pro ekologis. Kita bisa lihat pada proyek Hambalang hingga IKN. Semuanya syarat dengan dosa ekologis.

Sebelum penambahan kurikulum lingkungan, seharusnya pemerintah bercermin terlebih dahulu. Ada berapa surat izin yang sudah diterbitkan, dan berapa pohon harus tumbang karena izin-izin tersebut. Ada berapa hektar hutan lindungi yang sudah dialih-fungsi, demi embel-embel ekonomi.

Bangsa ini tak kekurangan para penanam pohon. Masyarakat adat, sudah memiliki ajaran luhur hidup bersama alam. Banyak pegiat lingkungan yang sudah lantang bersuara dan bertindak. Namun tak pernah bisa menembus pagar-pagar kantor pemerintahan.

Baca juga:

Saat ini, kita membutuhkan pejabat yang berani mengerem penerbitan izin, dan berani menghentikan segala bentuk industri ekstraktif. Namun pertanyaannya, apakah ada yang berani melakukannya. Itu kembali pada moralitas kebangsaan masing-masing.

Namun selama pemerintah belum berani bertobat, maka jangan harap kerusakan lingkungan bisa dihentikan. Kita semua tak ingin anak-anak belajar mencintai alam di kelas, namun di luar, pemerintah mencontohkan sebaliknya. Ekskavator mengeruk hutan-hutan di Sumatra.

Sudah saatnya Pemerintah Berganti Pradigma

Bencana yang menimpa Sumatra harus diambil pelajaran. Kejadian ini tak boleh terulang. Pemerintah harus segera bertobat. Alam bukanlah objek eksploitasi, tetapi teman kita hidup. Ekonomi tidak boleh berada di atas lingkungan. Justru lingkungan yang harus menjadi fondasi dasar ekonomi kerakyatan kita.

Logika pembangunan harus kita revisi. Alam selamanya harus menjadi mitra yang memiliki hak atas kita. Sehingga segala bentuk kebijakan, harus berbasis Sosial-Ekologis.

Banjir Sumatra hari ini adalah wajah nyata climate injustice. Mereka yang merusak—pemegang modal, aktor politik, dan perusahaan besar—jarang merasakan dampaknya secara langsung. Justru rakyat kecil yang menanggung.

Rumah mereka hilang, sawah mereka rusak, pekerjaan mereka hancur. Sementara pelaku utama kerusakan dapat berlindung di gedung yang tidak kebanjiran dan sistem yang terus melindungi kepentingannya.

Jika hari ini Sumatra, besok bisa jadi Kalimantan, lalu Papua. Tobat ekologi ini merupakan kebutuhan mendesak yang jauh lebih penting daripada penambahan kurikulum lingkungan di meja sekolah. Semuanya harus berawal dari pemerintah yang mulai membenahi diri, menjadikan keberlanjutan sebagai asas utama.

Sekali lagi, bencana di Sumatra bukan karena anak SD yang tak mencintai lingkungan. Bukan warga sekitar yang tak acuh pada lingkungan. Tapi semua berawal dari meja administrasi pemerintah, yang dengan mudahnya menerbitkan izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau semacamnya.

Kalau memang ingin menambahkan kurikulum lingkungan, jangan hanya diajari pentingnya merawat hutan, tidak membuang sampah dan sebagainya. Tapi ajari juga: siapa pemilik ekskavator yang beroperasi di hutan mereka itu, siapa yang sudah menerbitkan izinnya. Agar siswa tidak hanya tahu cara merawat, tapi juga tahu siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Ali Afifi
Ali Afifi Penikmat Kopi dan Senja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email