Banjir bandang yang melanda beberapa daerah di Pulau Sumatra merupakan bencana bagi kita semua. Sekitar 570 ribu warga terdampak, 604 meninggal per 1 Desember 2025. Sementara itu, 464 masih dilaporkan hilang. Yang sampai saat ini menjadi misteri, gelondongan kayu, tiba-tiba terdampar di beberapa tempat.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut peristiwa itu dipicu oleh Siklon Senyar, sebuah fenomena alam langka yang menyebabkan hujan ekstrem di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Namun, sulit rasanya membicarakan banjir Sumatra tanpa membicarakan hilangnya hutan. Pulau yang dulunya menjadi rumah bagi sekumpulan satwa liar, seperti harimau sumatera, kian hari kian dipersempit.
Cuaca bukanlah satu-satunya alasan. Banjir ini merupakan peringatan keras dari hutan-hutan di Sumatra yang setiap hari di eksploitasi. Bencana ini tak lepas dari aktivitas industri ekstraktif, mulai dari pertambangan, perkebunan, hingga penggundulan hutan.
Banjir di Sumatra bukan selalu persoalan alamiah. Tapi merupakan hasil rekapitulasi panjang dari kerusakan ekologis yang kita biarkan, kita normalisasi, bahkan kita pelihara bertahun-tahun. Ini merupakan kesalahan moral kolektif manusia terhadap lingkungan. Kesalahan yang bukan hanya berdampak hari ini, tetapi merusak generasi selanjutnya. Setiap hektare hutan yang hilang, setiap sungai yang dipersempit, setiap bukit yang dirobek tambang, adalah catatan dosa yang suatu hari akan menagih balasan.
Jejak Kerusakan: Deforestasi yang Tak Pernah Jujur
Deforestasi di Sumatera bukan sekadar angka, tapi bentuk kehilangan kemampuan bumi menyerap air. Ketika hujan jatuh, tak ada lagi akar yang menahan, tak ada lagi lapisan tanah yang menyerap. Air hanya numpang lewat, turun deras tanpa rem, merayap ke rumah-rumah penduduk.
Pada 2006, publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Sumatra merupakan pulau dengan jumlah perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) terbanyak kedua setelah Kalimantan. Pada saat itu terdapat 48 perusahaan HPH dengan total luas konsesi mencapai 2,4 juta hektare.
Dari sisi luas area, Sumatra menempati posisi ketiga setelah Kalimantan (12,8 juta hektare) dan Papua (9,9 juta hektare).
Kapasitas eksploitatif ini berbanding lurus dengan tingginya produksi kayu bulat. Dari total nasional sebesar 7,9 juta meter kubik, Sumatra menyumbang 1,4 juta meter kubik. Dominasi komoditasnya adalah kayu rimba campuran, meranti, kruing, dan ramin. Untuk kayu meranti saja, Sumatra menempati posisi ketiga produsen terbesar nasional.
Data ini memberi gambaran jelas: dua dekade lalu, hutan Sumatra menjadi salah satu jantung produksi kayu Indonesia. Hutan bukan sekadar tutupan lahan, melainkan fondasi ekologis yang menentukan daya serap air, kestabilan tanah, dan kekuatan daerah aliran sungai (DAS). Ketika jutaan hektare hutan itu berubah menjadi konsesi, risiko banjir bukan lagi ancaman—ia adalah keniscayaan.
Dua Dekade Kemudian: Hutan Susut
Hampir dua puluh tahun berlalu, dan tren deforestasi itu meninggalkan bekas yang dalam. Data BPS tahun 2024 menunjukkan perubahan signifikan: produksi kayu bulat nasional turun drastis menjadi 4,25 juta meter kubik. Jumlah perusahaan HPH pun menyusut menjadi 178 perusahaan, dan hanya 11 yang tersisa di Sumatra.
Di permukaan, penurunan ini terlihat seperti kabar baik. Produksi turun, perusahaan berkurang—seolah-olah eksploitasi melambat. Namun kenyataannya, penurunan ini justru menandakan sesuatu yang lebih mengkhawatirkan: stok kayu alam telah menyusut. Hutan-hutan primer yang dulu menjadi tumpuan produksi hampir habis.
Produksi kayu Sumatra kini tinggal 593 ribu meter kubik, dan sebagian besar berasal dari akasia, tanaman industri cepat tumbuh yang tidak memiliki fungsi ekologis sekuat hutan alam. Kayu meranti—ikon hutan tropis Sumatra—kian langka diproduksi. Artinya, hutan alam yang dulu menyerap air, menahan sedimentasi, dan mengatur siklus hidrologi sudah jauh berkurang.
Tambang, Konsesi, dan Negara yang Tunduk
Kerusakan ekologis di Sumatra tidak berhenti pada deforestasi. Tambang juga merambah berbagai daerah, mengubah kontur tanah, dan meninggalkan lubang-lubang raksasa yang mudah meluap saat hujan. Sungai-sungai mengalami sedimentasi parah akibat erosi dari kawasan hutan yang gundul. Banyak DAS menyempit, dangkal, dan kehilangan daya tampung.
Namun dalam banyak kasus, negara lebih memilih mengakomodasi investasi ketimbang melindungi lingkungan. Izin konsesi diperbarui, pengawasan lemah, audit lingkungan longgar. Masyarakat sering dijadikan kambing hitam dengan narasi “buang sampah sembarangan”, padahal kerusakan utamanya berasal dari struktur industri yang dibiarkan bergerak tanpa kendali.
Ketidakadilan Iklim: Yang Merusak Bukan yang Menanggung
Banjir Sumatra hari ini adalah wajah nyata climate injustice. Mereka yang merusak—pemegang modal, aktor politik, dan perusahaan besar—jarang merasakan dampaknya secara langsung. Justru rakyat kecil yang paling cepat tenggelam.
Rumah mereka yang hilang. Sawah mereka yang rusak. Pekerjaan mereka yang hancur. Sementara pelaku utama kerusakan dapat berlindung di gedung yang tidak kebanjiran dan sistem yang terus melindungi kepentingannya.
Dari ribuan korban yang terdampak, sulit menemukan nama pelaku perusakan. Semuanya hanyalah warga biasa yang mungkin tak tahu apa-apa.
Menebus Dosa Ekologis: Jalan Panjang, tapi Mungkin
Jika kerusakan dilakukan secara struktural, pemulihan pun harus bersifat struktural. Bukan sekadar menanam bibit seribu batang di acara seremoni, tetapi merombak total tata kelola hutan dan industri ekstraktif.
Sumatra membutuhkan penegakan hukum lingkungan yang tegas, audit izin HPH dan tambang secara transparan, restorasi DAS skala besar, serta pemulihan hutan alam, bukan sekadar perluasan tanaman industri.
Selain itu, dalam pengelolaannya, perlu pelibatan masyarakat adat dan lokal sebagai pengelola utama. Mereka jauh memiliki nilai luhur dan kedekatan holistik pada hutan Sumatera.
Selama kita terus memperlakukan Sumatra sebagai ladang modal tanpa menghitung daya dukung ekologisnya, bencana akan berulang. Alam tidak pernah memberikan balasan setengah-setengah. Ia mencatat setiap jengkal hutan yang hilang, dan mengembalikannya dalam bentuk banjir, longsor, dan ketidakpastian hidup.
Sumatra sedang menagih. Dan tagihan itu adalah pengingat bahwa dosa ekologis tidak akan pernah lunas jika kita hanya membalasnya dengan alasan, bukan perubahan.
Editor: Prihandini N
