Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Ayah Berangkat Kerja

Kristophorus Divinanto

9 min read

Sebuah notifikasi yang masuk ke surel membuatku beranjak dari posisi tiduran. Meski aku telah mengucek-ngucek mataku berulang kali, pesan dalam notifikasi itu tetap sama. Pesan yang selalu kunanti dari hari ke hari. Awalnya getar notifikasi itu kusepelekan. Aku mengira getar itu hanya notifikasi e-banking atau aplikasi pinjaman uang lain yang menawarkan produk pinjaman terbaru. Namun ternyata notifikasi kali ini adalah kemarau yang menemukan hujannya. Isi pesan dari notifikasi itu mengakhiri keputusasaanku. Salah satu perusahaan yang menerima dokumen lamaran pekerjaanku mengatakan mereka membutuhkanku untuk segera bekerja di kantornya. Setelah berlusin berkas dokumen lamaran kukirim acak dalam bentuk fisik maupun digital, akhirnya ada orang lain yang membutuhkan kemampuanku. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Akhirnya akan ada seseorang yang memberiku gaji atau mungkin tepatnya memberiku harga diri.

Kurang lebih satu tahun lamanya aku menganggur setelah kantor tempatku bekerja sebelumnya dinyatakan pailit. Sejak itu keuangan rumah tangga ini ditanggung oleh istriku. Uang tabunganku yang tidak seberapa itu sudah habis untuk memperpanjang kontrakan, modal usaha yang tak ada hasilnya, hingga berpindah-singgah kota mencari kerja. Setelah tidak punya cukup uang untuk mencari kerja dari kota ke kota, istri dan mertuaku memintaku mencari pekerjaan dari rumah sembari mengurus rumah dan anak. Aku masih ingat perasaan gamang di hari pertama menerima uang pegangan dari istriku. Bukan lagi aku yang memberinya uang pegangan. Ketika istriku membuka dompetnya dan menyodorkan beberapa lembar uang padaku, terasa separuh kelelakian hilang dalam diriku. Ketika kuterima uang itu, rasanya di tanganku seolah lebih berat dari segala benda berat yang pernah kupegang.

“Mas, ini untuk pegangan kamu ya,” kata istriku.

“Tidak usah. Aku tidak butuh apa-apa ketika di rumah,” jawabku dengan upaya agar nada bicaraku tidak meninggi.

Tentu istriku bisa membaca ketersinggunganku. Ia meraih tanganku agar aku tetap menerima beberapa lembar uang itu.

“Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung, Mas. Tapi peganglah uang ini untuk jaga-jaga. Kalau kamu tidak memakainya, kamu bisa letakkan uang itu di atas kulkas. Tidak apa-apa menerima uang dari istri sendiri, Mas.”

Aku langsung meletakkan beberapa lembar uang itu di atas kulkas dan melangkahkan kaki dengan tergesa ke luar rumah. Kudengar hela nafas panjang istriku di balik punggungku.

“Kita bisa melewati ini, Mas. Sabar,” kata istriku.

Perasaan kalahnya masih terasa hingga hari ini. Bahkan di mimpi burukku sekalipun, aku belum pernah menerima sepeser uang dari istriku sendiri. Seolah lebih baik menjadi lelaki yang tidak dicintai dibanding harus menjadi lelaki yang dibiayai.

Sejak hari itu rutinitasku sebagai seorang suami berubah. Aku tetap bangun pagi namun bukan mandi, memakai seragam dan sarapan, melainkan untuk menyiapkan seragam dan bekal istri dan anakku. Aku mengambil kotak bekal makan mereka masing-masing, mengisinya dengan nasi, lauk, sayur yang telah kumasak sebelumnya. Sementara kotak bekalku akhirnya kusimpan di lemari karena tidak pernah diambil lagi. Setelah mereka berdua sarapan, aku mengantar mereka ke tempatya masing-masing. Tentu aku tidak ikut mereka sarapan karena seorang kepala keluarga yang menganggur tidak terlalu pantas buru-buru mengisi perutnya di pagi hari.

Setelah mengantar anakku ke sekolah dan istriku ke kantornya, aku kerjakan segala hal yang bisa dikerjakan di rumah sampai hal yang sebelumnya tidak pernah kusentuh sama sekali. Menyapu lantai, membersihkan kamar mandi, memasak, mencuci baju, mencuci piring, hingga menjemput anak dan istriku, kini semua itu menjadi rutinitas baruku. Setiap debu di sudut sofa kulit, sudut jendela, dan sudut-sudut tempat debu berlabuh dan menumpuk kini kuusap dengan lap basah. Entah karena memang pada dasarnya aku seorang yang rapi dan bersih, atau aku yang terlalu takut dianggap tidak berguna. Aku berupaya mengerjakan semuanya tanpa kesalahan. Setiap piring yang bersih, lantai yang perlahan mengering setelah dipel, pewangi ruangan yang harum, memberiku perasaan tenang meski hanya sesaat. Aku ingin rumah serapi dan sebersih mungkin ketika anak dan istriku pulang. Aku tidak ingin ketika istriku sampai rumah ia masih mengambil sapu karena itu sama saja hari itu aku tidak melakukan apa-apa. Sebagai suami, aku ingin tetap berguna di rumah ini. Aku ingin istri dan anakku melihatku sebagai seorang kepala keluarga bukan tamu.

Hari-hari berlalu kian menyakitkan. Pekerjaan rumah yang untuk ukuran fisik seorang laki-laki terasa ringan namun terasa lelah ketika ada tetangga yang dengan sengaja melirik ke arah rumah. Tentu tetanggaku kini tahu alasan di balik deru mesin cuci yang terdengar di jam siang hari, alasan terbuka lebarnya jendela-jendela rumahku, hingga tukang sayur yang tiap pagi rutin berhenti di depan rumahku. Tetangga-tetangga sudah tahu aku tidak bekerja. Entah mereka menyimpulkan dari melihat keberadaanku di rumah setiap hari atau mungkin dari mantan asisten rumah tangga kami yang berhenti bekerja di rumah ini setelah aku tidak bekerja. Mungkin seisi perumahan ini sudah tahu bahwa ada seorang kepala keluarga yang tengah kehilangan makna. Sebenarnya aku tidak sakit hati dikenal sebagai suami yang ada di rumah namun dadaku terasa sesak mengetahui bagaimana dunia ini membuatku merasa bersalah atas keadaan itu.

“Mas, kamu nggak usah sibuk memikirkan orang lain. Lebih baik simpan tenagamu untuk mencari pekerjaan. Rumah tangga itu bukan soal siapa yang memberi uang, tapi kita saling berbagi ruang,” ucap istriku yang lumayan menenangkan meski rasa malu dalam hatiku kian mengerang.

Dulu aku kerja keras untuk membuatnya tenang namun kini justru istriku yang berupaya keras menenangkan keresahanku. Setiap kali ia menenangkan perasaanku, aku semakin yakin bahwa ada kegelisahan yang bertambah menyesaki dadanya. Sebagai laki-laki, terkadang aku ingin bertanya perihal bagaimana selanjutnya. Aku ingin istriku tahu ketidaktahuanku. Namun sepertinya semesta tidak menciptakan laki-laki dengan ketidaktahuan. Sepertinya aku terlalu baik menjadi laki-laki yang tidak cengeng hingga malu dan lupa cara meminta tolong. Tiap hari istriku menerima dekap peluk suaminya yang ketakutan. Aku bukan hanya takut dianggap sebagai laki-laki gagal namun juga laki-laki yang tidak dianggap penting oleh keluargaku sendiri. Dan dengan kondisiku saat ini tentu semua itu hanya tinggal menunggu waktu.

Seiring bertambahnya hari di mana lamaran pekerjaanku tidak berujung pada pemanggilan, aku merasa keadaan semakin memburuk dengan istriku yang kian diam. Hari-hari di mana istriku merespon cerita nihilnya panggilan kerjaku dengan candaan telah usai. Tidak lama sampai tiba saat istriku menanggapi semua keluhanku dengan diam. Intensitas obrolan kami berkurang drastis. Istriku meminta agar aku tidak perlu menjemput ketika pulang dari kantor karena dirasa lebih hemat biaya pengeluaran bensin. Banyak rekan sekantor yang pulang searah katanya. Tentu alasan ini kuterima dengan malu karena sudah tidak ada setetes keringatku untuk membuat mobil kami melaju. Istriku terlihat lebih lelah dibanding hari-hari sebelumnya sedangkan aku selalu merasa bersalah ketika timbangan digital menunjukkan berat badanku naik. Aku tidak ingin lagi menimbang berat badan agar tidak tahu seberapa besar berat beban yang kuberikan untuk istriku.

Dunia kami terasa semakin menjauh meski kami berada di dalam satu rumah yang sama. Dia tidak pernah membentakku tapi diamnya lebih menyakitkan dari makian. Kami masih makan di satu meja yang sama dan masih bergantian menyuapi anak kami dengan tawa. Istriku juga kadang bersikeras untuk mencuci piring kotor makan malam. Katanya ia ingin agar aku tidak melakukan kegiatan yang sama terus menerus di rumah. Namun rasanya seolah ia sedang pelan-pelan belajar untuk hidup tanpaku. Tiap istriku pulang kerja terasa matanya hanya mencari anak kami, bukan mencariku. Ketika ia tiba di rumah dengan kondisi yang lebih lelah, inginku bertanya tentang harinya namun aku takut pertanyaan itu memperburuk hatinya.

“Maaf ya. Hari ini aku belum dapat panggilan kerja,” kataku pada istriku di suatu malam ketika kami duduk berdua di sofa ruang tamu usai menidurkan anakku di kamarnya.

“Tidak apa-apa,” jawab istriku dengan nada yang datar.

Kami masih tidur di kasur yang sama namun tubuhnya selalu menghadap ke arah yang lain. Kata maaf yang kuucapkan sambil mendaratkan sebuah kecupan di dahinya tiap malam sebelum tidur kini mungkin terdengar lebih mirip kebiasaan dibanding penyesalan. Tidak ada lagi pertanyaan tentang bagaimana hariku tiap harinya. Mungkin karena istriku sudah tahu bahwa jawabannya selalu sama yaitu tidak terjadi apa-apa. Kotak masuk surelku tetap saja membawa kabar-kabar penawaran promo liburan, makan, perabotan, tanpa kabar panggilan pekerjaan. Di sisi lain, aku dan istriku seolah memutuskan untuk berhenti saling bertanya dan menjawab. Kehangatan rumah tangga ini seolah beranjak mendekat ke luar rumah. Anakku lebih sering mengajakku berbicara dibanding istriku. Ketika anak kami sudah tidur, kami tidak lagi berbicara di sofa untuk waktu yang lama. Jangankan berbicara, matanya pun tidak lagi menatapku. Mungkin memang sudah tidak ada yang bisa istriku temukan dari mata suaminya. Kasur kami mendingin dari malam ke malam.

Aku dan istriku duduk berdekatan hanya ketika mertuaku menghubungi lewat panggilan video. Awalnya mereka menanyakan kabar kami sekeluarga, menyapa anak kami, dan akhirnya membahas sesuatu yang akhir-akhir ini tidak kusuka: pekerjaan dan pendapatan. Kakak iparku yang tiba-tiba bergabung di panggilan video langsung antusias membicarakan tentang sisa uangnya yang dipakai untuk investasi saham. Mertuaku juga tidak kalah semangat menceritakan tanahnya yang sudah menghasilkan hasil bumi yang melimpah. Aku tidak iri dengan mereka melainkan iri dengan diriku di masa lalu yang pernah mereka percaya menjadi tumpuan harapan. Sesi pembicaraan berlanjut dengan wejangan-wejangan berumah tangga. Tentu wejangan untukku agar bersabar dalam menanti pekerjaan tidak absen dari topik pembicaraan. Aku tahu mereka tak bermaksud merendahkanku, tapi setiap wejangan baik dari mereka terasa kian menyenggol kegagalanku sebagai seorang kepala keluarga.

Sen—anak perempuanku—mungkin adalah alasan yang terasa masih masuk akal ketika aku menyebut diri sendiri sebagai seorang ayah. Senyumnya memberi rasa untuk getir semesta. Di matanya, aku masih seorang ayah yang baik karena selalu mengantarnya  ke sekolah tepat waktu di pagi hari, menyambutnya ketika pulang sekolah tanpa pernah terlambat di siang hari, ada di rumah untuk menemaninya bermain dan belajar, membuatkan masakan kesukaannya sewaktu-waktu, membeli jajanan keliling dengan uang yang ada di atas kulkas, dan menemaninya hingga tertidur pulas. Setiap pagi aku masih membantunya merapikan dasi, membetulkan kerah baju, dan menyiapkan keperluan sekolah lainnya. Ketika malam tiba sembari menunggu istriku pulang, aku menemani Sen belajar atau mengerjakan proyek sekolah. Ketika belajar selesai, biasanya kami menonton acara kesukaan Sen di Youtube, bermain permainan papan, hingga mentertawakan banyak candaan. Tawa anakku membuat percaya bahwa kehadiranku sebagai seorang ayah masih berguna.

“Kenapa Sen nggak pernah liat ayah sama ibu pelukan lagi?” tanya Sen di pangkuanku ketika kami duduk di teras menanti istriku pulang.

Aku terkejut dan hanya bisa diam mendengar pertanyaan itu. Seolah jawaban yang ada di ujung bibirku memilih untuk bersembunyi di balik rasa kalah yang tidak bisa kuterjemahkan. Namun aku masih berusaha menyangkal bahwa anakku sudah cukup peka untuk menyadari ini semua.

“Oh ya? Kami pelukan kok, Sen. Mungkin Sen aja yang nggak liat,” jawabku sesambil mencoba mengingat kapan terakhir kali aku dan istriku saling memeluk mesra.

Obrolan itu aku coba alihkan dengan membahas tokoh-tokoh kartun favoritnya hingga Sen mengantuk dan tidur di pelukanku. Sebenarnya aku bisa segera memindahkan Sen ke tempat tidurnya. Namun aku sengaja ingin dipeluk lebih lama. Aku masih terasa berarti ketika berada di pelukan anak perempuanku. Seolah yang sedang kupeluk adalah sisa harga diriku sebagai seorang laki-laki. Mungkin Sen tidak tahu bahwa setiap kali memelukku sebenarnya ia sedang menguatkan laki-laki yang merasa lelah menjadi ayah. Mencintai Sen adalah pekerjaan terbesarku saat ini. Aku tidak tahu cara menjadi seorang ayah tanpa pekerjaan, tapi aku mencoba berdalih atas kekalahanku dengan mencintainya dengan lebih dari hari ke hari. Aku peluk tubuh Sen erat sambil membopongnya ke kamar tidur. Setelah membaringkannya di atas kasur dan menyelimuti tubuhnya, aku mencium kening putriku tercinta. Kupeluk sekali lagi tubuh putriku semata-mata karena aku takut suatu hari ia akan belajar kecewa dengan cara yang menyakitkan. Sama seperti ibunya kecewa atas keadaan suaminya sekarang.

“Ayah, ulanganku hari ini nggak dapet nilai 100 tapi dapet 90. Kata Bu Guru ada jawaban yang salah,” kata Sen sambil menunjukkan padaku selembar kertas hasil ulangan siang ini sepulang sekolah.

“Tidak apa-apa, nak. Anak ayah tetap hebat. Memang mana yang salah, nak?” tanyaku sambil menatap kertas hasil ulangan putriku.

“Ada pertanyaan: Apa pekerjaan ayahmu? Terus aku nulis ayah rumah tangga. Kata bu guru salah. Kata Bu Guru tidak ada ayah rumah tangga. Adanya ibu rumah tangga,” kata Sen.

Aku hanya bisa terdiam melihat coretan di sebuah nomor pada lembar jawab ulangan putriku. Di sana tertulis tulisan ayah rumah tangga dicoret dan diganti dengan tulisan bolpoin merah dari guru bertuliskan: tidak bekerja. Rasanya aku tidak ingin menjadi siapa-siapa agar tidak perlu membuktikan apa-apa. Bagi Sen aku memang ayahnya namun bagi dunia aku tetap laki-laki yang tidak memainkan perannya. Putriku tidak salah menjawab. Gurunya juga tidak salah menilai. Aku yang salah menjadi ayah yang tidak pantas ditulis perannya sebagai jawaban atas pertanyaan pekerjaan.

Malamnya aku bermaksud membagikan hal ini dengan istriku. Bukan soal Sen dan lembar jawab ulangannya namun tentang surel panggilan kerja yang baru saja kuterima. Kegelisahanku siang tadi dan hari-hari kemarin sudah tidak lagi penting. Kini sebuah perusahaan di kota memintaku masuk kerja. Bahkan aku dinyatakan diterima di tempat itu tanpa seleksi karena mereka melihat portofolio baik yang kumiliki. Aku ingin segera menceritakan hal ini ke istriku dan melihat matanya kembali berbinar–binar seperti yang sudah-sudah. Aku ingin merasakan dekap peluknya sesering hari kemarin. Aku ingin membawa sesuatu yang lain untuk istriku selain rasa bersalah.

Sen sudah tertidur pulas di kamarnya. Aku memutuskan memasak makanan kesukaan istriku. Kabar gembira ini wajib dirayakan. Setidaknya perayaan kecil ini bisa menandai awal baru keluarga kami. Kusempatkan belanja ke supermarket terdekat untuk menambah bahan baku masakan. Aku masih membelinya dengan uang pegangan yang rutin diletakkan di atas kulkas oleh istriku. Namun tenang saja istriku. Bulan depan kamu sudah tidak perlu melatakkan lembaran uang di atas kulkas atau memaksa tanganku menerimanya. Aku akan kembali memberi lembaran uang hasil keringatku ke tanganmu. Sepulang dari supermarket, aku sengaja mematikan lampu teras depan, lampu ruang tamu, dan hanya menyalakan lampu dapur. Aku mencoba membuat suasana rumah seromantis mungkin dengan harapan bisa mencairkan dingin rumah tangga antara kami berdua. Nasi goreng hasil tanganku yang menjadi kesukaan istriku sudah ada di meja lengkap dengan jus jambu biji kesukaannya. Aku siapkan untuk tiga porsi barangkali nanti Sen terbangun dan ikut makan bersama kami.

Kuintip dari jendela dan terlihat mobil SUV elektrik keluaran terbaru menepi di depan rumah. Dari balik gorden kulihat istriku ke luar dari mobil disusul seorang laki-laki dari bangku pengemudi. Laki-laki itu berpakaian kemeja putih dengan lanyard yang sama dengan yang dikenakan istriku. Aku mengenalnya dari foto-foto kegiatan kantor dan cerita-cerita istriku yang dulu kerap mengisi malam kami sebelum tidur. Adegan selanjutnya seperti mimpi buruk yang pernah kualami, wujud nyata ketakutanku selama ini. Dalam keremangan malam kulihat mereka berdua bercanda. Kulihat tawa dan senyuman manis milik istriku yang sudah tidak pernah kulihat ketika di rumah. Mereka tidak saling bersentuhan namun ada jarak di antara mereka yang membuatku memilih memalingkan wajah. Ruang tamu yang gelap membawaku kembali ke pekatnya perasaan kalah. Aku kalah karena kutahu ada laki-laki lain yang bisa mengembalikan kebahagiaan istriku yang telah hilang dari rumah. Bukan pengkhianatan yang kulihat di antara mereka namun kegagalanku menata rumah tangga. Mungkin mereka memang hanya rekan kerja yang sedang berbagi tawa namun dari tawa itu aku telah kehilangan seluruh alasan untuk merasa diperlukan.

Ketika istriku masuk ke rumah, kulihat ia terkejut denganku yang sedang sibuk menata pakaian ke dalam koper di ruang tamu. Lampu dapur masih menyala dengan semerbak harum lilin aromaterapi yang kunyalakan. Aroma nasi goreng kebanggaanku masih menguar di seisi ruangan. Istriku melangkah pelan dan mendekatiku. Aku pura-pura tidak melihatnya dan terus mengemas pakaian-pakaian dari lantai ke dalam koper.

“Makan dulu, sayang,” kataku sambil melipat sebuah kemeja biru yang dibelikan istriku.

Istriku hanya diam mengabaikan setelah melihat nasi goreng dan jus jambu biji di atas meja makan. Ia mendekat ke arahku yang tengah sibuk mengemasi barang ke dalam koper.

“Mau ke mana?” tanya istriku yang terdengar harus diucapkan bukan karena perhatian.

“Suamimu ini sudah dapat panggilan kerja, sayang” jawabku sambil tersenyum dan menatap istriku.

Terasa sedikit binar dapat kulihat dari matanya. Mungkin yang belum ia ketahui adalah cara menanggapi situasinya.

“Harus berangkat malam ini, Mas?” tanya istriku.

Aku menghela nafas panjang. Jeda antara tanya terakhir ke sapaan Mas barusan menunjukkan sejauh apa jarak kami di rumah ini. Namun ada sedikit lega dalam hatiku ketika mendengar sapaan itu. Setidaknya masih ada kekalahan yang bisa diselamatkan. Aku masih punya ruang berbagi di rumah ini untuk menjaga yang tersisa.

“Besok siang mereka memintaku datang ke kantor,” jawabku sambil melipat pakaian terakhir untuk masuk ke dalam koper.

“Kamu sudah pamit dengan Sen? Besok pagi dia pasti rewel dan bertanya di mana ayahnya,”

Aku menghela nafas sejenak dan menatap istriku. Entah sadar atau tidak, dimaksudkan atau tidak, air mata kami sama-sama mengalir ke pipi. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air mataku. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding menahan tangis di depan seseorang yang ingin kau pastikan hidupnya akan baik-baik saja. Tangisku bukan karena kehilangan keluargaku, tapi kehilangan diriku di hadapan keluargaku.

“Jawab saja,” jawabku dengan serak dengan suara tercekat. Leherku terasa sakit.

“Ayah berangkat kerja….”

 

Magetan, 07 Oktober 2025

*****

Editor: Moch Aldy MA

Kristophorus Divinanto
Kristophorus Divinanto Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email