Beberapa waktu ke belakang, viral sebuah konten berupa karakter absurd bernama “Tung Tung Tung Sahur” di media sosial—khususnya TikTok. Karakter absurd Tung Tung Tung Sahur ini dibuat menggunakan Akal Imitasi (AI) generatif dan diunggah oleh kreator TikTok Noxa @noxaasht pada Februari 2025.
Karakter absurd tersebut kemudian menjadi viral di seluruh jagat media sosial. Sampai akhirnya pada Juni 2025, sebuah mobile game yang terkenal yakni Free Fire, memasukkan karakter absurd Tung Tung Tung Sahur sebagai konten eksklusif berupa skin. Skin Tung Tung Tung Sahur tersebut bisa didapatkan secara gratis dengan cara ikut suatu tantangan terlebih dahulu dalam game.
Mempertanyakan Etika
Mengetahui karakter absurd Tung Tung Tung Sahur ini ada di game Free Fire, Noxa kecewa karena merasa bahwa Garena—developer game Free Fire—seharusnya meminta izin kepadanya untuk memasukkan Tung Tung Tung Sahur ke dalam game Free Fire. Noxa menyatakan bahwa Garena tidak beretika karena menggunakan Tung Tung Tung Sahur secara tidak izin kepadanya.
Baca juga:
Konten kekecewaan Noxa tersebut diposting di TikTok. Konten kekecewaannya itu pun menjadi ramai dibahas layaknya karakter absurd Tung Tung Tung Sahur yang ia buat. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Bagi mereka yang pro, Garena sudah seharusnya meminta izin kepada Noxa untuk memasukkan karakter absurd Tung Tung Tung Sahur ke dalam game Free Fire. Hal itu karena tanpa ide dari Noxa, karakter absurd Tung Tung Tung Sahur tidak akan ada dan tidak akan ramai diperbincangkan, serta tidak akan memunculkan karakter absurd serupa seperti Kel Kel Mokel dan Brr Es Teh Patipum misalnya.
Namun, bagi mereka yang kontra, Tung Tung Tung Sahur tidak bisa diklaim sebagai milik Noxa. Hal itu karena Tung Tung Tung Sahur merupakan hasil dari generate AI yang dilakukan oleh AI generatif seperti Midjourney atau DALL-E misalnya. Hasil gambar AI tersebut bisa ada karena AI generatif mengambil gambar-gambar di internet dan kemudian disatukan menjadi gambar baru sesuai yang diinginkan pengguna. Itu artinya, Tung Tung Sahur merupakan buatan AI generatif, bukan buatan Noxa.
Menurut Michael Hans dan Cynthia Prastika Limantara dalam Menyoal Aspek Hak Cipta atas Karya Hasil Artificial Intelligence (2023), hasil karya dari AI tidak—atau setidaknya belum bisa—dikenakan hak cipta. Hal itu karena suatu karya dapat diakui sebagai bagian dari Kekayaan Intelektual jika memenuhi salah satu syarat utama yakni karya tersebut harus diciptakan oleh manusia.
Perang Analogi
Bagi saya, yang menarik dari perdebatan tentang kepemilikan gambar AI generatif di media sosial ini salah satunya adalah isi komentarnya. Keunikan komentar-komentar baik yang dari mereka yang pro maupun mereka yang kontra sama-sama punya kesamaan. Kesamaan tersebut adalah sama-sama menggunakan sebuah analogi untuk memperkuat argumennya masing-masing.
Contoh analogi yang biasa digunakan untuk memperkuat argumen pro kepemilikan gambar AI generatif adalah menyamakan AI generatif misalnya seperti Midjourney dan DALL-E dengan alat digital. Lebih spesifiknya adalah software digital seperti AutoCAD misalnya. Menggunakan Midjourney dan DALL-E sama halnya dengan menggambar menggunakan AutoCAD, karena keduanya merupakan sama-sama software digital. Jadi, Midjourney dan DALL-E di sini hanya dianggap sebagai alat—layaknya AutoCAD—yang tidak bisa bertindak jika tidak ada manusia yang mengendalikan.
Ada juga argumen yang menganalogikan dengan membangun rumah. Prompter AI—pengguna yang memerintahkan AI generatif untuk membuatkan gambar—di sini diibaratkan seperti arsitek yang merancang rumah. Tanpa adanya arsitek, tukang bangunan—yang berarti AI generatif itu sendiri—akan bingung bagaimana proses membangun rumahnya tanpa rancangan dari arsitek.
Baca juga:
Argumen-argumen seperti itu jelas menimbulkan perdebatan di media sosial. Perdebatan yang berujung pada tidak mau kalah, mendahulukan emosi, dan berujung pada debat kusir dengan total komentar bisa tembus di atas 1.000 komentar.
Argumen yang kontra pun juga memiliki cara yang sama untuk memperkuat argumennya—menggunakan analogi. Contohnya adalah menyamakan prompter AI dengan seseorang yang hanya memiliki ide, tetapi yang mengeksekusi idenya adalah orang lain. Misal ada orang A yang ingin membuka warung dan mengajak orang B. Namun, semua eksekusi mulai dari menyiapkan bahan makanan hingga mencari kios untuk dijadikan warung dilakukan oleh orang B. Lalu orang A meminta bagi hasil penjualan sebesar 50% karena dirinya lah yang memiliki ide awal untuk membuka warung. Jelas ini terdengar tidak masuk akal.
Pembagian “Pencipta” dan “Alat” yang Menjadi Ambigu
Sebelum adanya AI generatif, pembagian “pencipta” dan “alat” bisa dibagi tegas karena pencipta bersifat aktif sementara alat bersifat pasif. Maksudnya adalah pencipta—dalam hal ini manusia—aktif bertindak dan alat pasif itu tidak akan bisa berbuat apa-apa jika penciptanya tidak menggunakan alat pasif itu. Alat pasif bisa diibaratkan seperti kuas, kuas tidak bisa melukis secara mandiri jika tidak digunakan oleh manusia.
Bagi saya, fenomena “perang analogi” ini sangat unik dalam mewarnai perdebatan tentang kepemilikan gambar AI generatif. Perang analogi ini justru secara tidak langsung menunjukkan bahwa manusia hari ini hidup di masa ketika penciptaan suatu karya tidak lagi bisa dibagi tegas antara “pencipta” dan “alat”.
Sementara AI bersifat aktif. Sepanjang waktu, AI terus terus-menerus belajar dengan mengumpulkan banyak data dari internet untuk membuat pintar dirinya. Sifat AI yang aktif inilah yang membuat pembagian tegas antara “pencipta” dan “alat” menjadi ambigu. AI bukan lagi sekadar alat pasif seperti palu, kuas, atau kamera. Ia bukan sekadar media ekspresi, tetapi juga bisa menjadi aktor dalam produksi.
Perdebatan yang lebih urgen tentang AI, bagi saya, bukan pada kepemilikan gambar AI generatif saja. Lebih jauh lagi, perdebatan yang seharusnya benar-benar dibahas dan menjadi diskusi publik adalah: jika ada karakter hasil AI yang memicu kontroversi misalnya menyerang martabat kelompok tertentu, atau digunakan secara komersial tanpa izin, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah developer AI-nya, penggunanya selaku yang memerintahkan AI-nya, atau tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab sama sekali?
Pada akhirnya, “perang analogi” yang mewarnai perdebatan tentang kepemilikan gambar AI generatif ini hanyalah puncak gunung es dari segudang potensi-potensi AI dalam mengubah total cara hidup, cara berpikir, dan budaya manusia. Mungkin saja suatu saat nanti, pemahaman kita tentang “pencipta” dan “alat” dalam pembuatan karya bisa berubah seiring waktu. Bahkan bisa saja suatu saat nanti, gambar AI generatif bisa ada payung hukum yang melindunginya.
Ini menjadi saat yang tepat untuk berfilsafat dengan mempertanyakan kembali eksistensi manusia. Mau secanggih apa pun teknologinya, manusia tetaplah manusia. Manusia seharusnya memperalat alat, bukan diperalat oleh alat. (*)
Editor: Kukuh Basuki