Cara menyadari betapa berharganya sebuah peristiwa adalah ketika kita sudah jauh secara dimensi ruang dan waktu. Itulah mengapa kita kadang malas mencatat hal-hal yang baru saja terjadi di sekitar kita. Kita menganggapnya sepele dan tidak berharga.
Kita lebih tertarik membaca dan menulis sesuatu yang sudah lampau atau malah prediksi-prediksi di masa depan yang penuh spekulasi. Lantas kita memunggungi hari ini dan detik ini. Paling banter, kita hanya mengobrolkan dengan orang dekat untuk menyamakan frekuensi perasaan tentang apa yang terjadi.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi Tjamboek Berdoeri. Ia mencatat apa pun dari hal-hal remeh seperti percakapan sehari-hari hingga peristiwa dan tragedi kemanusiaan. Ia seolah tak membedakan peristiwa kecil dan besar. Baginya, semua catatan itu akan menjadi penting dan bermanfaat di tangan orang yang tepat.
Tjamboek Berdoeri seolah mempunyai kesadaran alami bahwa peristiwa-peristiwa kecil yang orang-orang biasa alami sama pentingnya dengan peristiwa yang dianggap besar dan akbar hanya karena dialami oleh orang-orang berpengaruh dan terkenal.
Kekangan tata bahasa yang biasanya menjadi hambatan bagi semua orang untuk mencatatkan pengalamannya seolah selalu diterabas oleh Tjamboek Berdoeri. Ia menuliskan apa yang dilihatnya, dirasakannya, dan dipikirkannya dengan berbagai macam bahasa dan struktur kalimat.
Dengan enteng, Tjamboek Berdoeri menulis dengan bahasa Melayu yang dikombinasikan dengan bahasa Jawa, Madura, Belanda, Hokkian, Jerman dan apa saja yang dipahaminya. Genre tulisannya juga sangat bebas, mulai santai, serius, filosofis, hingga komedi.
Baca juga:
Bagi Tjamboek Berdoeri, detail-detail peristiwa jauh lebih penting dari pada struktur-struktur bahasa dan juga aturan baku di sekitarnya. Ia seolah berbicara dengan bahasa verbal pada semua pembacanya melalui media tulisan.
Ia mengajak pembacanya masuk ke dalam peristiwa yang dialaminya dengan sederhana dan simpel. Ia juga menyadarkan kita bahwa tidak ada yang tidak layak untuk ditulis. Semua pengalaman kita akan selalu berharga.
Benedict Anderson dan Insting Sejarahnya
Kita layak berterima kasih pada sejarawan Benedict Anderson yang blusukan ke pasar loak dan menemukan buku Indonesia dalem Api dan Bara di lapak buku bekas. Entah angin apa yang membuat ilmuwan sejarah dan politik yang mengajar di Universitas Cornell itu begitu tertarik untuk menyingkap siapa sebenarnya penulis buku yang bahkan tak pernah disebut dalam buku sejarah mana pun. Insting sejarawannya yang kuat mendorongnya untuk menemukan siapa itu sang penulis buku yang mengaku dirinya Tjamboek Berdoeri.
Setelah 40 tahun pencarian tiada henti bersama rekan-rekannya di Indonesia yang diajaknya menemui beberapa orang untuk menggali ingatan, akhirnya Benedict Anderson mengetahui siapa di balik nama Tjamboek Berdoeri.
Dalam ketidaksengajaan di sebuah pemberangkatan pesawat, ia menemukan orang yang mengenal siapa itu Kwee Tiam Tjing, penulis kata pengantar buku Indonesia dalam Api dan Bara. Ya, Kwee Tiam Tjing adalah sang Tjamboek Berdoeri itu sendiri. Ia sengaja membuat ‘tipu daya’ itu untuk mengelabui mata-mata Belanda yang masih banyak berkeliaran di Indonesia saat buku itu diterbitkan pertama kali tahun 1947.
Dari penelusuran Benenedict Anderson, kita dapat mengenal lebih dekat dan memahami betapa pentingnya tulisan-tulisan Kwee Tiam Tjing dalam lanskap besar sejarah Indonesia. Dalam pengantar buku yang diterbitkan ulang di tahun 2004, Benedict Anderson memberikan kata pengantar yang tak tanggung-tanggung panjangnya, yaitu 78 halaman. Ia menceritakan dengan detail bagaimana awal pertemuannya dengan buku Indonesia dalem Api dan Bara, menukil bagian-bagian penting dari buku, dan memperkenalkan siapa itu sang penulisnya yang sangat memberikan pemahaman pada pembaca bahwa ia layak dipelajari dan dibaca.
Di dalam kata pengantar tersebut, Benedict Anderson memperkenalkan Kwee Tam Tjing sebagai seorang aktivis masyarakat yang aktif dalam kegiatan kemanusiaan, jurnalis politik, wartawan ‘melayu nakal’ yang berani mengkritik pemerintah dengan blak-blakan, seorang peranakan yang kritis terhadap golongannya, dan seorang kritikus sosial.
Jiwa anti kolonialnya membuatnya seperti mempunyai tanggung jawab moral untuk ikut berjuang. Tidak dengan menenteng senjata, namun ia bergerak dengan pena dan mesin tik untuk menuliskan pengalaman dan pemikirannya
Kwee, Jurnalis Partikelir dan Kota Malang
Kwee Thiam Tjing adalah penulis dan jurnalis lepas yang lahir di Pasuruan pada tanggal 9 Februari 1900. Dilihat dari tahun lahirnya, ia masih satu era dengan Tan Malaka (1897), Sukarno (1901), dan Hatta (1902).
Sebagai seorang Tionghoa peranakan, Kwee merasakan beberapa diskriminasi sosial yang kala itu sering dialami oleh kaumnya. Namun, ia cukup beruntung karena bisa sekolah di Europe Large School atas rekomendasi dari keluarga Belanda. Dari sanalah ia bisa menguasa bahasa Belanda yang sangat dibatasi pengajarannya waktu itu.
Baca juga:
Pergaulannya yang begitu luas, tidak terbatas pada etnisnya saja, membuat ia bisa bahasa Melayu, Jawa, Madura, Hokkian, dan sedikit bahasa Jerman. Ia juga pembaca yang ulung. Ia sangat dekat dengan karya-karya Ronggowarsito, sastrawan Jawa yang terkenal dengan adagiumnya “Jaman edan. Yen ora edan ora keduman” (Zaman gila. Jika tidak ikut gila tidak kebagian). Ia juga paham dengan kisah Sampek Ingtay, kisah percintaan legendaris dalam sastra Tionghoa.
Jalan jurnalistik sepertinya menjadi panggilan hidupnya. Ia pernah menjadi pembantu redaksi di koran Lay Po Bandung yang dipimpin oleh Lauw Giok Lan, wartawan koran Perniagaan, dan redaktur di Soeara Publiek Surabaya. Ia juga pernah membuat media sendiri di Kota Jember bernama Pembrita Djember. Ia juga menjadi penulis lepas dan menulis beberapa esai di beberapa media.
Kwee Thiam Tjing menikah dengan Nie Hiang Nio pada 1927. Ia mempunyai satu anak perempuan bernama Jeanne Kwee yang menikah dengan atlet serba bisa Stenley Gouw. Di masa pernikahannya itu, ia aktif menulis baik sebagai jurnalis maupun penulis lepas. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah buku Indonesia dalem Api dan Bara itu sendiri.
Di dalam buku Indonesia dalem Api dan Bara, Kwee Tiam Tjing menuliskan secara detail peristiwa di Kota Malang dan sekitarnya sejak masa ia muda, yaitu pada era pemerintah Belanda, transisi datangnya Jepang tahun 1942, revolusi kemerdekaan 1945, hingga kembalinya Belanda dalam aksi polisionil (agresi militer) bersama NICA pasca 1945. Buku ini penting karena mencatat dari dekat peristiwa-peristiwa di jalanan ketika perubahan-perubahan knstelasi sosial politik itu terjadi.
Tulisan Kwee Tiam Tjing seolah membuka serpihan-serpihan tipis peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Kota Malang pada masa itu dari sudut pandang Tionghoa peranakan. Di sana kita bisa mengetahui bahwa tiap-tiap peristiwa itu tidak hitam putih. Ada “Djamino” dan “Djoliteng” yang memanfaatkan keadaan kacau untuk menjarah barang-barang berharga yang sebenarnya itu bukan bagian dari perlawanan terhadap kolonial.
Dalam buku tersebut, Kwee mencatat bagaimana kegelisahan etnis Tionghoa yang berada dalam dilema dalam setiap pergantian kekuasaan di Indonesia. Mereka selalu dihadapkan pada situasi yang sulit, dilematis, yang tak jarang bisa merenggut nyawa mereka dengan mudah.
Ironisnya, hal-hal seperti itu jarang sekali tercatat dalam buku sejarah. Bahkan nama-nama Tionghoa sendiri, yang tak sedikit juga ikut berjuang melawan kolonialisme dan turut mendukung kemerdekaan Indonesia, dihapuskan dari sejarah.
Editor: Prihandini N
