Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Sebuah Kota di Mata Ayah

Kristophorus Divinanto

7 min read

Hingga mobil keluar dari jalan tol setelah dua jam lamanya perjalanan, aku masih belum tahu alasan Ayah mengajak ke kota itu. Kami tidak memiliki kerabat di sana. Keluarga besar Ayah dan keluarga besar almarhum Ibu juga tidak ada yang berasal dari kota itu. Namun semua pertanyaan tentang alasan datang ke kota tersebut selalu didiamkan oleh Ayah. Seolah kepergian kami ke kota itu tidak perlu alasan.

Selama perjalanan Ayah lebih banyak diam namun ganjil bagiku. Aku belum pernah mengenal diam Ayah yang ini. Sikap-sikapnya juga tidak seperti biasa. Ayah memilih tidak menyalakan musik selama perjalanan. Padahal biasanya ia bersikeras memutar album-album musisi Tulus kesukaannya. Diam Ayah membuatku enggan membuka percakapan. Setiap kali mobil melewati papan penunjuk arah kota yang dituju, aku merasakan kian berat embus nafas panjang Ayah.

Bulan lalu Ayah memintaku mengosongkan jadwal untuk memenuhi perjalanan ini. Sebenarnya aku sudah cukup keberatan mengikuti kebiasaan Ayah bepergian tanpa kejelasan meski setelah kematian Ibu aku selalu berusaha meluangkan. Di masa-masa seperti ini, aku lebih suka bepergian untuk memastikan semua persiapan pernikahanku sesuai rencana. Daripada aku harus mengambil cuti satu hari untuk jalan-jalan dengan Ayah, lebih baik aku cuti untuk mengecek gedung atau tanda mata untuk tamu undangan atau memastikan jas pernikahanku tidak sesak dikenakan. Namun ucapan Ayu—calon istriku—membuatku mengiyakan ajakan Ayah.

“Temani ayahmu. Mungkin bukan liburan yang ayahmu inginkan namun kesempatan pergi bersama anaknya. Kalau ayahmu suatu hari sudah terlalu tua untuk diajak pergi, kamu akan menyesal menolak ajakannya kali ini,” kata Ayu.

Setelah meninggalkan gerbang tol kini kami memasuki kepadatan kendaraan dan bangunan rapat di kiri kanan. Aku tahu perjalanan ini tak lama lagi mencapai sampai. Kota ini ramai namun tidak seramai kota tempat kami tinggal. Tidak ada kemacetan yang mengekor di lampu merah. Tidak banyak klakson sorak semarai.

Ayah mengarahkan perjalanan kami tanpa bantuan aplikasi penunjuk arah. Aneh benar aku melihatnya. Ia mengetahui setiap lampu merah, setiap jalan memintas, jalan butulan, dan jalan simpang di kota ini. Padahal biasanya aplikasi penunjuk arah selalu dinyalakan setiap kali Ayah bepergian sekalipun ke tempat-tempat yang biasanya ia kunjungi.

Dari situ aku tahu Ayah mengenal kota ini lebih baik dibanding kota tempat kami tinggal sekarang. Namun bagaimana bisa Ayah mengenal kota ini? Siapa yang Ayah kenal di sini? Belum sempat pertanyaan itu kutanyakan, Ayah memintaku memarkir mobil di sebuah rumah makan pecel di sudut jalan.

“Yah, terlalu pedas?” tanyaku pada Ayah yang sejak tadi menyantap makanan lebih pelan dari biasanya.

Ayah terlihat terkejut ketika barusan aku menegurnya. Ia menyobek beberapa lembar tisu makan dan mengusap bagian matanya. Nasi pecel yang kami makan memang rasanya pedas tapi terasa air mata Ayah jatuh bukan karena itu. Ada sesuatu lain dari sorot matanya yang terasa menyesakkan.

“Lumayan,” jawab Ayah singkat namun ia kembali menyantap nasi pecelnya.

Sejak masuk ke rumah makan ini, aku langsung tahu bukan kali pertama Ayah datang ke tempat ini. Jelas ia mengamati seisi rumah makan nasi pecel ini lekat-lekat untuk mengingat bukan mencari tahu. Ayah tahu dari mana arah antrean. Ayah tahu di tempat ini makan dulu baru bayar kemudian. Ayah bahkan memesan es puter tanpa melihat lembaran menu di meja. Ia terlalu hafal letak segala hal di tempat ini. Keakraban ini tidak mungkin dimiliki oleh mereka yang baru datang pertama kali.

“Ayah pernah makan di sini?” tanyaku usai makan siang.

Kami kembali masuk ke mobil. Perlahan mobil kukemudikan sambil menyimak instruksi petugas parkir.

“Sering,” jawabnya. “Ini tempat nasi pecel kesukaan Ayah dan almarhum Ibumu,” jawaban ayah membuatku terlambat memosisikan kemudi mobil hingga sebuah pengendara motor melewati mobil kami dengan sewot karena nyaris terserempet.

Dua puluh lima tahun lamanya aku menjadi anak Ayah dan almarhum Ibuku namun baru kutahu mereka pernah hidup di kota ini tiga puluh tahun yang lalu. Aku baru tahu ada kota yang lebih dulu jadi rumah keluargaku sebelum rumah kami yang sekarang berdiri. Aku tidak pernah mendengar mereka berdua membicarakan apapun tentang kota ini: kota tempat Ayah bekerja untuk pertama kalinya. Semua langkah keluarga ini dimulai dari langkahnya di jalan-jalan yang ada di kota ini. Kota ini adalah halaman pertama buku kehidupan keluargaku.

Aku mendengarkan semua cerita Ayah sembari mengemudikan mobil mengelilingi kota tanpa tujuan. Ayah tidak menuju ke tempat tertentu. Kota ini adalah arah yang ayah tuju. Ayah tidak datang ke kota ini untuk mengetuk pintu rumah salah satu orang melainkan untuk mengetuk masa lalunya sendiri. Ia mengunjungi kenangannya. Aku mengikuti petunjuk arah yang Ayah berikan. Belok kanan, kiri, putar balik, menepi untuk berhenti sejenak untuk kemudian melaju lagi. Semua atas arahan Ayah.

“Berarti sebelum menikah Ayah sudah ada di sini?” tanyaku sambil menepikan mobil di sebuah bahu jalan atas perintah Ayah.

Ya. Ayah sudah lebih dulu bekerja di kota ini selama dua tahun. Pekerjaan yang Ayah punya di kota ini membuat Ayah merasa pantas mencintai Ibumu,”

“Lalu setelah menikah, Ayah bawa Ibu ke sini?”

“Ya. Sama seperti kamu membawa Ayu untuk hidup serumah. Ayah membawa Ibumu datang ke kota ini. Namun tidak sepertimu yang sudah mencicil rumah sebelum menikah. Saat itu kami belum punya rumah sendiri. Bahkan mengontrak rumah pun tidak. Dulu kami indekos di sana,” Ayah menunjuk sebuah bangunan di seberang jalan yang ramai. Di mataku bangunan itu adalah rumah makan bertingkat yang menawarkan seblak prasmanan. Banyak anak muda terlihat sedang makan dan mengobrol di sana. Namun tentu apa yang kulihat berbeda dari apa yang Ayah ingat dan lihat dari bangunan itu.

“Dulunya tempat itu adalah indekos khusus keluarga. Penghuninya hampir semua pasangan muda seperti Ayah dan almarhum Ibumu. Orang-orang yang memulai hidup baru dengan keberanian yang jauh lebih besar daripada jumlah tabungan.  Kami ada di sana sampai Ibu mengandungmu di bulan ketujuh,” tambah Ayah.

Mata Ayah masih menatap bangunan yang dulu menjadi tempatnya berteduh bersama almarhum Ibu di masa lalu. Tentu bangunan itu membawa Ayah kembali mengingat aroma masakan almarhum Ibu kala itu, lelucon receh Ayah yang berusaha Ibu tertawakan, panjat doa di malam hari, pertengkaran-pertengkaran keluarga muda, atau mensyukuri hal-hal yang mereka peroleh di masa itu lewat peluk dan kecup.

“Kamar kami saat itu berukuran tiga kali empat meter dengan kamar mandi dalam. Tidak ada AC. Ayah sempat merasa malu membawa almarhum Ibumu ke kehidupan yang serba apa adanya seperti itu. Namun Ibu selalu menguatkan Ayah dengan pemaklumannya.”

“Lalu, mengapa Ayah dan Ibu pindah dari kota ini?” tanyaku.

Ayah hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaanku. Meski itu hakku untuk tahu, aku jadi merasa bersalah telah menanyakannya. Mungkin Ayah diam bukan karena lupa namun karena jawabannya masih terlalu jelas. Seolah Ayah sedang berusaha memilih ingatan yang paling tidak menyakitkan untuk dikenang ulang. Ayah memintaku kembali melajukan mobil dengan kalimat petunjuk arah selanjutnya yang membuatku tegang.

“Ayo kita ke tempat Ayah bekerja dulu,” ajak Ayah.

Mobil menepi di bahu jalan yang tidak jauh dari tempat bekas indekos yang sebelumnya. Namun berbeda dari yang sebelumnya, kini Ayah mengajakku turun dari mobil. Di dekat kami ada penjual kopi keliling. Kupesan dua buah Americano kesukaanku dan Ayah. Ketika menunggu pesanan, kulihat Ayah menatap bangunan bekas sekolah di seberang jalan. Bangunan itu separuh ambruk. Rumput-rumput di halamannya tumbuh setinggi betis orang dewasa. Papan nama sekolah tertutup karat, mengelupas, pudar dan tak terbaca huruf-hurufnya. Jendela-jendela pecah. Ada pintu yang masih terpasang namun ada juga yang hilang. Tumpukan daun kering menimbun di lorong bangunan.

“Ayah dulu mengajar?” tanyaku sambil menyodorkan segelas americano untuk Ayah.

Ayah hanya mengangguk, menerima kopi pemberianku, dan kembali menatap bangunan bekas sekolah itu.

“Iya. Ayah dulu guru di sekolah itu. Dan cita-cita Ayah sejak dulu adalah menjadi guru.”

Aku masih melongo tidak percaya. Sulit membayangkan Ayah pernah berdiri di salah satu kelas yang ada di bangunan itu, menguraikan pemahaman yang rumit menjadi sederhana, atau bersenda gurau dengan murid-muridnya ketika jam istirahat sekolah. Tidak ada lagi terbaca jejak-jejak pekerjaan itu dari dirinya. Ayah yang kutahu selama ini adalah seorang yang setiap harinya lebih banyak duduk di balik meja kantor perusahaan yang bahkan tidak ada kaitannya dengan sekolah atau dunia pendidikan. Guru yang bagiku rasanya pekerjaan orang lain di luar sana ternyata adalah profesi yang pernah dijalani oleh Ayahku.

“Setiap pagi di gerbang itu,” kata Ayah sambil menunjuk gerbang sekolah yang berkarat dengan gembok yang masih mengikat kedua sisi besi gerbang namun sebagian temboknya di sekitarnya sudah roboh.

“Ayah selalu menyambut murid dan orang tua yang datang mengantar sekolah. Menyalami mereka, menyapa, membetulkan dasi yang miring, membujuk murid rewel yang tidak mau sekolah karena masih mengantuk. Setiap mereka pulang di siang hari, mereka akan menjadi kisah baru untuk ayah di setiap pagi berikutnya.”

Aku tidak pernah melihat Ayah sebahagia ini ketika menceritakan pekerjaannya. Kehangatan kisah yang tidak pernah aku dengar, lihat, temukan ketika almarhum Ibu atau aku sendiri menanyainya tentang pekerjaan di kantor yang sekarang. Biasanya Ayah hanya menjawab perihal pekerjaan di kantornya yang sekarang dengan seperlunya, hambar, dingin, berjarak. Aku juga berhenti bertanya karena Ayah selalu memberi kesan bahwa tidak ada yang menarik dari pekerjaannya untuk diceritakan dalam obrolan sepulang kerja. Tapi kali ini Ayah bercerita seolah sedang membuktikan ia pernah menjalani pekerjaan yang membuatnya bernyawa.

“Yang menyedihkan bukan ketika Ayah berhenti mengajar, tetapi ketika tahu profesi yang Ayah cinta tidak cukup untuk menghidupi keluarga,” kata Ayah sambil menyeruput kopinya.

“Saat itu Ayah tahu, bahagia dengan pekerjaan saja tidak cukup karena seorang Ayah baru bisa bahagia setelah memastikan istri dan anaknya makan dengan cukup. Itulah yang membuat Ayah memutuskan keluar mencari pekerjaan lain sampai akhirnya mendapat pekerjaan di kota kita sekarang. Hingga akhirnya kamu lahir dan semua berjalan sampai sore ini tinggal kita berdua,” tambah Ayah sambil tersenyum ke arahku.

Aku menatap Ayah sambil tersenyum. Kini yang berdiri di hadapanku bukan Ayah dengan lusinan lelucon konyol yang perlu memaksakan diri untuk mentertawakannya. Di hadapanku berdiri seorang laki-laki yang pernah menukar kebahagiaannya untuk memastikan keluarganya tidak kelaparan.

Ayah mendekat ke arahku dan menepuk pundakku.

“Ketika kamu lahir sebagai laki-laki kemudian tumbuh dan dewasa hari ini dengan hidup yang lebih baik dari Ayah, Ayah sama tidak menyesal meski harus kehilangan banyak hal kemarin untuk sampai di hari ini,” kata Ayah sambil menatap wajahku.

Dadaku terasa sesak. Aku merasa kecil di hadapan keteguhan Ayah. Aku ingin sembunyi dari kebesaran hatinya. Aku merasa tidak layak menerima cinta sebesar itu. Perasaanku diremas rasa bersalah hebat yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku mulai perlahan memahami arti tuntut Ayah yang lebih sering terkesan memaksa dan tidak masuk akal atas hidupku meski akhirnya kuturuti karena terpaksa. Aku mulai mengerti perdebatan kami yang timbul atas hal-hal yang terasa sepele di mataku tapi fatal di mata Ayah. Dan aku memahami amarahnya ketika dunia kuperlakukan dengan sepele ketika Ayah menjalaninya dengan hati-hati.

“Bulan depan kamu akan menikah. Kamu akan menjadi kepala keluarga. Menjadi suami dan seorang ayah. Akan ada banyak hal yang membuatmu merasa kalah. Namun percayalah, laki-laki selalu menang ketika ia memilih istri dan anaknya seberat apa pun kondisinya. Tidak ada ayah yang kalah ketika mementingkan keluarga.”

Aku hanya bisa merespon ucapannya dengan anggukan. Lidahku terlalu kelu. Ada sesuatu dalam dadaku yang terasa hangat dan perih di saat yang sama. Aku merasa ingin berterima kasih dan meminta maaf namun suaraku tidak keluar. Malu rasanya ketika mengingat aku yang terlalu angkuh membanggakan banyak hal hari ini yang sebenarnya berasal dari banyak hal yang Ayah iklaskan di masa lalu. Ada sesal dalam diriku mengingat beberapa pesan Ayah yang sengaja tidak kubalas dan ajakannya bertemu yang kubatalkan di hari-hari kemarin. Ada sesak ketika aku ajukan banyak syarat pada Ayah ketika ia mencoret semua syarat miliknya ketika membesarkanku.

Kami masih ada di kota ini sampai makan malam. Ayah mengajakku ke sebuah rumah makan rawon. Ia berkata bahwa dirinya tidak berani makan di tempat ini semasa masih bekerja sebagai guru karena harga menunya yang dikenal mahal. Tentu Ayah sekarang datang ke sini bukan hanya untuk mengisi perut namun mengisi rasa penasarannya yang belum sempat terjawab. Setelah makan malam, membeli sambel pecel dan roti bluder, makanan khas kota ini, Ayah mengajakku pulang.

Ayah tertidur lelap dengan dengkurnya yang berisik selama perjalanan pulang. Mobil melaju menyusuri jalan tol, menyalip kendaraan demi kendaraan dan kian menjauhi kota itu. Lagu-lagu musisi Tulus kesukaan Ayah kubiarkan melantun dengan volume lirih. Hari ini aku menemukan sisi lain dari Ayah yang telah lama ia gadaikan untuk mendapat sisi hidupku sekarang. Aku merasa pulang bersama seseorang yang telah selesai dengan hidupnya. Seorang laki-laki yang selesai dengan masa lalunya. Laki-laki yang mewariskan kekuatan dan ketakutan di saat yang bersamaan.

(Magetan, 26 November 2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Kristophorus Divinanto
Kristophorus Divinanto Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email