Literasi di Antara Algoritma Media Sosial

Ahmad Izzul Haq

3 min read

Setiap kali kita membuka gawai, dunia seolah menumpahkan dirinya ke dalam genggaman tangan. Ada berita terbaru, video singkat yang viral, opini yang bersahutan, hingga notifikasi yang berdentang tanpa jeda. Dunia maya seperti pasar malam yang tak pernah sepi. Namun di balik keramaian itu, muncul pertanyaan, di tengah ledakan informasi dan algoritma yang mengatur konten yang kita lihat, bisakah literasi tetap bertahan?

Dulu, literasi adalah kegiatan yang menuntut kesabaran dan keheningan. Membaca buku bukan sekadar untuk menambah tahu, melainkan untuk memahami, untuk merenung. Membaca berarti menapaki jalan panjang yang penuh tikungan makna. Ia mengajarkan kita berhenti, mengulang, dan menyelam. Buku tak pernah terburu-buru, ia menunggu sampai kita siap. Setiap halaman adalah percakapan sunyi antara penulis dan pembacanya, antara pikiran dan hati.

Namun kini, peta perjalanan itu seolah dihapus oleh kecepatan. Algoritma menggantikan peran kesabaran. Semuanya dirancang agar cepat, singkat, dan memikat. Kita diajari untuk membaca dengan jari, bukan dengan pikiran.

Baca juga:

Artikel sepanjang dua halaman terasa berat, video lebih dari satu menit dianggap terlalu lama. Kita hidup di zaman ketika perhatian menjadi mata uang paling mahal. Dan literasi yang sejatinya berakar pada perhatian mendalam perlahan tergeser oleh keinginan untuk tahu banyak tanpa benar-benar memahami apa pun.

Membaca Kata, Membaca Dunia

Padahal literasi sejati jauh melampaui sekadar kemampuan membaca huruf. Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, pernah berkata bahwa membaca dunia harus lebih dulu daripada membaca kata. Artinya, literasi bukan hanya tentang mengenali huruf, tetapi tentang mengerti kehidupan, struktur sosial, dan realitas yang kita hadapi.

Namun di era digital ini, kita justru sering berhenti di permukaan. Kita membaca judul, bukan isi, berkomentar tanpa berpikir, bereaksi sebelum memahami. Literasi, yang dahulu lahir dari perenungan, kini berubah menjadi rangkaian impuls.

Kita hidup di dunia yang diatur oleh algoritma, seperangkat rumus yang menentukan apa yang muncul di layar kita, berdasarkan apa yang pernah kita sukai atau klik. Algoritma tak peduli pada kebenaran, hanya pada keterlibatan. Ia memelihara emosi karena emosi membuat kita bertahan lebih lama di layar. Maka yang viral bukanlah yang paling bernas, tetapi yang paling gaduh. Yang menyentuh bukanlah yang paling jujur, tetapi yang paling memancing perhatian. Dalam dunia seperti ini, kedalaman menjadi barang langka.

Dunia literasi, yang sejatinya menjunjung kebijaksanaan, kesabaran, dan refleksi, kini harus bersaing dengan dunia yang memuja kecepatan, emosi, dan reaksi spontan. Buku bersampul lusuh di meja tampak kalah menarik dibanding video berwarna cerah yang bergulir tanpa akhir di ponsel. Membaca, menulis, dan berpikir, tiga hal yang dulu menjadi fondasi literasi tampak tak sejalan lagi dengan ritme dunia yang serba cepat.

Menulis dan Melawan Algoritma

Apakah literasi benar-benar sedang sekarat? Tidak sepenuhnya. Di tengah derasnya arus digital, masih ada segelintir orang yang memilih jalannya sendiri. Mereka membaca lebih lama ketika yang lain menggulir lebih cepat. Mereka menulis bukan untuk viral, tapi untuk jujur. Mereka berpikir lebih dalam di saat dunia berlari tanpa arah. Di ruang-ruang sunyi, di kafe kecil, di sudut kamar, atau di grup-grup komunitas, masih ada mereka yang menjadikan literasi sebagai bentuk perlawanan diam.

Mereka menulis esai reflektif yang tak diatur algoritma, menerbitkan zine atau buletin lokal yang dibagikan dari tangan ke tangan. Mereka membaca puisi bukan untuk dijadikan konten, tapi untuk menenangkan diri. Mereka menghidupkan kembali makna lama dari membaca, menemukan diri, bukan sekadar mengikuti tren.

Dalam diri mereka, literasi masih bernapas, meski pelan, karena literasi sejati memang bukan sekadar kebiasaan, melainkan perlawanan. Perlawanan terhadap dangkalnya pandangan, terhadap kecepatan yang memaksa kita berpikir instan, terhadap budaya yang mengukur nilai pikiran dari jumlah likes atau views. Di tengah derasnya arus algoritma, membaca dan menulis dengan kesadaran adalah bentuk paling tenang dari revolusi. Sebab revolusi tak selalu tentang teriakan, kadang ia berwujud diam yang memahami.

Baca juga:

Mungkin literasi di era ini memang tidak lagi bisa diartikan sama seperti dahulu. Ia tidak lagi hanya milik kertas, tinta, dan perpustakaan yang berdebu. Ia juga hidup dalam bentuk baru dalam unggahan panjang di media sosial yang jujur, dalam podcast yang menyelami topik mendalam, dalam video esai yang mengajak berpikir, bukan sekadar menatap.

Revolusi Literasi

Literasi tidak punah, ia berevolusi. Tetapi yang perlu kita jaga adalah jiwanya, kesadaran untuk berpikir kritis, keinginan untuk memahami, dan keberanian untuk tidak terjebak dalam kebisingan. Buku dan algoritma memang dua dunia yang berbeda. Buku mengajarkan kita berpikir pelan, algoritma memaksa kita bereaksi cepat. Buku menumbuhkan empati, algoritma menumbuhkan opini. Buku memberi ruang untuk menatap diri sendiri, algoritma menuntun kita menatap orang lain.

Keduanya bisa berdamai asal kita tahu siapa yang seharusnya mengendalikan siapa. Bukan algoritma yang mengatur cara kita berpikir, melainkan kitalah yang seharusnya mengatur bagaimana algoritma bekerja untuk kita.

Menjadi literat di era digital berarti sadar. Sadar bahwa tidak semua yang muncul di layar adalah kebenaran. Sadar bahwa membaca butuh waktu, dan waktu adalah bentuk keberanian baru. Sadar bahwa berpikir mendalam di tengah banjir informasi adalah tindakan paling radikal yang bisa dilakukan manusia masa kini.

Di antara buku dan algoritma, masa depan literasi bukanlah soal siapa yang lebih cepat atau canggih, tetapi siapa yang tetap mampu berpikir jernih ketika dunia ramai berteriak. Di tengah gemuruh tagar, tren, dan notifikasi, mungkin yang paling dibutuhkan bukan koneksi yang lebih cepat, tapi perhatian yang lebih dalam.

Pada akhirnya, literasi sejati adalah kemampuan untuk berhenti sejenak di tengah arus. Untuk membaca bukan hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati. Untuk menulis bukan karena ingin dilihat, tapi karena ingin mengingat. Dan untuk berpikir bukan karena kita harus, tapi karena kita ingin memahami kehidupan ini lebih utuh.

Maka, jika suatu hari nanti buku-buku terasa semakin jarang dibuka dan algoritma semakin pandai mengenali kita, semoga masih ada sebagian dari diri kita yang tetap setia mencari makna. Di sanalah literasi sejati akan bertahan, bukan di layar, bukan di trending topik, melainkan di dalam diri manusia yang mau terus berpikir, merasa, dan membaca dunia dengan kesadaran penuh.

 

 

Editor: Prihandini N

Ahmad Izzul Haq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email