Wartawan. Tinggal di Jakarta.

Karki dan Harapan Baru Nepal Pasca Revolusi

Chris Wibisana

3 min read

Mohon maaf, tetapi semoga ini bukan berita buruk untuk mahasiswa Ilmu Politik di manapun mereka berada. Kekuasaan, yang menurut Miriam Budiardjo (1972) mengejawantah dalam bentuk negara, jangan-jangan tidak lagi mampu memonopoli, tidak mampu memaksa, dan tidak lagi mencakup semua. Nepal buktinya. Alih-alih menjadi Leviathan seperti dalam tradisi Hobbesian, di Nepal, negara adalah kertas bungkus kacang goreng yang bisa disobek dan diremas-remas sebelum dibuang ke tong sampah. Bukan. Bukan karena ulah provokator, konspirasi intelijen, atau elite global, tetapi kesumat orang-orang muak yang merasa ditinggalkan.

Dari reruntuhan puing-puing negara yang diremas-remas itu, orang-orang Nepal yang Cina bukan India tidak itu memilih mantan hakim agung, Sushila Karki, sebagai perdana menteri baru, pada urat keting siapa 30 juta orang kini dapat berpengharapan. Boleh jadi Karki tidak menyangka, dia akan dipilih menjadi batu penjuru oleh generasi yang bahkan belum direncanakan saat dia diterungku karena turut menggulingkan rezim Orde Baru Panchayat pada tahun 1990.

Kekuasaan yang dihibahkan orang-orang muda itu kepadanya adalah sebuah kepercayaan pada integritasnya yang teruji bagai tunggul kayu sonokeling. Dan Karki tidak sempat berencana saat wahyu keprabon itu jatuh ke tangannya. Arus sejarah mengantarkannya ke sana sesudah lewat sewindu sejak dia dimakzulkan politikus Nepal yang terusik ketegasan dan sikapnya yang sebelas-dua belas dengan Dewi Themis.

Semua terjadi secara tiba-tiba, dari sebuah api kemarahan yang tersulut dan meletup tepat pada waktunya. Boleh jadi orang muda Nepal tidak mengenal Chairil Anwar, tetapi petikan sajak “Diponegoro”, “….ini barisan tak bergenderang-berpalu, kepercayaan tanda menyerbu,” menemukan bukti hidup di sana. Tertutuplah sebuah babak sejarah, terungkaplah babak yang baru. Kekuasaan yang dahulu berwatak Dasamuka: korup, bengis, tamak, sewenang-wenang, kini dibaptis untuk lahir kembali.

Baca juga:

Sharma Oli yang selama beberapa tahun terakhir menjadi the last of the mohicans, mengundurkan diri sesudah kantor DPR Nepal dibakar, menteri keuangan dikejar pentungan sampai terkencing-kencing dan tercebur masuk kali, rumah mantan-mantan perdana menteri dijarah, sampai darah keluarga pejabat halal ditumpahkan walau untuk beberapa hari. Anggap saja Tuhan sedang istirahat menyeduh kopi di pantry.

Akibatnya dahsyat. Inilah revolusi pertama yang berhasil dikerjakan Generasi Z dalam waktu kurang dari sepekan, tanpa rencana, tanpa ideologi, dan tidak perlu gerilyawan keluar masuk hutan. Di tangan mereka, aplikasi Discord berubah dari ruang bercakap-cakap menjadi balairung musyawarah nasional yang menerabas semua tatakrama pemilihan umum. Parlemen pindah dari gedung ke dalam layar sentuh. Bukankah hasilnya sama?

Dari akar-akar keresahan, keinginan rakyat berangsur-angsur jelas tercetus dan siap dijalankan, bahkan sebelum provokator sempat mendusin dan kelilipan. Sesudahnya, paling-paling sejarawan masa depan boleh jadi terkekeh mencatat episode beberapa hari lalu: seorang panglima tentara menemui admin grup Discord yang dalam seputaran matahari menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat minus partai.

Di negeri kaki Himalaya yang terlilit korupsi itu, keadilan kian mendesak sebagai kebutuhan selain sandang, pangan, dan papan. Di saat rata-rata orang Nepal berpenghasilan dua juta sebulan, anak-anak pejabat memamerkan kekayaan hasil korupsi dan nepotisme orang tua mereka di media sosial. Mencari pekerjaan lebih sulit dari menemukan jarum di tumpukan jerami. Seperlima orang muda menganggur, sedangkan sepertiga pendapatan negara berasal dari remitansi pekerja migran. Dalam keadaan begitu, aturan pajak baru diterbitkan karena uang negara kurang banyak untuk mencukupi gaya hidup pejabat.

Sejarah berulang seperti lagu Christine Panjaitan, “Sudah kubilang, jangan engkau dekati api yang membara…. jangan, kau terbakar nanti…” Obral janji pejabat tidak lagi menarik, betapapun parlemen Nepal diisi politikus dari Partai Komunis Nepal, Partai Sosialis Bersatu, Partai Rakyat Sosialis, Partai Komunis Maois, dan sebangsanya. Satu lagi pelajaran berharga: masalah ideologi kiri dan kanan ternyata selesai sampai di kotak suara. Setibanya di kursi kekuasaan, ideologi tetap saja tinggal sebagai gincu pemulas bibir, karena manusia masih terbikin dari darah dan daging, bukan setetes wahyu langit ditambah setiup angin surga.

Dalam keadaan balau itulah, Karki menjadi harapan. Dari bagasi para pensiunan, dia dipanggil dan didudukkan di belakang setir pemerintahan. Latar belakangnya guru, tahanan politik, sebelum pada usia 56 tahun menjadi advokat. Karki, sekarang 73 tahun, harus menyuntikkan kepercayaan yang koyak dalam hati 30 juta warga negara. Tetapi, apa yang bisa dia janjikan? Di titik ini, vox populi vox Dei benar-benar terjadi: suara rakyat didaku sebagai suara Tuhan, yang menggetarkan walau terdengar samar-samar di kejauhan.

Baca juga:

Lain lubuk lain ikan, lain ladang lain belalang. Nepal memiliki Karki yang masih dapat menjadi setitik susu di antara sebelanga nila. Perempuan pertama yang disumpah memimpin jalannya pemerintahan karena otoritas moral dan sikap tanpa kompromi. Boleh jadi kita tergelitik membandingkan Karki dan Corazon Aquino. Keduanya muncul dari debu pergolakan dan tuntutan akar rumput di negeri masing-masing. Bedanya, Nepal lebih membara, lengkap dengan episode penjara didobrak dan narapidana mendapatkan mandat baru menjadi algojo rakyat.

Yang serupa, panglima tentara Nepal dan Filipina sama-sama menolak jadi Indrajit. Mereka tidak mau mempertahankan kekuasaan yang sedang digilas dengan bahan bakar keadilan yang terluka. Mereka sadar selama ini hanya diperalat kekuasaan angkara murka, dan kini membukakan pintu agar keadilan bisa berbicara dengan bahasa yang lebih mudah dipahami daripada rangkaian debat kusir di ruang parlemen.

Setiap revolusi yang berhasil, kecuali tanda tanya, juga menghasilkan iri hati. Mengapa mereka bisa dan kita tidak? Apakah kita butuh political outcast yang menjadi sandaran moral seperti Karki?  Benarkah kemajuan teknologi membuat revolusi bisa dijalankan dengan berbekal grup koordinasi WhatsApp dan kemarahan rakyat di titik didih yang cukup, tanpa AK-47 atau guillotine di alun-alun? Sungguhkah tak ada perlawanan ancien regime, katakanlah, mengutuk konspirasi Yahudi atau intel asing, untuk memecah belah rakyat? Atau jangan-jangan benar: ketika rakyat mengamuk, hukum cukup berperan jadi keset untuk kaki-kaki para revolusioner yang menuliskan sendiri sejarah mereka, dengan tinta darah dan pena yang berasap.

Boleh jadi Karki tidak menyangka, sejarah hidup akan mengantarkannya menjadi perdana menteri di usia larut senja. Boleh jadi, dia ingin sekali mengharapkan lima hari terakhir hanyalah mimpi. Boleh jadi, satu setengah miliar orang di Asia Selatan tidak akan menduga sampai begitu jadinya tetangga mereka di utara. Revolusi Generasi Z itu tiba-tiba sudah selesai, bahkan ketika semua orang masih terpesona. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Chris Wibisana
Chris Wibisana Wartawan. Tinggal di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email