Seorang pembelajar yang senang menjelah ide-ide spontan lewat sebuah tulisan.

Ketidakhadiran Negara dalam Kematian Raya

Dhini Amalia

2 min read

Beberapa waktu lalu, pembicaraan publik di media sosial diramaikan dengan kisah seorang balita dari Sukabumi bernama Raya. Tragisnya, kisah balita tersebut viral karena mengalami nasib yang sangat tragis. Raya meninggal dunia setelah berjuang melawan ribuan cacing yang hidup menggerogoti tubuhnya.

Kisah Raya ramai menjadi perbincangan publik di media sosial setelah diunggah oleh akun Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin pada 14 Agustus 2025. Pada unggahan tersebut, menceritakan perjalanan tim relawan Rumah Teduh Sahabat Iin saat menemukan Raya dan membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan.

Kisah Raya bukan sekadar persoalan contoh kasus medis semata saja. Tetapi juga cerminan masalah kemiskinan struktural yang belum terselesaikan sampai sekarang.

Fakta Kondisi Medis dan Sosial dari Kasus Raya

Raya, balita berusia empat tahun itu tinggal di tengah kondisi yang sangat menyedihkan. Ia lahir di tengah kondisi keluarga yang kurang mampu dan kondisi kesehatan orang tuanya yang sangat memprihatinkan juga. Ayahnya mengidap penyakit TBC dan Ibunya adalah seorang ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa).

Raya meninggal dunia dalam kondisi tubuhnya dipenuhi cacing karena infeksi askariasis, yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Biasanya kasus medis tersebut kita kenal dengan fenomena cacingan.

Baca juga:

Infeksi ini terjadi ketika telur cacing tertelan melalui makanan, minuman, atau tangan yang kotor. Telur cacing itu menetas di usus dan larvanya dapat menyebar melalui aliran darah ke organ-organ vital, bahkan otak.

Kondisi sanitasi rumah keluarga Raya juga cukup memprihatinkan. Kamar mandi dan toilet dengan bentuk yang sangat sederhana, dibuat tanpa dinding penghalang di luar rumah.

Tentunya kondisi tersebut sangat jauh sekali dari standar MCK (mandi cuci kakus) yang layak digunakan. Apalagi kondisinya juga berada di luar rumah tanpa dinding penghalang bisa dilihat jelas oleh orang-orang sekitar.

Tak hanya soal MCK. Di bawah rumah panggung Raya terdapat beberapa kendang ayam dengan kotorannya yang bertebaran di mana-mana. Menyedihkannya lagi, karena kondisi kedua orang tuanya sedang sakit, membuat Raya tidak mendapatkan pengawasan sama sekali saat bermain.

Alhasil tanpa pengawasan orang dewasa, Raya pun sering bermain di bawah panggung rumahnya, yang sekaligus menjadi area kandang ayam. Dengan kondisi MCK yang tak layak juga area bermainnya yang dikelilingi dengan kotoran ayam, tak heran jika kondisi infeksi cacing gelang bisa menyerang tubuh Raya.

Kasus Raya: Cerminan dari Rumitnya Administrasi dan Birokrasi di Indonesia

Raya ditemukan oleh tim Relawan Rumah Teduh Sahabat Iin pada Minggu, 13 Juli 2025 dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri. Saat didatangi tim Relawan Rumah Teduh Sahabat Iin, Ibu Raya mengaku membiarkan Raya di rumah saja karena tidak memiliki biaya untuk membawanya ke rumah sakit.

Para relawan tersebut juga berbagi cerita tentang kesulitan yang dialami sangat mengurus biaya pengobatan Raya. Hal itu dikarenakan Raya yang tidak bisa didaftarkan menjadi penerima bantuan BPJS Kesehatan karena keluarganya tidak memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Karena terkendala proses birokrasi dan administrasi, kondisi itu juga membuat Raya sempat kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari berbagai rumah sakit maupun berbagai pihak. Pada 22 Juli 2025, Raya akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di saat tubuhnya terlempar dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain untuk mendapatkan pertolongan.

Dari kasus Raya ini, publik bisa melihat salah satu contoh gambaran betapa rumitnya masalah administrasi dan birokrasi di Indonesia. Karena tidak memiliki administrasi yang lengkap, juga ketiadaan tanda penduduk, membuat Raya dan keluarganya kesulitan untuk mendapatkan hak dan jaminan kesehatan.

Kemiskinan Struktural yang Semakin Kompleks dan Ketidakhadiran Negara dalam Mengatasinya

Negara kerap membanggakan diri lewat jargon “hadir untuk rakyat”. Program kesehatan massal dijalankan, obat cacing dibagikan, layanan gratis digembar-gemborkan. Namun, bagi keluarga seperti Raya, jargon itu terasa jauh.

Persyaratan dokumen administratif, prosedur rumit, hingga jarak layanan membuat negara seolah hadir hanya di atas kertas. Ironisnya, negara baru tampak “hadir” setelah seorang anak meninggal.

Kemiskinan bukan hanya soal dompet kosong, melainkan struktur yang membuat orang miskin terus terjebak dalam kerentanan. Sanitasi yang buruk membuat anak-anak mudah terserang penyakit tropis seperti cacingan.

Baca juga:

Biaya pengobatan yang tak terjangkau menyedot sisa penghasilan keluarga. Akibatnya, orang miskin makin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan, apalagi memenuhi syarat administratif untuk bisa mengakses layanan kesehatan.

Kematian Raya bukanlah sebuah anomali. Ia hanyalah potret dari fenomena berulang di banyak daerah miskin di Indonesia: negara hadir sebagai slogan, tetapi absen dalam keseharian warganya.

Kasus Raya seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Sampai kapan nyawa anak miskin hanya dihitung sebagai angka statistik? Sampai kapan negara hadir hanya lewat spanduk, slogan, dan pidato pejabat, tetapi gagal menjangkau warganya yang paling rentan?

Kita bisa saja bersimpati, membagikan doa dan linangan air mata. Namun tanpa menuntut perubahan struktural, kisah seperti Raya akan terus berulang. Apakah kita rela tragedi ini terus menjadi tontonan massal, atau berani mendesak negara untuk benar-benar hadir bukan sekadar setelah kematian? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Dhini Amalia
Dhini Amalia Seorang pembelajar yang senang menjelah ide-ide spontan lewat sebuah tulisan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email