Pemikiran Sebagai Entitas Kehidupan Manusia
Kita tentu tahu bahwa ada segelintir penulis yang menjadikan aktivitasnya dalam menciptakan karya sebagai profesi. Mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan karya yang dihasilkannya. Ratusan buku diciptakan, disebarluaskan, dan dikonsumsi oleh beragam pembaca serta menghasilkan interpretasi yang berbeda-beda. Di sisi lain, ada sekelompok penulis yang menjadikan aktivitas tulis-menulis yang dilakukannya sekadar pengisi waktu luang, berbagi cerita, atau hanya mendokumentasikan ide-ide yang memenuhi kepalanya agar dapat diakses oleh orang lain. Terlepas dari motifnya, menulis adalah aktivitas paling humanistik dari seorang manusia terhadap peradabannya.
Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan apa? Kiranya itulah pertanyaan filosofis tentang keberadaan manusia. Kita dapat berdiskusi panjang lebar tentang pertanyaan mengapa manusia ada. Tapi, sesuatu yang lebih penting justru apa yang ditinggalkan manusia setelah mereka ada. Miliaran orang pernah hidup di muka bumi, sejak manusia pertama menginjakkan kaki hingga detik ini. Mayoritas mati tanpa sempat dikenal, dikenang, bahkan ditelusuri kehidupannya oleh generasi mendatang. Kebanyakan hanya menjadi aktor di zamannya. Menjadi entitas yang pernah hidup dan mengukir peristiwa di dunia.
Seorang filsuf Prancis, Rene Descartes, pernah berkata, “Cogito Ergo Sum.” Aku berpikir, maka aku ada. Bapak filsafat modern itu menyadarkan kita bahwa satu-satunya esensi dari manusia adalah dengan adanya pemikiran. Descartes menyatakan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang itu sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa dia bisa berpikir secara mandiri. Untuk menjawab pertanyaan, “Manusia mati meninggalkan apa?”—jawabannya adalah meninggalkan pemikiran. Ketika tidak ada pemikiran yang ditinggalkan olehnya, ia tidak akan dikenal, bahkan tidak dianggap pernah ada di muka bumi, karena tidak ada bukti dan fakta yang membuktikan dia pernah ada.
Kita tidak pernah bertemu dengan Aristoteles, atau sekadar duduk mendengarkannya mengajar dengan metode peripatetik yang digunakannya. Meski begitu, kita mengenal betul Aristoteles melalui pemikirannya tentang filsafat, khususnya mengenai logika. Kita juga mengenalnya sebagai bapak logika yang mengenalkan konsep penalaran silogisme. Kita mengenal Socrates sebagai guru Plato. Dari Socrates, kita mengenal pengembangan metode diskusi dan dialog dalam pembelajaran maupun menggali sebuah kebenaran. Dari Plato, kita mengenal konsep Demokrasi melalui karyanya, Republik. Kita yang tidak pernah sekalipun mandi berendam bersama Archimedes, tapi mungkin kita tahu kalau bapak tua itu menemukan Hukum Archimedes yang menyatakan bahwa berat fluida yang dipindahkan sama dengan gaya apung yang bekerja pada suatu benda.
Kita mempelajari konsep Trias Politika yang diperkenalkan oleh John Locke atau Montesquieu. Pada akhirnya, kita pun berkenalan dengan keduanya yang masyhur itu. Kita juga tidak asing dengan nama Ibnu Sina, atau Avicenna yang terkenal karena karyanya, Qanun fi Tibb, atau Canon of Medicine. Belum lagi dengan al-Ghazali, Ibnu Rusyd, al-Khawarizmi, dan al-Kindi. Kita mengenal semua nama itu dari pemikiran dan karya yang mereka tinggalkan. Oleh karena itulah, mereka tetap abadi meski tidak ada lagi di dunia ini. Sumbangsih mereka terhadap peradaban dunia akan selalu dikenang di setiap era dan generasi. Ibnu Sina pernah berkata, “Aku memilih diberi umur pendek tetapi penuh makna dan karya, daripada umur panjang yang hampa.”
Kontribusi Terhadap Peradaban
Ada banyak motif yang melandasi seseorang dalam menciptakan karya tulis. Mulai dari motif ideologis, hingga motif praktis. Motif ideologis biasanya muncul dari keinginan untuk membagikan ide, gagasan, atau pengetahuan-pengetahuan yang mengendap dalam pikiran. Tujuannya semata-mata sebagai sumbangsih terhadap peradaban manusia. Sederhananya, itu dilakukan sebagai bagian dari ucapan terima kasih karena diberi pengetahuan lebih. Idealnya, ketika memiliki suatu kelebihan tentu makin baik jika dibagikan. Alasan praktis bisa berupa keinginan untuk membranding persona diri sebagai penulis, kontributor literasi, mencari profit, hingga keinginan untuk menjaring relasi melalui komunitas pembaca loyal. Keduanya sama-sama baik dan berperan dalam menghidupkan geliat peradaban progresif yang berlandaskan ilmu pengetahuan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, poros kemajuan peradaban manusia berkaitan erat dengan budaya literasi yang terarah. Meski bukan satu-satunya segmen penentu kemajuan, tak dapat dipungkiri bahwa budaya literasi menjadi salah satu kontributor utama terhadap perkembangan sosial, budaya, pemikiran, dan kemajuan teknologi. Dengan diterjemahkannya karya-karya filsafat Yunani Kuno ke bahasa Latin, Eropa memulai era baru dari zaman kegelapan atau Dark Age, menuju era pencerahan atau Renaisance. Setelah mengkaji dan menerjemahkan literatur Arab, bangsa Eropa bersentuhan dengan sistem penomoran Arab yang berdasarkan apa yang kita kenal saat ini. Sebelumnya mereka menggunakan penomoran Romawi. Bangsa mereka pun akhirnya mengenal angka nol dan konsep aljabar dari tokoh besar bernama al-Khawarizmi. Angka nol inilah yang nantinya dijadikan kombinasi kode algoritma untuk menjalankan sistem komputer modern.
Peradaban Islam pun makin berwarna setelah para cendekiawannya membaca dan mengkaji filsafat Yunani Kuno. Akhirnya, muncullah konsep filsafat Islam yang harus diakui kelahirannya dipengaruhi oleh gagasan-gagasan filsafat Yunani. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd bahkan sangat terpengaruh dengan model filosofis Aristoteles. Tentu, konsep-konsep yang ada di dalamnya telah direkonstruksi dengan fondasi-fondasi Islam, sehingga tidak menyimpang dari garis besar haluan agama. Di sisi lain, perkembangan teologi Kristen juga diwarnai oleh konsep-konsep filsafat Yunani. Meski, tentu saja telah direkonstruksi dan disesuaikan. Pada akhirnya, khazanah literasi masa lalu berkontribusi terhadap peradaban manusia di masa yang akan datang. Barangkali, Aristoteles dan Plato tak pernah membayangkan sama sekali bahwa di kemudian hari, pemikiran mereka begitu berpengaruh pada dunia dan dikaji oleh ratusan generasi setelahnya.
Dengan pemikiran yang dituangkan melalui sebuah karya, setiap manusia dapat berkontribusi bagi peradaban. Inilah hal utama yang harus ditanamkan dalam diri setiap orang. Memunculkan kesadaran literer adalah bagian paling humanistik dalam diri seorang manusia. Untuk menciptakan sebuah pemikiran dan gagasan, diperlukan komponen-komponen pendukung. Pemikiran manusia tidak terlahir dari ruang hampa yang tiba-tiba muncul dan menjadi gagasan brilian. Manusia memerlukan pengamatan alam, perenungan, analisis sederhana, kekayaan bahan bacaan, dan tak sungkan menjaring pengetahuan. Penetrasi ilmu pengetahuan diperlukan dalam diri setiap orang agar mereka mampu memberikan kontribusi melalui pemikiran terhadap generasi mendatang.
Sebagai contoh, disamping melakukan serangkaian pengamatan alam dan kehidupan sosial, Plato perlu berguru dan membaca karya-karya Socrates untuk menghasilkan pemikiran baru. Dia perlu menganalisa pemikiran gurunya dan mengkontekstualisasikan dengan kehidupan saat itu. Hal itu masih harus diuji koherensi, apakah postulat-postulat yang dibangun gurunya bertentangan atau tidak. Hingga akhirnya lahirlah gagasan baru, yang tidak menyimpang dari gagasan Socrates, tetapi tidak juga membeo karyanya. Aristoteles perlu mereduksi pemikiran dari dua gurunya, Plato dan Socrates hingga melahirkan pemikiran baru yang belum dikembangkan oleh dua gurunya itu. Meski ada corak keserupaan, tetap ada perbedaan satu sama lain. Diferensiasi yang ada merupakan proses pengembangan ilmu pengetahuan yang nantinya akan terus dikontekstualisasikan oleh generasi mendatang, sehingga menghasilkan pengetahuan yang koheren dan sesuai dengan kondisi yang ada.
Mulailah Menulis
Tulisan dan pemikiran kita mungkin tidak akan berdampak sedahsyat gagasan Aristoteles atau Plato. Meski tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan berdampak luar biasa dan di luar ekspektasi. Terlepas dari itu semua, gagasan yang kita utarakan dan dokumentasikan dalam bentuk karya tulis merupakan kontribusi kita terhadap peradaban manusia. Sekecil apapun bentuknya. Saat sebuah karya tulis lahir dan menemukan pembacanya, artinya di saat yang sama pemikiran kita telah ditransmisikan ke dalam diri orang lain. Kita turut mewarnai khazanah keilmuan pembaca melalui gagasan yang kita tuliskan.
Pembaca dapat menginterpretasi tulisan kita sesuai kapasitas pengetahuan yang dia miliki atau gagasan pembanding yang ada dalam pikirannya. Yang jelas, kita telah turut serta membagikan pengetahuan baru bagi orang lain. Tidak menutup kemungkinan, gagasan kita akan menjadi inspirasi baru bagi orang tersebut untuk berkarya dan menciptakan inovasi-inovasi baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Peluang itu sangat terbuka. Gagasan yang mungkin kita anggap biasa-biasa saja ternyata dipandang lain oleh seorang pembaca sehingga melahirkan pemikiran baru yang berpengaruh. Inilah yang disebut sebagai kontribusi terhadap peradaban manusia.
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, transfer pengetahuan memerlukan serangkaian proses. Hal yang sama juga berlaku ketika seseorang hendak menulis. Untuk menghasilkan sebuah tulisan dengan gagasan yang mudah dicerna, diperlukan serangkaian kemampuan. Latihan dan jam terbang juga turut serta dalam mengakomodir kemampuan menulis. Di sisi lain, keluasan dalam pemilihan diksi dan penyajian kalimat dipengaruhi oleh seberapa banyak bacaan yang telah dikonsumsi olehnya. Penulis yang baik pastilah seorang pembaca yang baik pula. Mustahil menjadi seorang penulis yang sistematis dan inovatif ketika jauh dari kebiasaan membaca.
Terlepas dari semua itu, pada akhirnya yang terpenting adalah memulai. Tidak penting apakah tulisan yang kita susun pertama kali sistematis atau tidak, masuk akal atau tidak, atau minimal antar paragraf nyambung atau tidak. Semua itu bisa dipelajari dan dilatih. Hal yang lebih penting adalah melahirkan kesadaran untuk berbagi pengetahuan. Tidak ada isi kepala yang sama di dunia ini. Jika ada delapan milyar kepala di dunia ini, artinya ada delapan milyar pengetahuan berbeda yang mengendap di sana. Mungkin pengetahuan itu bisa serupa, tapi tidak akan benar-benar sama. Lahirnya pengetahuan baru dimulai dari kumpulan pengetahuan-pengetahuan parsial yang diakomodir, dianalisa, dan diuji kebenarannya sehingga menciptakan gagasan yang koheren.
Manusia diberikan akal oleh Tuhan. Dengan akal inilah manusia dapat menghadapi berbagai dinamika masalah yang menimpanya. Dengan akal ini pula ilmu pengetahuan ditransmisikan melalui karya tulis yang dapat diakses lintas zaman. Menulis adalah pengabdian pada peradaban. Manusia tidak meninggalkan apapun di dunia ini, kecuali karya yang memuat gagasan dan pemikiran.
*****
Editor: Moch Aldy MA