Saya mencoba menarik jarak antara Gedung Kura-Kura di Senayan, Sanggar Bima Suci di Mojogedang, hingga markas Rusamenjana di Ponorogo di Google Maps. Ternyata, jarak tempuh menggunakan sepeda motor secara total adalah 675 kilometer. Rasanya, isi kantong saya akan lekas entek resik untuk ongkos berkendara mengunjungi dua titik tersebut, plus pusat intrik politik nasional yang desain bangunannya khas itu.
Hitung-hitungan itu menempel terus tiap kali saya membayangkan perjalanan duo penguasa Kandang Rusa—Ruly dan Riza—sebelum memberi buah tangan berupa kaset bertajuk Rising Up! (2023), album milik band hardcore punk asal Ponorogo, The OesBro, kepada saya di Tisa Kops. Padahal, semalam sebelumnya mereka baru saja menghadiri acara bedah buku Pelajaran Membaca (2023) di Warung Sastra, Yogyakarta.
Dengan menunggang Mega Pro, mereka melibas jalanan Ponorogo-Jogja-Solo-Karanganyar-Ponorogo dalam tiga malam. Perjalanan tersebut, jika saya yang melakukan, mungkin akan membuat saya terkapar. Namun, apa yang mereka bawa justru catatan vitalnya. Apa itu? Tentu saja, selain kepentingan membicarakan buku, ada pula perpindahan kaset berilustrasi gedung kura-kura dari tangan mereka ke tangan saya.
Saya tak banyak mengulik isi album ini dari mereka. Jawaban berulang yang saya dapat bentuknya gurauan dan rasanya kurang patut saya tulis di sini. Walhasil, sederet pertanyaan berkelindan di kepala saya sewaktu pulang ke Mojogedang. Hal ini cukup berhasil menyelamatkan saya agar tetap terjaga selama perjalanan. Sebab, selama ini rasanya yang saya ketahui perihal Ponorogo adalah reog semata, belum pernah terlintas sekalipun mengenai musik punk di sana.
Sebuah pertaruhan kiranya mendebutkan musik punk ketika khalayak masih menganggap minor pilihan musik The OesBro. Meski begitu, agaknya wacana album Rising Up! menyenangkan untuk dibicarakan. Pastilah tidak mudah bagi band tersebut mendapatkan atau menginisiasi panggung di tempat mereka tumbuh.
“Ingat! Ini hardcore punk, kawan!”
“Iya-iya, punk.”
“Punk, og!” yang diucapkan dengan gaya orang Mojogedang.
“Jadi dibicarakan?”
Kabar dari Jalanan Ponorogo
Aspal di mana pun tempatnya tetap saja keras meskipun itu terpapar terik matahari atau terjatuhi air hujan. Cuaca tak mampu mengubah sifatnya. Keras dan keras dan keras. Tak peduli yang terhampar sebagai jalanan di London atau di Ponorogo. Aspal merekam pelbagai peristiwa besar perubahan: menampung peluh demonstran, penarik becak, hingga penjual cilok keliling.
Itulah mengapa aspal dapat dikatakan sebagai medan rekam. Di sana, klakson kadang berbunyi meski lampu masih merah. Atau, seseorang meludah tanpa melihat kaca spion. Selain itu, aspal juga kerap dijadikan strategi para politisi di tahun politik seperti ini, jalan rusak dibiarkan lalu mereka mendatanginya dan berjanji akan membangunnya kembali “jika” terpilih. Begitulah aspal dengan segala tetek-bengek gambaran minornya.
Bermula sekitar medio 2012-2013, The OesBro berdiri membawa wacana jalanan aspal ke panggung gigs. Wacana itu semakin tegas tergambar kala album Rising Up! dirilis pada 2019 melalui kanal Bandcamp. Lalu, bulan Agustus 2023, mereka me-remake album tersebut dalam bentuk fisik secara mandiri.
Mungkin remake album ini adalah bentuk penegasan bahwa mereka masih mampu bertahan dalam satu dekade terakhir. Hal ini perlu dirayakan sebagai bentuk pengibaran bendera punk di barat daya Jawa Timur. Ini jelas sebuah kabar yang membahagiakan, sebab musik garapan The OesBro saya kira bukanlah sebentuk bunyi yang mudah diterima. Karenanya, tajuk Rising Up! (2023) sama sekali tak terdengar muluk-muluk.
Gedung Kura–Kura Senayan dengan demonstran di depannya melekat sebagai ilustrasi album ini versi fisik. Dua frasa shit on dan public jokes menunjukkan secara gamblang di mana posisi The OesBro. Hal itu diperkuat dengan kehadiran sosok berkaus bertuliskan blinded the fate bernomor 2 di punggungnya yang sedang mengintip dari balik tembok.
Saya kira gambar tersebut memiliki pesan sosial-politik yang sangat jelas ditujukan kepada siapa. Itulah keberpihakan yang mestinya menjelma peringatan bagi pihak yang dituju, untuk pihak yang di tahun politik seperti ini akan menebarkan janji-janji aneh kepada masyarakat. Kondisi demikian bahkan sudah mulai tampak dari kemunculan baliho-baliho di pelbagai kota. Sementara itu, di sudut-sudut desa juga sudah mulai tergantung banner di pohon-pohon, menyatu dengan iklan sedot septic tank atau reparasi alat kelamin.
Saya teringat tulisan almarhum Pak Prie GS yang berjudul Baliho Tokoh dalam buku Waras di Zaman Edan (2013) yang merekam bagaimana hampir semua foto orang-orang di baliho itu seperti menawarkan kebaikan hati yang di dalam kehidupan nyata tak mudah ditemui. Andai Pak Prie masih sugeng, saya ingin bergurau dengannya: sekarang ada swafoto yang diedit sebegitu rupa sehingga kulitnya tampak putih sekali, sampai ketika dicetak bercampur warna dasarnya dan jadi terlihat aneh.
Baca juga:
Kelahiran Rising Up! menggambarkan suara-suara itu semakin keras, menayangkan optimisme yang terbangun dari kubangan yang tak pernah terjamah. Ini sebagaimana dalam beberapa waktu ke belakang pembicaraan mengenai politik sudah mulai merasuk ke pos kamling, angkringan, sawah, pabrik, dan tempat lainnya. Di sana ada yang sudah bosan, berapi-api, bahkan muak ketika menyampaikan atau mendengarnya.
Peringatan-peringatan mesti terus dilancarkan, salah satunya melalui delapan lagu di album ini. Jauh di Ponorogo, The OesBro sadar bahwa apa yang terjadi di Senayan cukup memengaruhi kehidupan mereka. Olahan yang tidak sekadar teriakan semata, tetapi memang lahir dari rahim pinggiran: keberanian, ketangguhan, dan apa adanya.
Masing-masing lagu berdurasi sekitar satu menit. Garapan yang begitu old school seperti corak awal kultur ini terbentuk. Serupa mendengarkan mesin lawas semacam Bad Religion, Black Flag, Sex Pistols, maupun Misfits, tapi dengan kekhasan yang tetap terasa, terutama pada aspek lirik berbahasa Inggris yang menggunakan Javanese accent.
Sayangnya, album ini tak menerakan berkas-berkas lain. Meski begitu, untung bagi saya mendapatkan buah tangan ini. The OesBro menjadi satu-satunya band Ponorogo yang mengisi slot rilisan fisik di rak saya yang sedikit itu.
Editor: Emma Amelia