Novelist, Sociologist, Founder of OM Group

Solidaritas dan Kemarahan yang Menular

Okky Madasari

3 min read

Di tengah terik matahari dan gas air mata, nasi bungkus tiba di barisan demonstran – dikirim bukan dari tetangga sebelah rumah, bukan pula dari dalang demo sebagaimana yang sering dituduhkan – melainkan dari Singapura, Malaysia, Filipina, hingga Thailand. Di tengah panas, lapar, dan lelah, demonstran menemukan tenaga baru dari solidaritas yang datang melintasi batas negara. Dukungan itu bukan hanya dalam bentuk tanda pagar di media sosial, melainkan juga dalam wujud makanan yang dipesan lewat aplikasi ojek online, sampai di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan kota-kota lain – membuat protes akhir Agustus 2025 tak lagi hanya urusan Indonesia, melainkan solidaritas bersama di Asia Tenggara.

Solidaritas terkini masyarakat Asia Tenggara ini pun menemukan namanya: SEAblings – gabungan dari Southeast Asia dan siblings, saudara Asia Tenggara. Dalam waktu singkat, SEAblings memperlihatkan wajah lain ASEAN. Bukan ASEAN yang disimbolkan para pejabat dengan pertemuan-pertemuan resminya, melainkan ASEAN sebagai sebuah komunitas nyata yang penuh kepedulian dan rasa saling memiliki. Solidaritas SEAblings menegaskan satu hal: batas negara tak lagi mampu membatasi keprihatinan dan keberanian. Ketidakadilan di satu negeri kini dirasakan sebagai urusan bersama.

Solidaritas Lintas Batas

Solidaritas lintas batas bukanlah hal baru bagi Indonesia dan bangsa-bangsa Asia. Tujuh puluh tahun lalu, Konferensi Asia-Afrika di Bandung menjadi titik temu bagi negara-negara yang baru merdeka untuk menyuarakan tekad bersama: melawan kolonialisme, dominasi global, dan menegakkan persaudaraan bangsa-bangsa tertindas. Semangat itu kemudian dikenal sebagai Bandung Spirit – sebuah tonggak lahirnya solidaritas negara-negara Global South.

Hari ini, wajah solidaritas lintas batas muncul dengan cara yang berbeda. SEAblings memperlihatkan bentuk solidaritas rakyat yang dimotori Gen Z: cair, spontan, dan bergerak di luar logika diplomasi. Jika Bandung Spirit lahir dari kepemimpinan politik dan pertemuan elit, SEAblings lahir dari aksi sederhana: nasi bungkus yang dipesan lewat aplikasi, tanda pagar yang menyatukan jutaan suara, dan keberanian yang menular dari linimasa ke jalanan.

Bandung Spirit dan SEAblings sama-sama menegaskan satu hal: ketidakadilan di satu tempat adalah urusan bersama. Ketika solidaritas negara kerap terikat meja perundingan yang normatif, solidaritas rakyat justru lahir dari tangan-tangan yang mengulurkan makanan, dari energi perlawanan yang tidak bisa dibatasi oleh protokol maupun garis batas negara.

Sebagaimana ditegaskan Amílcar Cabral, solidaritas sejati bukanlah belas kasihan, melainkan kesadaran bahwa perjuangan orang lain adalah juga perjuangan kita sendiri. Solidaritas rakyat Asia Tenggara hari ini adalah bukti paling nyata bahwa kesadaran itu masih hidup. Bahwa di tengah represi dan ketidakadilan, kita masih bisa merasakan luka orang lain sebagai luka kita sendiri.

Solidaritas ini sekaligus menjadi kritik terhadap ASEAN yang lebih sibuk menjaga stabilitas politik ketimbang memperhatikan penderitaan rakyat. Jika “ASEAN negara” berisi meja perundingan, “ASEAN rakyat” adalah jalanan, warung nasi, dan aplikasi ojek online. Dari ruang-ruang inilah lahir energi baru yang menular ke tempat lain.

Kemarahan yang Menular

Ketika solidaritas terbangun melintasi batas negara, demikian juga dengan derap kemarahan dan perlawanan. Beberapa hari setelah jalan-jalan Indonesia dipenuhi protes, rakyat di Nepal di bawah kepemimpinan Gen Z bangkit. Gelombang kemarahan yang sudah lama terpendam meledak, menuntut mundurnya penguasa. Dan kali ini, penguasa itu benar-benar tumbang.

Bagi rakyat Nepal, demonstrasi 2025 adalah akumulasi dari kekecewaan panjang. Dua dekade lalu, rakyat berhasil menggulingkan monarki absolut Raja Gyanendra. Harapan demokrasi lahir, tetapi segera dikhianati. Politik Nepal terjebak dalam korupsi sistemik, perebutan kekuasaan antar elite, dan ketidakmampuan negara menyediakan kesejahteraan dasar. Lebih dari 30 persen PDB Nepal bergantung pada remitansi buruh migran – tanda betapa dalam negeri gagal menyediakan pekerjaan layak. Sementara anak-anak muda terjebak dalam pengangguran dan pendidikan yang tak menjanjikan mobilitas sosial. Harga kebutuhan pokok naik, layanan publik rapuh, dan elit politik asyik bertikai. Ketika rakyat Nepal turun ke jalan, itu bukan hanya protes pada satu rezim, melainkan pada seluruh sistem yang gagal memenuhi janji demokrasi.

Di Indonesia, kemarahan memiliki akarnya sendiri. Reformasi 1998 membuka jalan demokrasi, tetapi dua puluh tujuh tahun kemudian, rakyat menyaksikan oligarki yang semakin kokoh, partai politik yang tak lagi mewakili suara rakyat, serta DPR yang hidup mewah dengan tunjangan berlapis di tengah rakyat yang terjerat kemiskinan. Rakyat yang pernah menumbangkan Soeharto kini menghadapi bentuk baru ketidakadilan: kebebasan sipil yang terus menyempit, aparat yang makin represif, dan biaya hidup yang makin menekan. Bagi buruh, upah minimum yang stagnan bertolak belakang dengan harga kontrakan dan listrik yang naik. Bagi petani, sawah menyusut oleh proyek infrastruktur. Bagi mahasiswa, kampus semakin tunduk pada logika komersialisasi. Semua ini melahirkan satu simpul bersama: rasa dikhianati.

Seperti diingatkan Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, begitu rakyat terjun langsung dalam perjuangan pembebasan, mereka tidak akan lagi membiarkan siapa pun mengklaim diri sebagai “pembebas”. Dari pengalaman kolektif itu lahirlah kesadaran baru: rakyat sebagai subjek politik yang mandiri, yang tak lagi tunduk pada kuasa lama.

Ketika rakyat Nepal melihat Indonesia berani, mereka menemukan cermin bagi keberanian mereka sendiri. Ketika rakyat Indonesia melihat Nepal berhasil menggulingkan rezim, mereka pun menemukan harapan baru bahwa melawan tidak sia-sia.

Kemarahan dan keberanian yang menular ini seharusnya menjadi refleksi bagi Indonesia. Dua puluh tujuh tahun lalu, Indonesia menjadi salah satu contoh nyata gerakan demokratisasi di Asia. Kini, Indonesia kembali menjadi inspirasi keberanian untuk melawan pemerintah dan elit yang korup. 

Gerakan demonstrasi akhir Agustus 2025 telah melahirkan SEAblings yang membuktikan bahwa solidaritas lintas batas bukan sekadar slogan, melainkan tenaga yang nyata. Di sisi lain, gelombang kemarahan yang menyetrum rakyat Nepal menunjukkan bagaimana energi perlawanan bisa benar-benar menumbangkan penguasa. Indonesia kini berada di antara keduanya. Apakah kita akan menyalakan api solidaritas yang membawa perubahan, atau membiarkan api kemarahan terus berkobar tanpa arah dan menjalar ke mana-mana? 

**

Okky Madasari
Okky Madasari Novelist, Sociologist, Founder of OM Group

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email