Siapa yang Akan Menata Rambutku?

Erna Muti'rofianas

5 min read

Aku suka senyum Mama, meski senyum itu hanya berhenti di bibir. Senyum Mama menawan. Mata Mama lebih menawan lagi. Dulu aku sering melihat pelangi bertengger di sana. Sekarang … entahlah aku bingung menjelaskannya. Seperti ketika kamu ingin makan cilok, tapi abang penjual berkata bahwa cilok sudah habis. Atau seperti ketika kamu sudah belajar keras untuk ujian, tapi hasilnya tidak seperti yang kamu harapkan, sementara temanmu yang suka mengacau, mendapat nilai tertinggi. Juga seperti ketika kucing yang telah kamu rawat bertahun-tahun tiba-tiba mati. Ya, kira-kira seperti itu mata Mama sekarang. Mungkin pelangi bosan tinggal di mata Mama dan ingin mencari rumah baru. 

Kurasa, Mama juga ingin mencari rumah baru. Namun karena ada aku, Mama tidak bisa pergi. Mama tidak pernah mengatakannya dan selalu mengelak, tapi aku tahu. Mama tidak suka rumah ini, aku tahu. Mama tidak suka Papa dan terpaksa tinggal (dulu Mama suka Papa dan tidak terpaksa tinggal). 

“Mama masak apa?” 

Mama, yang sedang mengiris wortel sambil melamun menatap keluar jendela (atau melamun sambil mengiris wortel?) terlonjak kaget dan menjatuhkan pisau. Pisau itu hampir mengiris jari Mama jika aku tidak menyapanya. Ia menoleh dan tersenyum. Senyum menawan yang hanya ada di bibir. “Mama bikin sop, Sayang.” 

“Mau kubantu?”

Mama menggeleng. Ia mendudukkanku di kursi makan. “Belajar apa hari ini?”

Aku membuka tas, mengeluarkan buku gambar dan apel. “Hari ini kami menggambar dan menghitung buah. Aku dapat apel.” Aku meletakkan apel itu di telapak Mama. “Bu Rosa juga mengajari kami berhitung sambil bernyanyi.”

“Apel ini hadiah untuk Mama?”

“Ya.” Aku menangkupkan tangan di pipi Mama. “Terima kasih Mama sudah mengepang rambutku pagi ini. Aku dipuji cantik oleh Bu Rosa.”

Kata Bu Rosa, kita harus sering mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita. Ucapan sederhana bisa sangat bermakna. Aku tidak bisa menata rambut. Karena ada Mama, aku tidak perlu pusing memikirkan rambut berantakan.

“Aku juga punya es krim untuk Mama, tapi es krim itu kuberikan pada Zara.”

Zara adalah teman sekelasku. Mamanya sering terlambat menjemput. Tadi bekalnya tumpah, disenggol oleh Zaki. Biasanya, Zara menunggu Mamanya sambil makan bekal. Aku kasihan melihat dia menunggu bengong di ayunan dengan kotak bekal kosong, jadi kuberikan saja es krim itu padanya. 

Papa kadang-kadang juga terlambat menjemput. Aku tahu, Papa sibuk dengan pekerjaannya. Jika Papa tidak bisa menjemput, biasanya Papa akan menyuruh Tante Laura—asisten Papa yang senyumnya biasa saja. Terkadang Papa menjemputku bersama Tante Laura. Katanya mereka habis rapat.

Mama tidak pernah menjemputku. Aku juga tidak pernah melihat Mama keluar area perumahan. Mama hanya keluar untuk membuang sampah atau menerima paket. Kata Mama, ia alergi debu dan asap kendaraan. Tapi aku pernah mendengar ucapan Papa yang menyuruh Mama untuk selalu di rumah (aku tidak bermaksud menguping, malam itu aku terbangun karena kebelet pipis). 

Aku tahu Mama berbohong. Mama sering berbohong. Kata Bu Rosa, berbohong itu tidak baik. Tapi Mama orang baik. Mungkin tidak apa-apa jika orang baik melakukan perbuatan tidak baik. Jadi, timbangan amalnya akan imbang. 

***

Kalau tidak minum susu, aku susah tidur. Tapi, kalau minum susu, aku akan terbangun tengah malam karena kebelet pipis. Saat persediaan susu habis dan Papa lupa beli, Mama akan mendongeng atau memutar lullaby. Semasa sekolah dan kuliah, Mama aktif di klub paduan suara (aku tahu dari album foto yang sengaja aku cari dan lihat). Tapi aku tidak pernah mendengar Mama menyanyi. Ketika kutanya, Mama bilang sudah berhenti. Mama menikah dengan Papa, melahirkanku, dan berhenti bernyanyi. Banyak hal yang dihentikan Mama setelah menikah. Mama juga berhenti kuliah. Kata Bude Sum—tetangga sebelah rumah—Mama hamil di tahun ketiga, jadi Mama tidak menamatkan kuliah. 

Malam ini, aku terbangun karena kebelet pipis. Sebelum membuka pintu kamar mandi, aku sempat mendengar teriakan Papa, seperti ini:

“Kamu yang memaksaku menikahimu, sekarang kamu menolak melayani?”

Dan dibalas oleh Mama:

“Kamu punya sekretaris seksi yang bisa melayanimu.”

Lalu aku mendengar suara tamparan.

Aku cepat-cepat melakukan kegiatan buang air kecil, lalu kembali ke kamar. Aku tidak mau tepergok mendengar pertengkaran mereka. Mama pernah memergoki Papa bertelepon dengan Tante Laura. Setelah itu Papa mengamuk dan menampar Mama. Papa kalau marah seram sekali. Kadang ia marah sambil melempar barang. Aku tidak pernah melihatnya, sih. Aku hanya mendengar suara barang jatuh dan pecah ketika terbangun tengah malam. Pertengkaran mereka tidak sering, kok, soalnya Papa lebih sering tidak pulang ke rumah. Ia hanya mengantarku pulang dari sekolah, lalu kembali ke kantor. Mungkin Papa punya kamar di kantor dan pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.  

Sebelum masuk kamar, aku mendengar Papa membicarakanku.

“Kita dulu melakukannya mau sama mau, sekarang kamu menyesal?” 

“Aku memintamu menggugurkannya. Kamu yang bersikeras mempertahankannya. Seharusnya kamu bersyukur karena aku masih mau membiayainya.”

“Nya” yang Papa maksud itu aku, kan?

Papa ternyata tidak mengharapkanku. Aku terkejut sekali, sampai susah tidur. Paginya, aku merasa pusing dan tidak bersemangat. Aku ingin izin tidak masuk sekolah, tapi teringat Papa yang sudah bekerja untuk membiayai hidupku. Aku takut Papa marah jika aku tidak pergi sekolah. Seperti kata Papa, aku seharusnya bersyukur. Papa masih mau mengantar-jemput sekolah dan membelikan es krim. 

***

Hari ini Papa menjemputku bersama Tante Laura. 

“Halo, Tante Cantik.” Aku menyapanya ramah. Sejujurnya, aku tidak terlalu menyukai Tante Laura. Ia selalu genit dan menempel papa. Keramahan ini hanya pura-pura. Sebuah topeng untuk mempertahankan kemurahan hati Papa. Papa suka anak yang penurut. Ia akan membelikanku es krim dan mengajakku ke wahana bermain tiap akhir bulan jika aku bisa menyenangkannya. Aku tidak ingin ditampar seperti Mama. Mama sering membantah Papa. Mungkin itu sebabnya Papa menampar Mama.

Aku tidak suka es krim, tapi Mama amat menyukainya. Aku selalu minta Papa es krim untuk kuberikan kepada Mama. Anggap saja itu permintaan maaf Papa kepada Mama, meski mereka berdua tidak saling minta maaf.

Hari ini aku minta dibelikan es krim mint. Biasanya aku minta es krim stroberi karena stroberi adalah rasa favorit Mama. Dari iklan di televisi, es krim mint bisa menyegarkan harimu. Aku pernah makan permen mint. Memang ada dingin-dinginnya. Semoga setelah makan es krim mint, Mama jadi lebih segar dan melupakan pertengkaran dengan Papa. 

Seperti biasa, Mama sedang masak sambil melamun  (atau melamun sambil masak?) ketika aku pulang. Sore ini ia tidak memegang pisau. Ia memisahkan daun bayam dari batangnya menggunakan tangan. Aku suka was-was ketika Mama masak menggunakan pisau. Mama pernah hampir mengiris pergelangan tangan, bukannya daun bawang, gara-gara keasyikan melamun. Beruntung aku sampai rumah tepat waktu, jadi bisa mencegah tangan Mama terluka. 

“Mama masak sayur bayam?”

“Ya, Sayang.”

“Ada jagungnya?”

“Ada, Sayang.”

Aku tidak begitu suka bayam, tapi aku suka jagung. Apalagi jagung rebus dengan susu dan keju. Mama sering membuatkanku jagung-susu-keju untuk teman belajar.

“Aku punya es krim mint untuk Mama.” Aku mengeluarkan es krim yang tadi dibeli bersama Papa dari dalam tas. 

“Terima kasih, Sayang.”

Mama kembali melanjutkan kegiatan memotong daun bayam. Aku menatap Mama dan menimbang. Ada yang ingin kutanyakan, tapi aku ragu.

Seolah membaca kebimbanganku, Mama menoleh. “Ada apa, Sayang?”

Aku memasang senyum sebelum mengajukan pertanyaan. Mama balas tersenyum. Cantik sekali. Membuatku ingin menangkap senyum Mama dan memasukkannya ke dalam stoples kaca, lalu menyimpannya di ujung dunia agar tidak bisa ditemukan Papa. 

“Apa Mama bahagia?”

“Mama bahagia, Sayang.”

“Apa Mama benar-benar bahagia?”

“Ya, Sayang. Mama punya kamu. Tentu saja Mama bahagia.”

Mama bahagia karena punya aku, tapi apakah Mama bahagia karena ada aku?

Aku tidak berani menanyakannya. Mama tidak akan menjawab “tidak”. Mama pasti akan menjawab “ya”. Aku takut tidak dapat menemukan “ya” di matanya. Mama suka berbohong untuk menjaga perasaanku. 

“Kamu duduk dulu, ya. Tunggu Mama selesai masak.”

“Aku boleh main ke rumah sebelah?”

“Boleh, tapi ganti baju dulu, ya.”

Aku berlari ke kamar, meletakkan tas di meja belajar, mengganti seragam merah-putih dengan baju santai, lalu mengetuk pintu rumah Bude Sum. 

Aku tidak tahu banyak tentang masa lalu orang tuaku. Mama tidak mau bercerita ketika aku bertanya dan aku tidak berani bertanya kepada Papa. Bude Sum tahu banyak tentang orang tuaku. Jadi, dia adalah orang yang tepat untuk ditanya-tanya. 

Kata Bude Sum, Mama hamil karena “kecelakaan”. Aku bingung bagaimana “kecelakaan” bisa menyebabkan hamil. Waktu aku terserempet motor dan jatuh, aku berdarah dan lecet-lecet, bukan hamil. Eyang hampir mengusir Mama. Katanya, bikin malu keluarga. Mama memaksa Papa untuk menikahinya. Papa awalnya menolak, tapi akhirnya setuju juga. Waktu itu Papa baru lulus kuliah dan belum dapat kerja. Pakde Ar—kakak ipar Mama—yang mencarikan kerja. 

“Rumit juga, ya,” komentarku setelah Bude Sum selesai bercerita. Bude Sum mengelus rambutku penuh kasih. Ia tidak punya anak perempuan. Ketiga anaknya laki-laki semua.

“Sudah mau magrib, sana pulang! Sayur bayam mamamu pasti sudah matang.”

Aku mengangguk, mencium pipi kiri Bude Sum, lalu berlari masuk rumah. Tidak sabar makan jagung dalam sayur bayam. Namun aku tidak mencium aroma masakan Mama. Biasanya, jika Mama masak, aromanya akan tercium ke seluruh ruang.

Aku menemukan Mama tertidur di lantai dalam genangan darah. Aku menggoyang-goyangkan badan Mama dan memanggilnya, tapi ia tidak merespons. Luka di tangan Mama harus diperban agar darahnya tidak terus mengalir. Aku mengambil handuk dari kamar mandi dan melilitkannya di pergelangan tangan Mama. Darah yang keluar banyak sekali. Aku menepuk-nepuk pipi Mama, tapi ia tetap tidak bangun. Mama seharusnya tidur di kamar, bukan di lantai dapur. Aku berlari keluar untuk memanggil Bude Sum. Aku tidak kuat mengangkat Mama. 

Bude Sum menjerit melihat keadaan Mama. Ia mengulurkan telunjuknya di depan hidung Mama, lalu terkesiap kaget. Ia memelukku dan menangis. “Mamamu sudah pergi.”

Sudah pergi? Cepat sekali. Mama menyuruhku menunggunya selesai masak. Tapi Mama pergi begitu saja tanpa menungguku pulang. Aku tidak sedih, kok, meski Mama pergi tanpa berpamitan. Aku turut bahagia. Sungguh. Mama sudah pergi, berarti Mama sudah menemukan rumah baru (semoga tidak ada Papa di sana). Jika besar nanti, aku akan mengunjungi Mama. 

Sekarang aku pusing. Siapa yang akan menata rambutku? Jika aku lebih manis dan penurut lagi, apakah Papa mau menata rambutku?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Erna Muti'rofianas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email