Sejarah Publik: Partisipasi Aktif Masyarakat dalam Merawat Ingatan

Rahul Diva Laksana Putra

4 min read

Dalam beberapa dekade terakhir, pembelajaran dan penulisan sejarah di Indonesia kerap terjebak dalam ruang sempit: ruang kelas, seminar akademik, atau buku-buku tebal yang sulit diakses masyarakat umum. Sejarah diperlakukan sebagai kumpulan fakta yang harus dihafal, bukan sebagai cermin untuk memahami kehidupan. Akibatnya, banyak orang merasa jauh dari sejarah, bahkan menganggapnya tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Padahal, sejarah adalah denyut kehidupan bersama. Ia hidup dalam tradisi, kesenian, cerita rakyat, hingga ingatan keluarga yang diwariskan lintas generasi. Namun, cara kita memaknai dan membagikan sejarah sering kali terputus dari akar sosialnya. Di sinilah muncul kebutuhan akan pendekatan baru yang lebih terbuka, partisipatif, dan komunikatif sebuah pendekatan yang dikenal dengan istilah sejarah publik (public history).

Sejarah publik menawarkan cara pandang segar: sejarah bukan hanya milik para ahli, melainkan milik semua kalangan. Ia menempatkan masyarakat sebagai bagian aktif dalam proses produksi pengetahuan sejarah dan bukan sekadar sebagai penonton. Melalui sejarah publik, kisah masa lalu dapat dihidupkan kembali lewat berbagai medium: film dokumenter, pameran komunitas, teater rakyat, atau bahkan konten digital di media sosial.

Baca juga:

Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya dan pengalaman sejarah, pendekatan sejarah publik menjadi semakin relevan. Sebuah ihwal yang membuka ruang bagi masyarakat untuk mengenali identitas lokal, menggali kembali memori kolektif, dan menghubungkan masa lalu dengan persoalan kekinian. Dengan begitu, sejarah tidak lagi menjadi beban hafalan, melainkan sumber inspirasi dan refleksi bersama.

Sejarah yang Terlalu Elitis

Penulisan sejarah Indonesia hingga kini masih dilingkupi oleh pola lama yang elitis dan sentralistik. Dalam banyak buku teks maupun narasi resmi negara, sejarah seolah hanya menjadi panggung bagi segelintir “orang besar” para tokoh politik dan militer yang diagungkan sebagai pahlawan utama. Ganda Febri Kurniawan dalam tulisannya “Dominasi Orang-Orang Besar dalam Sejarah Indonesia: Kritik Politik Historiografi dan Politik Ingatan” mengemukakan kritik tajam terhadap fenomena ini. Ia menilai bahwa politik historiografi yang berkembang sejak masa Orde Baru telah menempatkan sejarah sebagai alat legitimasi kekuasaan. Sejarah bukan lagi sarana edukatif yang membebaskan, tetapi menjadi doktrin yang meneguhkan mitos para penguasa.

Menurut Ganda, narasi sejarah yang didominasi oleh “orang-orang besar” telah menyingkirkan kisah tokoh-tokoh kecil dan masyarakat lokal yang sesungguhnya turut membangun bangsa. Fenomena ini membuat sejarah kehilangan keadilan dan keseimbangannya. Penulisan sejarah seharusnya tidak hanya berkutat pada tokoh besar seperti Soekarno atau Soeharto, tetapi juga memberi ruang bagi figur-figur seperti Nitisemito dari Kudus atau Oei Tiong Ham dari Semarang, mereka yang berjuang di luar jalur kekuasaan, melalui ekonomi dan budaya. Dengan demikian, historiografi Indonesia tidak hanya berpusat pada mitos heroisme, melainkan juga merekam denyut sosial yang lebih luas.

Kritik Ganda Febri Kurniawan menjadi titik tolak penting untuk meninjau ulang bagaimana sejarah seharusnya ditulis dan diajarkan. Sejarah tidak boleh menjadi alat propaganda atau simbol kekuasaan, melainkan cermin yang jujur bagi masyarakat untuk memahami dirinya. Di sinilah urgensi sejarah publik yaitu menghadirkan kembali suara-suara yang terpinggirkan, membuka partisipasi masyarakat dalam menafsirkan masa lalu, dan menghidupkan sejarah sebagai ruang dialog bersama. Sejarah publik dapat menjadi jembatan antara pengetahuan akademik dan kesadaran sosial, antara ruang kelas dan kehidupan nyata.

Sejarah Publik: Menghidupkan Kembali Ingatan Kolektif

Jika selama ini sejarah seringkali terjebak dalam ruang elitis yang berjarak dari masyarakat, maka sejarah publik hadir untuk menembus sekat tersebut. Menurut Kian Amboro, sejarah publik merupakan bentuk keterlibatan masyarakat dalam praktik kesejarahan, baik melalui pelibatan langsung dalam kegiatan penelitian, pameran, diskusi, maupun rekonstruksi narasi masa lalu. Amboro menjelaskan bahwa sejarah publik tumbuh sebagai respons terhadap meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya identitas dan memori kolektif di tengah arus globalisasi dan budaya digital yang cenderung menyeragamkan.

Baca juga:

Sejarah publik memiliki sifat yang lebih fleksibel, kontekstual, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Aktivitas kesejarahan yang dilakukan oleh komunitas seperti pameran budaya, jelajah situs sejarah, dokumentasi arsip lokal, hingga produksi film bertema sejarah menjadi cara baru masyarakat untuk memahami masa lalu mereka sendiri. Menariknya,  praktik sejarah publik ini sering kali tidak hanya digerakkan oleh kalangan akademisi, tetapi juga oleh warga biasa, pegiat komunitas, dan generasi muda yang ingin mengenal kembali akar identitasnya.

Melalui sejarah publik, masyarakat tidak lagi menjadi objek pasif dari pelajaran sejarah, melainkan menjadi subjek aktif yang ikut mencipta, menafsirkan, dan merawat ingatan kolektifnya. Amboro menegaskan bahwa pelibatan publik ini merupakan bentuk demokratisasi pengetahuan sejarah sebuah proses “mengembalikan sejarah kepada pemiliknya yang sah,” yaitu masyarakat. Dengan pendekatan ini, sejarah bukan hanya cerita tentang masa lalu, tetapi juga alat refleksi sosial yang menumbuhkan kesadaran sejarah (historical consciousness) dan kemampuan berpikir sejarah (historical thinking).

Dalam konteks Indonesia, kehadiran sejarah publik menjadi jembatan penting antara pendidikan formal dan nonformal. Di satu sisi, sekolah menanamkan nilai-nilai kebangsaan melalui pembelajaran sejarah di kelas. Di sisi lain, sejarah publik memperkuatnya melalui pengalaman langsung di ruang masyarakat. Sinergi keduanya, sebagaimana dikatakan Amboro, dapat membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran sejarah yang tinggi—masyarakat yang tidak hanya tahu tentang masa lalu, tetapi juga bijak menggunakannya untuk masa kini dan masa depan.

Sejarah publik bukan sekadar pendekatan baru dalam historiografi, melainkan sebuah gerakan kultural yang menghidupkan kembali hubungan manusia dengan sejarahnya. Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, sejarah publik mengajak kita untuk berhenti sejenak, menengok masa lalu, dan menemukan kembali makna keberadaan kita sebagai bagian dari perjalanan bangsa.

Saatnya Sejarah Kembali ke Tangan Rakyat

Sejarah pada dasarnya lahir dari pengalaman manusia, dari keseharian rakyat biasa yang membentuk perjalanan bangsa. Namun dalam praktiknya, sejarah sering kali direbut dan dikendalikan oleh segelintir elit politik atau akademisi. Akibatnya, masyarakat hanya menjadi penonton yang pasif terhadap kisah masa lalu mereka sendiri. Di sinilah sejarah publik menawarkan jalan keluar: mengembalikan sejarah kepada rakyat sebagai pemilik sejati ingatan kolektif.

Menurut Kian Amboro sejarah publik bukan sekadar bentuk penyajian ulang masa lalu, tetapi sebuah proses demokratisasi pengetahuan. Melalui sejarah publik, masyarakat tidak hanya mempelajari sejarah, melainkan ikut menciptakan sejarahnya sendiri—baik melalui komunitas, festival budaya, tur sejarah, maupun dokumentasi digital. Dengan cara ini, masyarakat menjadi subjek aktif yang berperan dalam pelestarian identitas dan pengetahuan sejarah bangsa.

Kian Amboro juga menekankan pentingnya sinergi antara sejarah publik dan pendidikan formal. Sekolah dan kampus dapat menanamkan fondasi berpikir sejarah, sementara komunitas dan ruang publik menghidupkannya kembali dalam bentuk yang lebih nyata dan kontekstual. Kolaborasi ini akan memperkuat kesadaran sejarah dan membentuk masyarakat yang kritis serta bijak terhadap masa lalunya.

Sudah saatnya kita berhenti memandang sejarah sebagai sesuatu yang kaku, tertutup, dan hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Sejarah harus kembali ke tangan rakyat menjadi ruang bersama tempat semua orang dapat berpartisipasi, berdialog, dan berefleksi. Di tengah derasnya arus informasi dan budaya instan, sejarah publik adalah jangkar yang meneguhkan kita pada akar, identitas, dan nilai-nilai kemanusiaan yang membentuk bangsa ini.

Pada akhirnya, sejarah publik hadir bukan untuk menyaingi sejarah akademik, melainkan untuk melengkapinya. Di tengah krisis literasi sejarah dan derasnya arus informasi digital, pendekatan sejarah publik menjadi jembatan yang menghubungkan ruang kelas dengan kehidupan nyata. Ia menjadikan sejarah lebih hidup, lebih dekat, dan lebih relevan bagi masyarakat.

Melalui pelibatan aktif masyarakat baik lewat komunitas, media digital, seni pertunjukan, maupun kegiatan lokal. Sejarah publik mengajarkan bahwa memahami masa lalu tidak harus selalu dengan cara yang kaku dan akademis. Justru dalam ruang yang cair dan terbuka, masyarakat dapat menumbuhkan kesadaran sejarah secara alami, berangkat dari hal-hal sederhana di sekitar mereka.

Dengan ini, sejarah publik membuka ruang segar bagi masyarakat awam yang ingin mengetahui sejarah walaupun hanya dasarnya. Ruang yang inklusif ini memungkinkan siapa pun untuk belajar, berdialog, dan menafsirkan masa lalu dengan caranya sendiri. Sejarah tak lagi berdiri di menara gading, tetapi hadir di tengah rakyat dihidupi, diperdebatkan, dan dimaknai bersama. Sejarah publik, pada akhirnya, adalah bentuk demokratisasi ingatan: mengembalikan sejarah kepada pemilik sahnya, yaitu masyarakat. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Rahul Diva Laksana Putra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email