Data dari Research Integrity Risk Index (RI2) menunjukkan bahwa ada 13 universitas yang dinyatakan memiliki integritas penelitian yang jauh dari kata layak. RI2 menjadikan tiga golongan untuk 13 universitas ini, yakni red flag untuk universitas yang berpotensi melakukan pelanggaran sistemik, high risk untuk universitas yang terdapat penyimpangan serius dari standar global, dan watch list untuk universitas yang memiliki resiko sedang dan perlu perhatian ekstra.
Universitas yang masuk dalam golongan red flag adalah Bina Nusantara (BINUS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Hasanuddin (UNHAS), dan Universitas Sebelas Maret (UNS). Pada kategori high risk terdapat tiga universitas, yakni Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Brawijaya (UB), dan Universitas Padjajaran (UNPAD). Sedangkan pada kategori watch list terdapat Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam daftar tersebut terdapat banyak universitas peringkat 10 teratas. Ini tentu bukan masalah sepele dalam dunia akademisi.
Terjadinya pelanggaran akademik berupa riset artikel jurnal yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas sudah terjadi sejak lama. Kita bisa melihat bagaimana banyaknya ademisi, seperti para guru besar terjerat skandal pelanggaran akademik dengan mengirimkan jurnal yang mereka tulis ke jurnal predator.
Bahkan pada 2024, Universitas Lambung Mangkurat sempat mengalami penurunan akreditasi karena pelanggaran akademik yang dilakukan oleh guru besar. Fenomena ini menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa dunia akademisi, khususnya di Indonesia banyak mengalami pelanggaran akademik, dan apa saja faktor yang memengaruhi mereka untuk melakukan tindakan yang sangat mencoreng dunia pendidikan di Indonesia?
Perebutan Jabatan, Peringkat, dan Insentif
Pelanggaran akademik seperti ini didorong oleh motif untuk meraih jabatan tertentu, sebab penulisan artikel jurnal bereputasi internasional seperti Scopus membuka peluang bagi para akademisi untuk naik jabatan, seperti menjadi guru besar atau profesor.
Selain untuk mengejar gelar tertinggi dalam pendidikan, penulisan artikel jurnal menjadi salah satu indikator penilaian universitas terbaik, seperti QS World University Rankings. Salah satu indikator yang digunakan oleh QS World University Rankings adalah riset, dan salah satu caranya adalah dengan mempublikasikan karya ilmiah, baik berupa artikel maupun buku. Hal tersebut menyebabkan banyak akademisi mementingkan kuantitas daripada kualitas untuk penilaian kampus.
Kemudian masalah lain muncul ketika artikel jurnal dijadikan sebagai dagangan untuk mencairkan insentif tunjangan profesi dosen. Gaji yang rendah dibandingkan beberapa negara, seperti Malaysia maupun Singapura, serta beban tugas yang sangat berat membuat para akademisi berlomba-lomba untuk menerbitkan artikel jurnal tanpa melihat kualitas dari artikel tersebut. Parahnya, banyak artikel di Indonesia masuk ke jurnal predator yang membuat kualitas riset Indonesia semakin menurun dan integritas dunia pendidikan Indonesia dipertanyakan.
Pembuatan artikel jurnal juga tak luput dari hasil eksploitasi dosen terhadap mahasiswanya. Oknum dosen sering mengganti tugas akhir pada mata kuliah dengan publikasi artikel ilmiah, di mana banyak mahasiswa belum paham bagaimana pembuatan artikel ilmiah yang baik dan benar.
Ditambah banyak oknum dosen memerintahkan untuk menaruh namanya sebagai penulis pertama, tetapi kontribusinya terhadap penulisan artikel ilmiah tidak ada sama sekali. Seolah mahasiswa dijadikan sapi perah demi kepentingan dosen sendiri, yakni tunjangan profesi, dan kenaikan jabatan akademik. Hal ini jelas bentuk eksploitasi mahasiswa, karena oknum dosen yang mempunyai kuasa atas mahasiswa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Perketat Aturan Riset Nasional
Fenomena tersebut membuat wajah pendidikan Indonesia tercoreng. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap akademisi pun menurun. Maka tidak mengherankan apabila nantinya masyarakat tidak akan percaya kepada akademisi.
Pemerintah yang mempunyai kewenangan tak seharusnya tutup mata akan masalah semacam ini. Pendidikan negara kita masih jauh dari kata layak dan bagus dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Pemerintah seharusnya belajar dari mereka bagaimana menciptakan sebuah riset dengan mementingkan kualitas dibandingkan kuantitas. Memang, dalam runtutan tiga tahun, tepatnya pada 2016–2019 pasca pengumuman SINTA, publikasi artikel ilmiah melonjak 80 ribu. Namun, hal ini seolah menciptakan sebuah masalah besar, yakni mengejar kuantitas daripada kualitas.
Mengutip The Conversation, Gigih Saputra menyatakan bahwa karya ilmiah seharusnya dites secara langsung dalam lingkup masyarakat untuk mengetahui efek sosial yang dihasilkan dari riset yang dikembangkan, sehingga kualitas riset dapat dilihat secara langsung. Banyak negara eropa melakukan sistem seperti ini, bahkan Universitas Zurich di Swiss mengundurkan diri dari pemeringkatan kampus karena ingin menciptakan lingkungan yang mementingkan kualitas riset dibandingkan kuantitas.
Yang tidak kalah penting adalah memberikan sanksi kepada para akademisi nakal yang melakukan kecurangan dengan mengeksploitasi mahasiswanya untuk mengerjakan karya ilmiahnya. Pemerintah harus bergerak dan melakukan penyelidikan secara ketat supaya hal semacam ini tidak terjadi kepada mahasiswa dan dengan demikian kualitas riset Indonesia tetap pada kiprahnya, yani mementingkan kualitas.
Sebagai mahasiswa, saya berharap supaya para akademisi untuk memulai mengubah pola pikir mereka mengenai jabatan, seperti berpikir bahwa jabatan guru besar bukan untuk menunjukkan seberapa pintar atau gagah seseorang, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat yang masih terjebak dalam kebodohan.
Editor: Prihandini N

 
                                 
					 
                     
                    