sunyaruri
sirine terdengar menembus perbatasan kota
dan sebelum tiba, kereta membujuk lama
dari mereka yang termakan waktu di jalan
lalu-lalang kosmopolitan seperti tata bahasa
yang tunduk pada kesepakatan kuasa
ada yang hilang dan tertelan tentang kebermaknaan
kereta mau tiba dan semakin pelan
duduk di rentetan panjang
sepertinya wajah-wajah keletihan
tampak memanggul isi kepala menggunung
: kesepian di tepi dinding cerita seharian
mereka berupaya mengusir luka-luka
menutup telinga membatasi suara
tapi masih berdebat dengan dirinya
yang tak pernah selesai
ingatan detik-detik melompat lalu
menghadang yang di depan
tenggoklah kanan kirimu yang tertuju
di layar-layar dunia kecil
yang menyedot perhatianmu
perhentian demi perhentian, hilir masuk
orang-orang itu seperti batu-batu yang terlempar
di depan matamu, dan nafas-nafas bertumbuk
kau terus meneguhkan dirimu
menyelami keluasan di dadamu
yang ramai di matamu
dan sekaligus sepi tentang cerita, nada, dan kita
(Karanganyar-Solo-Jogja, 2025)
–
sekian waktu yang tertinggal dan seorang yang ingin tahu
sebuah sudut dan seorang yang menunggu jengah di peron kereta
di jalur lain telah lewat sirine yang berulang mengupas kemarau
lebih cepat dari yang ia bayangkan sebelum ia mengakui diri
pilihannya tidak terpaku dan tak ingin merusak apa yang sudah ditakdirkan
sebelum menyayat langit melalui ayat hujan
ia membaca ayat-ayat itu di tengah derap yang dinantikan
jalannya membuat ia bergerak dan berjalan berharap itu kemungkinan
melalui stasiun ia menaruh bekas lukanya untuk dilanda derita
tetap saja masih terdiam, disembuhkan dan menolak untuk menghindar
ini adalah kota malaikat yang bisa menemani kenikmatan penderitaan
dari jeritan-jeritan sekian waktu yang membuat jarak
ketertinggalan menemui punggung kehidupan
dalam setiap wajah yang dibaca berulang
terkantuk nasib, laku sembunyi untuk bisa bertemu dan mengulang hari
barangkali di balik hujan yang tersimpan adalah pertemuan ingatan
menjemput ia pulang untuk layak dicintai
semua sepi tadi berangkat menanti di stasiun kota
dan tertinggal bersama menahkodai muara
merindui doa yang selama ini ditaklukan
(Surakarta, 2025)
–
seberapa pantas untuk diulang
seutas memori menemui mendung, memandang diri meledak abu-abu
tubuh dari bagian lain dalam jeda waktu, mengasingkan perasaan
dari yang pernah menjadi bagianmu, dan kota yang tak lagi utuh
menggigil dari kelebatan-kelebatan ingatan
(Surakarta, 2025)
–
ruang kemungkinan
pagi yang mau kulewati saling berhimpit ayat-ayat
suara itu menusuk daging-dagingku, bahkan lebih dekat dari nadi sekalipun
di tebing lidah memberi salam untuk sekadar membuka mata, menegakkan untuk berdiri
melanjutkan puisi-puisi yang membeku dari malam yang kuarungi
kulalui sejenak hadir di pertemuanmu
dengan nafas-nafas sebentar lagi diam—dalam kalimat yang retak
akar-akar subuh mulai meninggalkan bumi dan menapak langit
meneteskan bulir dan mengecup kegelisahan
kecemasan hidup dalam balutan siulan burung yang menggigil
dan pemuka jalan mengupas waktu di tepinya kota
dalam debu yang ditafsir mata angin timur
menjemput cahaya yang merekah
jemputlah kota itu dengan cintanya
dan lampaui semerbaknya
meski dadamu kian patah
(Surakarta, 2025)
–
pengantin di tipisnya airmata
kalender tua mulai menaik di terik musim
cerita hujan bermula dan mereka menyusun retakan huruf
menenun jemari di kolong-kolong saat siang mengintai
satu nafasnya hampir putus dibungkus tipisnya air mata
meluruh jiwanya, terluka tapi tak bisa mencegahnya
pengantin membaca pelan deretan cakrawala yang tak selesai
simfoni bunga dan kebaya melutut di penggalan huruf terakhir
menghitung ujung mesra agar dunia tak cepat usai
para pelipur menekuni rindu pada kalimat yang tak lengkap
(Surakarta, 2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA