NASIB SEJARAH
lidah sejarah sungguh rentan dipelintir zaman
kebenarannya menjadi terbatas yang diserukan
buku pelajaran sekolah-sekolah
salinan pernyataan pemenang di atas gumam kekalahan
berilah waktu dan perhatian, sejarah ialah kapan.
kapan yang tiba lebih awal ke masa depan
menyusun apa, siapa, di mana dan bagaimana
menjadi pertanyaan yang tak cukup dijawab dengan hafalan
tetapi dengan kebenaran yang saling membenarkan.
namun kau lebih suka membaca komentar postingan viral
dibandingkan membaca serat atau menerjemahkan kakawin
saat liburan, wahana-wahana lebih menggoda
dibandingkan lantunan ayat di dinding candi terpahat.
(Senori, 2025)
–
MEMANCING
di atas jembatan lama kediri,
kau mencari ruang
untuk suntuk yang tak mudah dibuang.
mencari alamat sial rengkik besar,
di mata pancing yang kau tebar.
kali brantas yang panjang
masih memberi harapan meja makan
arus yang gusar berkabar
bencana sembunyi pada cemar yang dihanyutkan tanpa bakar
palung yang dalam menyimpan kemasyhuran—
menempel di kulit waktu yang terkelupas dan karam.
ikan-ikan berenang jauh ke angan
kehampaan memberat di tangan, kau bawa pulang sebagai tangkapan
di antara ramai lalu lintas yang memberi arti pembangunan
layaknya kali brantas dan sejarah bertukar napas.
(2025)
–
PLEIDOI KEN AROK
kekuasaan ialah jerami kering yang menggugah gairah api
demikian kertajaya, terik hati berahi singgasana kediri
di matanya, tak ada kecantikan melebihi kematian kameswara
tiada kematian datang darinya, hanya sepasang kesedihan melanglang akibat pemberontakan
terpisah—dipertemukan, di ladang menyaru brahma-ken endog tuntaskan dendam kerinduan
begitulah pararaton berkisah, kiasan jangan kau telan mentah-mentah
aku tak lain panjalu-jenggala menyatu dalam cinta kameswara-sasi kirana
bayi yang dibesarkan meja judi; beringin istana yang diasuh rimba
aku ialah tangan dewa yang memupus angkara, digerakkan kata bijak para brahmana
jangan tergesa-gesa menyebutku bajingan, abdi yang menusuk tuan dari belakang
menaksir ken dedes sepadan harta rampasan perang
tetapi cintaku menghidupkannya dari kematian-kematian
dan akuwu itu bernama tunggul ametung,
bandit yang diberi kuasa memeras kawula,
di bawah kaki kertajaya berlindung
dengarlah wahai sejarah, ken arok tak membegal kedudukan
hanya memerdekakan tumapel dari cengkeraman kediri yang haus upeti
sebutlah singhasari dan aku sri ranggah rajasa bhatara sang amurwabhumi
jangan tanya tentang keris terkutuk yang dilebih-lebihkan cerita
tiada guna memelihara sesuatu yang tiada dan
biarkan kebodohan hanya milik kebo ijo semata
(Senori, 2025)
–
SISA-SISA WILWATIKTA
di museum trowulan,
prasasti, arca, terakota, arsitektur dan
semua yang tersisa ialah keping-keping
kejayaan nusantara.
di sini, ingatan dipaksa memutar serial tutur tinular:
wijaya di singgasana, dihadap nambi, sora, anabrang dan para pembesar.
kemudian ranggalawe sowan dan geger paseban,
di belakangnya menyusul estafet pemberontakan.
di dinding yang tak miring, pigura-pigura mengantar pada
subur persawahan, sibuk pelabuhan dan hening tempat pemujaan
yang tak terjamah turis dan blits kamera.
kata-kata menjahit segi dan sendi kehidupan majapahit
melengkapi silsilah raja-raja dan rentang kuasanya
di ruang belajar siswa, seorang perempuan yang entah siapa
tangkas menjawab tanya, bagai kerasukan gayatri
tekun mematri kertanegara ke dalam diri tribhuwana:
benih tahun-tahun keemasan wilwatikta, saat hayam wuruk bertakhta.
di halaman belakang, bayang pemberontakan dharmaputra
berkelebat, meregang di ujung pedang.
disusul bende dalam upacara pelantikan mada
serta derap pasukan siaga mengeksekusi
rencana ekspedisi, selepas amukti palapa.
di luas kawasan ini,
aku tak ingin mengusut jejak mahapati, penghasut itu tak patut di hati.
aku mencari tempat di mana raja agung linglung disiksa asmara, tapi
tak ada tempat menyerupai bubat sebagaimana kidung sundayana
dibentangkan belanda untuk siasat jahat, adu domba.
di museum trowulan, semua seakan bernyawa.
membenarkan keagungan wilwatikta yang digelar
prapanca di lembar lontar.
kecuali aku—dan para wisatawan yang meningkah ma huan,
penutur asing yang mencatat, hanya yang ingin dicatat.
(2025)
–
PANTAI BOOM TUBAN
setelah abad-abad lewat dan perdagangan bergeser ke darat
pantai bukan lagi bandar, alamat kapal melempar jangkar dan menggulung layar.
pantai sekadar tempat melarung penat, wisatawan mengisi pandang dengan karang dan gelombang.
sejak arus berbalik dan kejayaan menepi di halaman buku pelajaran,
tongkang batu bara bersandar di kejauhan
yang berlabuh hanya perahu nelayan yang asing aliran bengawan dan
tak pernah tahu upeti negeri bawahan.
sedangkan, kapal-kapal yang mengusung misi penaklukan
serta armada kolonial yang diberati komoditi dagang
melintas sesekali dalam ingatan pantai.
kapal dinasti yuan dengan dua puluh ribu pasukan
yang hendak menghukum raja jawa yang menolak takluk,
terdampar dalam babad—jauh setelah kata pengantar.
setelah abad-abad lewat, tuban menyebutnya boom
pantai dengan wahana yang murah senyum
juga teduh pepohonan yang memanjang seperti usia kekalahan.
di pasir menghampar, setiap jejak sirna tersapu ombak
senasib istana yang dibangun tangan-tangan kecil dalam permainan
(2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA