Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025 seolah “diuji” dengan dua peristiwa yang cukup menggemparkan: robohnya Mushalla Pondok Pesantren Al-Khoziny Sidoarjo dan viralnya potongan video Trans7 yang berujung pada gelombang kecaman dari kalangan santri.
Kedua peristiwa ini, meski tampak tidak berhubungan langsung, sesungguhnya mencerminkan satu persoalan laten: ketegangan antara unsur modern dan unsur tradisional.
Di satu sisi, pesantren dipaksa berhadapan dengan unsur-unsur profesionalisme, efisiensi dan transparansi modern. Di sisi yang lain, pesantren pada dasarnya memikul beban simbolik sebagai benteng tradisi pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Setidaknya ada dua kubu yang terlibat dalam merespons kasus viralnya potongan video Trans7 beberapa waktu lalu. Kubu pertama adalah kelompok yang menuduh bahwa pesantren adalah institusi yang mewarisi sisa-sisa struktur feodalisme. Sebaliknya, kelompok kedua menganggap bahwa Trans7 dalam hal ini telah secara sengaja merendahkan “marwah” kiai dan pesantren.
Baca juga:
Kedua kubu ini sama-sama terjebak dalam dikotomi sempit, antara mana yang dianggap “feodal” dan mana yang dianggap “setara.” Isu feodalisme di tubuh pesantren itu, merupakan riak kecil dari apa yang saya sebut sebagai masalah utama dari kegagalan kita dalam memahami cara kerja tradisi di tengah arus modernitas.
Baik mereka yang menuduh pesantren feodal maupun yang membela atas nama “marwah”, dasarnya sama-sama mengalami “krisis epistemologis” untuk melihat dengan jernih bahwa baik tradisi dan modernitas bukanlah sistem tertutup, keduanya perlu dipahami sebagai arena dialog antara nilai, otoritas, dan perubahan.
Wacana dikotomis yang (sekedar) memperhadapkan kategori “tradisional “dan “modern”, “konservatif” dan “progresif” hingga “liberal” dan “feodal” adalah diskursus usang dalam khazanah formal pemikiran tentang demokrasi, masyarakat sipil hingga beragam kajian Islam di negara-negara pasca-kolonial.
Dalam konteks Indonesia misalnya, perdebatan sengit mengenai kategorisasi semacam itu adalah wacana yang telah lama dibicarakan kelompok-kelompok, lingkar studi dan tokoh-tokoh pemikir gelombang awal. Sebutlah Gus Dur, Buya Syafi’i Ma’arif, hingga Nurcholis Madjid, sederet intelektual Muslim Indonesia yang jauh-jauh hari telah dengan sengit mendiskusikan isu-isu itu.
Tulisan ini berupaya mengetengahkan wacana tradisional dan modern itu dalam spektrum yang sepenuhnya berbeda dari cara pandang biner belaka. Benturan wacana dikotomis itu sebetulnya telah jauh-jauh hari melahirkan kategori ketiga: Post-Tradisionalisme Islam. Suatu tipologi yang lahir dari kelindan kompleks dalam upaya masyarakat sipil Islam mempertautkan unsur-unsur tradisional dan modern dalam satu tarikan nafas yang negosiatif, bukan saling menegasikan.
Post-Tradisionalisme santri dalam hal ini, merupakan semacam tipologi santri yang berupaya bergerak menuju horizon modern tanpa meninggalkan kultur tradisionalnya.
Tradisionalisme Radikal
Antropolog kenamaan, Mitsou Nakamura (1979) menyebut Nahdlatul Ulama (NU) sebagai “The Radical Traditionalism”. NU kata dia, pernah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menjadikan tradisi sebagai energi politik. NU pada masa itu, tampil sebagai kekuatan sipil yang berani menentang otoritarianisme rezim Orde Baru dengan langgam tradisionalismenya.
NU adalah gerakan sosial-keagamaan yang “mewakili” Muslim pedesaan yang secara kultural dianggap “tradisional,” namun secara politik justru paling berani menentang kekuasaan. NU pernah ada pada suatu masa yang bergerak melampaui horizon tradisionalismenya. NU pada masa-masa tersebut mampu memadukan konservatisme kultural dengan radikalisme etis.
Pada level semacam inilah kategori Post-Tradisionalisme santri itu beresonansi dengan posisi santri yang tidak (sekadar) tampil sebagai aktor yang berupaya melakukan “purifikasi atas tradisi,” melainkan melakukan semacam “radikalisasi atas tradisi” sebagaimana dilakukan NU di masa lalu. Dengan kata lain, kita perlu membayangkan kembali santri dalam spektrum sipil.
Istilah “Post-Tradisionalisme santri” saya gunakan untuk menandai (dan menawarkan) sebuah pergeseran paradigma dari watak “Tradisionalisme santri” menjadi “Post-Tradisionalisme santri.” Saya sendiri membayangkan perubahan itu sebagai suatu konsekuensi logis dari mendesaknya usaha dalam menggeser orientasi santri dari sekedar “The Guardian of tradition” (Penjaga tradisi) menjadi santri yang terlibat dalam pembentukan etika sipil (civilian-ethic).
Upaya “menggeser” arah gerakan santri yang sebelumnya kerap diasosiasikan sebagai “jubir” tradisionalisme Islam perlu dipahami sebagai sebuah “keniscayaan”. Santri perlu direvitalisasi ke dalam kategori sosiologis-partikular dari pergumulan Islam, masyarakat sipil dan demokratisasi Indonesia.
Etika Sipil
Post-Tradisionalisme santri tidak cukup dipahami sekedar sebagai klasifikasi dari kalangan tradisional-terdidik yang “ter-urbankan” dalam pengertian mereka yang mendapatkan sentuhan modernitas an-sich. Post-Tradisionalisme santri perlu dipahami sebagai sekelompok tradisional-terdidik yang “berhasil” dan (sepatutnya) “mampu” mempertautkan, mentransmisikan dan mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan, khazanah-khazanah, tradisi-tradisi dalam horizon tradisi Islam Indonesia dengan kebutuhan dan masalah-masalah modern, atau setidak-tidaknya dengan perangkat-perangkat modern.
Post-Tradisionalisme santri adalah aktor utama dari kategori civil-Islam sebagaimana disebut Robert W. Hefner (2000). Kalangan sipil yang semestinya mampu mengartikulasikan ide-ide modernitas seperti demokrasi, pluralisme dan hak asasi manusia dengan semangat tradisionalisme dan khazanah partikular keislaman dan keindonesiaan itu sendiri.
Namun tantangannya adalah akankah santri dengan semangat civil-Islam sebagaimana bayangan Hefner itu masih dapat relevan dengan kenyataan makin menguatnya kecenderungan “politik sektarian” di tubuh kalangan ini?—juga di tubuh “rumah besar” mereka?
Seberapa lama kita dapat membayangkan Post-Tradisionalisme santri itu bergantung pada seberapa mampu kita dalam memahami dengan jernih kelindan wacana modernitas dan tradisionalisme di tubuh “pesantren” dan organisasi tradisional semacam NU dinegosiasikan.
Proyek Post-Tradisionalisme santri hanya dapat bertahan sejauh ia tetap kritis tidak saja terhadap kekuasaan, akan tetapi terhadap dirinya sendiri. Kecenderungan “rumah besar” mereka yang mulai merapat di ketiak kekuasaan, perlu dibaca dengan waspada oleh kalangan santri. Mungkinkah kedekatan NU dengan kekuasaan itu dapat mereduksi fungsi sipil santri, atau sebaliknya?
Baca juga:
Membayangkan Post-Tradisionalisme santri bukan berarti sekadar membayangkan keniscayaan dari pluralitas wacana di dalam tubuh nahdiyin saja. Lebih jauh lagi, itu juga tentang keberanian mengembalikan tradisi santri pada fungsi sipilnya.
Tradisi dalam spektrum Post-Tradisionalisme harus dijadikan basis dari public-discource yang sudah seharusnya bergerak dari sekedar horizon identitas-sektarian santri menuju diskursus yang lebih subtil; wacana kewargaan, keadilan dan demokrasi.
Saya sendiri setuju dengan istilah Gus Dur, bahwa pesantren merupakan sub-kultur. Tradisi dalam lingkungan pesantren hanya dapat dipahami oleh orang dalam (within). Konstruksi tradisi dalam pesantren hanya dapat “dirasakan” dan dipahami oleh perspektif emic. Namun pertanyaannya, sampai kapan status sub-kultur pesantren itu mau berdialog dengan ethic perspective, yaitu kemauan pesantren untuk berdialog dengan moralitas universal?
Idealnya, hanya dengan mengetengahkan fungsi etika sipil santri dalam spektrum sipil, santri dan pesantren dapat “berdialog” dengan zaman tanpa saling membatalkan. (*)
Editor: Kukuh Basuki

 
                                 
					 
                     
                    