Novelist, Sociologist, Founder of OM Group

Mempahlawankan Marsinah

Okky Madasari

2 min read

Marsinah tidak butuh gelar Pahlawan Nasional. Yang dibutuhkan Marsinah adalah keadilan.

Patung sosok buruh perempuan mengenakan rok selutut dan mengepalkan tangan kirinya berdiri tegak di Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk. Buruh itu adalah Marsinah, patung itu diberi nama Monumen Pahlawan Buruh Marsinah. Marsinah yang dibunuh pada Mei 1993 dengan tubuh penuh luka penyiksaan dan jejak pemerkosaan setelah menuntut upah layak sesuai aturan – abadi dalam wujud monumen di kampung kelahirannya dan monumen dalam ingatan kolektif bangsa ini. 

Selama lebih tiga dekade, Marsinah menjelma menjadi simbol keberanian orang kecil untuk menentang kekuasaan besar. Marsinah juga menjadi simbol atas keadilan yang gagal ditegakkan, hukum dan aparat yang tak mampu menjalankan fungsinya untuk mengusut kasus pembunuhan, menghukum pelaku dan dalang di balik kematian Marsinah. Marsinah hidup dalam karya sastra, pementasan drama, lukisan, poster, meme-meme internet, dan terutama imajinasi warga negara. Lalu kini, negara akhirnya datang, bukan untuk menuntaskan kasusnya, tapi untuk memberinya gelar “Pahlawan Nasional”. 

Mengangkat Marsinah sebagai Pahlawan Nasional tanpa membuka kembali kasusnya adalah bentuk hero-washing – upaya memutihkan sejarah dengan simbol moral. Ia memberi kesan bahwa negara telah berdamai dengan masa lalunya, padahal yang terjadi hanyalah upaya menenangkan hati publik tanpa berani menegakkan kebenaran. Gelar Pahlawan Nasional untuk Marsinah bukan untuk merawat ingatan, tetapi menjinakkan ingatan.

Lebih dari itu, keputusan ini memperlihatkan kooptasi terhadap simbol perlawanan buruh. Marsinah selama ini adalah ikon perjuangan kelas pekerja melawan penindasan, simbol yang lahir dari akar gerakan rakyat, bukan dari negara. Dengan menjadikannya pahlawan versi negara, simbol itu diambil alih dan dinetralkan. Dari sosok yang menggugat ketidakadilan, Marsinah dijadikan sosok yang bisa dipeluk oleh kekuasaan tanpa menimbulkan rasa bersalah.

Kooptasi ini bukan hanya mematikan daya kritis simbol perlawanan, tetapi juga menghapus konteks politik yang telah merenggut nyawa Marsinah. Marsinah dibunuh di masa rezim yang represif terhadap buruh, mahasiswa, dan aktivis. Rezim yang mengatur hingga ke dalam pabrik, membatasi hak berserikat, dan menindas setiap suara yang menuntut keadilan. Rezim itu adalah rezim Soeharto – orang yang kini justru juga akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional bersama dengan Marsinah.

Inilah ironi yang paling menohok dari seluruh proses ini. Negara yang sama hendak mempahlawankan dua sosok yang berdiri bertentangan dalam satu periode sejarah: satu korban kekuasaan, satu simbol kekuasaan yang menindas. Satu mati disiksa karena melawan, satu hidup dan berkuasa selama tiga dasawarsa dengan tangan besi. Menyandingkan keduanya di tempat yang sama, di deretan nama para pahlawan, adalah tindakan yang tidak hanya membingungkan akal sehat, tetapi juga menghina ingatan kolektif bangsa.

Soeharto tidak layak disebut pahlawan. Ia adalah simbol otoritarianisme, korupsi, dan pelanggaran HAM yang masih membekas hingga kini. Di bawah pemerintahannya, ratusan ribu orang dibunuh atas nama stabilitas, ribuan aktivis dipenjara, ratusan lainnya hilang tanpa jejak. Ekonominya memang tumbuh, tapi di atas ketimpangan dan penindasan. Kekuasaan yang panjang itu meninggalkan warisan oligarki yang kini masih mendikte politik dan ekonomi kita. Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan memaafkan tanpa pengakuan, memberi penghormatan tanpa pertanggungjawaban.

Dalam konteks inilah, pengangkatan Marsinah menjadi terasa seperti barter moral – kompensasi simbolik agar publik bisa menerima keputusan kontroversial mempahlawankan Soeharto. Seolah negara berkata: kami tidak lupa pada korban, lihat, Marsinah pun kami jadikan pahlawan. Padahal, di balik itu, yang sedang berlangsung adalah strategi pencucian sejarah paling halus. Dengan mempahlawankan korban dan pelaku sekaligus, negara sedang melakukan satu bentuk manipulasi dan pembelokan sejarah: satu tangan memberi mawar pada Marsinah, tangan lain membasuh segala dosa Soeharto.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Marsinah dan Soeharto bisa dibaca sebagai bagian dari rencana besar penulisan ulang sejarah nasional. Penulisan sejarah menjadi sebuah proses untuk menentukan siapa pahlawan dan siapa yang namanya harus dikuburkan, periode mana yang harus diajarkan di sekolah dan periode mana yang harus dihapuskan. 

Pemberian gelar juga menjadi bagian dari politik simbol tanpa politik kebenaran. Ia mengaburkan garis moral. Ia menghapus perbedaan antara penindas dan yang ditindas. Ia menjadikan sejarah seperti panggung besar yang penuh tokoh, tanpa ada lagi posisi benar dan salah. Semua disatukan dalam narasi “rekonsiliasi nasional” yang dangkal, rekonsiliasi yang tidak pernah menuntut pertanggungjawaban siapa pun.

Mempahlawankan Marsinah seharusnya berarti menegakkan nilai yang ia perjuangkan: keadilan, keberanian, dan hak buruh untuk hidup bermartabat. Itu hanya bisa dilakukan jika negara membuka kembali kasusnya, mengungkap kebenaran, dan menuntut siapa pun yang bertanggung jawab. Tanpa itu, penghargaan ini tak lebih dari upacara kosmetik untuk menutupi dosa masa lalu.

Marsinah tidak membutuhkan gelar dari negara. Ia sudah lama menjadi pahlawan di hati rakyat. Yang ia butuhkan adalah kebenaran yang ditolak selama tiga puluh tahun. Yang kita butuhkan adalah negara yang berani menatap sejarahnya sendiri tanpa menutup mata.

Jika negara benar-benar ingin menghormatinya, biarkan Marsinah tetap menjadi simbol perlawanan, bukan alat legitimasi kekuasaan. Setiap kali negara mempahlawankan tanpa menegakkan keadilan, yang sesungguhnya dilakukan adalah semakin dalam mengubur kebenaran.

Okky Madasari
Okky Madasari Novelist, Sociologist, Founder of OM Group

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email