Di zaman ketika segala sesuatu dapat dipertontonkan, manusia hidup seolah berada di panggung besar yang tidak pernah gelap. Kita berjalan, bekerja, berlibur, jatuh cinta, bahkan bersedih sambil diawasi mata tak terlihat yang jumlahnya tak terhingga. Di masa lalu, dorongan untuk diterima hanya penting untuk bertahan hidup. Kita ingin diakui keluarga, kelompok, atau komunitas terdekat. Namun kini, kebutuhan itu membesar, melebar, dan berubah bentuk menjadi sesuatu yang jauh lebih intens: rasa haus validasi dari dunia yang bahkan tidak kita kenal.
Validasi adalah kebutuhan yang sudah lama menempel dalam diri manusia. Tetapi media sosial mengubah skala dan cara kerjanya. Jika seseorang pada masa lalu hanya perlu menunjukkan prestasi kepada segelintir orang di sekitarnya, kini setiap orang bisa menunjukkan seluruh hidupnya kepada ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia. Kehidupan tidak lagi sekadar dijalani; ia menjadi cerita yang harus disajikan, dipoles, diperbaiki, dan diukur. Dan karena ia bisa diukur, maka ukuran itu menjadi candu.
Di dunia seperti ini, mimpi tidak lagi murni seperti dulu. Mimpi bukan hanya tentang apa yang ingin kita jalani, tetapi juga tentang bagaimana mimpi itu akan terlihat di mata orang lain. Seseorang bisa bermimpi menjadi pengusaha bukan karena ia menyukai dunia bisnis, melainkan karena narasi gaya hidup pengusaha muda terlihat glamor. Ada yang ingin kuliah di luar negeri, bukan semata karena kualitas akademik atau minat riset, tetapi karena foto wisuda di kampus prestisius menghasilkan validasi digital yang luar biasa. Bahkan pekerjaan-pekerjaan tertentu menjadi lebih diminati bukan karena passion, tetapi karena labelnya terdengar keren jika ditampilkan di LinkedIn atau Instagram.
Baca juga:
Sosial media membuat mimpi menjadi komoditas. Ia mesti memiliki nilai visual, nilai naratif, dan nilai jual. Akibatnya, banyak mimpi dibangun dengan fondasi rapuh: ketidakpercayaan diri yang dicat dengan warna-warna validasi eksternal. Kita mengejar sesuatu yang terlihat baik, bukan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan diri. Dan ironisnya, banyak orang akhirnya tersesat di jalan yang sebenarnya tidak pernah ingin mereka lalui, hanya karena jalan itu terlihat paling “dipuji”.
Fenomena ini juga merembes ke dunia kerja. Karier dulu adalah perjalanan internal, penuh proses panjang yang hanya dipahami oleh diri sendiri dan lingkungan terdekat. Tapi sekarang, karier seperti panggung pertunjukan. Setiap kenaikan jabatan mesti diunggah, setiap sertifikat mesti dibagikan, setiap pencapaian mesti dirayakan secara publik. Tidak ada yang salah dengan berbagi kebanggaan, tetapi ketika kebanggaan berubah menjadi keharusan untuk terus terlihat sukses, masalah mulai muncul.
Platform seperti LinkedIn menciptakan ilusi bahwa semua orang sedang berkembang, semua orang sedang mendaki, semua orang sedang menjadi versi terbaik dirinya. Padahal kehidupan nyata jauh lebih kompleks, penuh stagnasi, keraguan, kegagalan, dan kebuntuan. Namun timeline yang dipenuhi pencapaian membuat banyak orang merasa tertinggal, membuat mereka bekerja bukan hanya untuk berkarya, tetapi untuk mempertahankan citra. Mereka merasa tidak boleh lelah, tidak boleh salah langkah, tidak boleh tampak bingung. Karier bukan lagi perjalanan, melainkan kompetisi tidak resmi untuk mendapatkan sorotan paling terang.
Hal serupa terjadi bahkan pada hal-hal yang seharusnya paling sederhana dan membebaskan: rekreasi. Liburan yang dulu menjadi ruang untuk detoks dari hiruk pikuk kehidupan, kini menjadi ajang penampilan. Banyak orang liburan tidak lagi untuk beristirahat, tetapi untuk memproduksi konten. Foto-foto pantai, video makan malam dengan sudut kamera tertentu, drone shot pemandangan sunset, outfit yang harus serasi demi feed Instagram. Setiap momen diolah, setiap pemandangan harus estetis, setiap langkah harus terekam.
Begitu pula dengan hobi. Lari tidak cukup dilakukan, harus dipamerkan pace-nya. Masak bukan lagi untuk makan, melainkan untuk membuat video aesthetic. Membaca buku bukan untuk menikmati isi, tetapi untuk membuat foto flatlay dengan cangkir kopi. Konser pun tidak lagi menjadi pengalaman musikal, tetapi menjadi kesempatan untuk mengabadikan setiap menitnya demi dijadikan story. Hal-hal yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan justru menjadi sumber tekanan untuk tampak bahagia.
Semua ini terjadi bukan hanya karena manusia butuh validasi, tetapi juga karena algoritma memperkuat kebutuhan itu. Algoritma memberi dopamin instan melalui likes, comments, dan views. Begitu unggahan kita ramai, otak menyimpan jejak kesenangan itu, dan mendorong kita untuk mengulang pola yang sama. Tanpa disadari, kita menciptakan versi diri yang paling disukai algoritma, bukan versi diri yang paling kita sukai. Kita bukan hanya ingin jadi diri terbaik, tetapi ingin jadi diri terbaik dalam bingkai digital.
Baca juga:
Namun dalam proses itu, muncul perbandingan yang tak terhindarkan. Timeline yang tak ada henti membuat manusia menilai hidupnya sendiri berdasarkan hidup orang lain. Seseorang merasa kurang sukses karena melihat orang lain membeli rumah. Seseorang merasa hidupnya datar karena temannya rutin liburan. Seseorang merasa pekerjaannya kecil karena feed-nya penuh dengan pengumuman promosi jabatan. Banyak orang lupa bahwa apa yang mereka lihat hanyalah potongan berkilau kehidupan orang lain, bukan keseluruhan cerita.
Kecenderungan membandingkan diri terus-menerus membuat rasa haus validasi makin besar. Kita bukan hanya ingin dipuji, tetapi takut terlihat kalah. Kita takut terlihat tertinggal, takut terlihat stagnan, takut terlihat biasa-biasa saja. Padahal mayoritas dari kehidupan manusia memang biasa saja; dan itu tidak apa-apa. Tetapi budaya digital mengubah yang biasa menjadi memalukan, dan yang memalukan menjadi sesuatu yang harus disembunyikan. Akibatnya, orang hidup dengan tekanan yang tidak terlihat: tekanan untuk selalu tampil baik, tampil produktif, tampil luar biasa.
Konsekuensi Mental Citra Digital
Tekanan ini membawa dampak psikologis yang nyata. Banyak orang mengalami burnout sosial. Kelelahan bukan hanya karena pekerjaan tetapi karena menjaga citra digital. Mereka terus merasa harus memantau bagaimana unggahannya diterima, harus terus konsisten mengelola persona, harus terus mempertahankan standar tertentu. Di sisi lain, banyak orang mengalami krisis identitas, karena mereka begitu sering menyesuaikan diri dengan tuntutan eksternal sampai lupa siapa diri mereka sebenarnya. Ada pula perasaan ketidakpuasan kronis, karena standar validasi berubah terus dan tidak pernah memberi ruang untuk puas.
Namun, penting untuk diingat bahwa validasi tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi bahan bakar, penguat, atau pendorong untuk berkembang. Yang membuat masalah adalah ketika validasi menjadi pusat kehidupan. Jika seluruh keputusan, mimpi, dan kegiatan dilakukan hanya demi pandangan orang lain, maka hidup tidak lagi dijalani tetapi dipertontonkan. Kita hidup seperti aktor yang terjebak dalam peran yang pernah kita tulis sendiri, lalu menjadi tawanan di dalamnya.
Melepas Ambisi Validasi
Pada akhirnya, manusia butuh ruang-ruang di mana ia dapat hadir apa adanya, tanpa performa, tanpa panggung, tanpa sorotan. Ruang di mana mimpi kembali menjadi mimpi, bukan konten. Ruang di mana karier kembali menjadi perjalanan batin, bukan perlombaan. Ruang di mana liburan kembali menjadi istirahat, bukan produksi visual. Ruang di mana hobi kembali menjadi tempat melarikan diri dari tekanan, bukan tempat membangun tekanan baru.
Yang paling berharga dalam hidup sering kali tidak terlihat, dan kebahagiaan sejati tidak pernah bisa diukur oleh angka-angka di aplikasi. Mungkin sudah waktunya manusia bertanya dengan jujur kepada dirinya sendiri: apakah aku melakukan ini karena aku benar-benar ingin, atau karena aku ingin dilihat? Pertanyaan itu sederhana tetapi jujur, dan jawaban itu bisa menjadi kompas untuk hidup yang lebih otentik.
Validasi memang menyenangkan. Tidak ada yang salah dengan menikmati apresiasi. Tetapi ketika validasi menjadi satu-satunya alasan, hidup akan terasa kosong, lelah, dan tak pernah selesai. Hidup yang baik bukan tentang bagaimana ia terlihat di layar, tetapi bagaimana ia terasa di dalam dada. Dan mungkin, justru dalam momen-momen yang tidak kita bagikan kepada siapa pun, kita menemukan kualitas hidup yang paling murni. (*)
Editor: Kukuh Basuki
