Bulan ini merupakan penerimaan mahasiswa baru di kampus saya, mungkin di kampus pembaca juga begitu atau sudah melaksanakannya di bulan lalu. Tetapi yang jelas setiap penerimaan baru di kampus banyak hal yang datang dengan janji-janji baru yang sudah lama dinantikan mahasiswa baru. Seragam putih abu-abu atau biru ditanggalkan, diganti jaket almamater yang masih bau pabrik. Mahasiswa baru berdatangan dengan ransel penuh harapan, yaitu untuk berpikir bebas, menjadi dewasa, atau sekadar mengubah nasib. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, langkah pertama mereka di dunia pendidikan tinggi tak jarang dimulai bukan dengan pengenalan, melainkan perendahan.
Ospek, atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, mungkin dimaksudkan sebagai pintu gerbang akademik. Sayangnya masih ada oknum-oknum kampus di negeri kita ini yang memanfaatkan kegiatan tersebut sebagai panggung kekuasaan kecil-kecilan, tempat senior membayar lunas trauma masa lalu dengan cara yang sama membentak, menyuruh, merendahkan. Kampus yang seharusnya menjadi rumah berpikir justru membiarkan praktik-praktik yang memalukan dan tak mendidik ini terus berlangsung, seperti warisan usang yang tak pernah dipertanyakan.
Baca juga:
Kampus sebagai Arena Kekerasan yang Disamarkan
Cerita-cerita tentang kegiatan dilakukan oleh senior selama Ospek yang kelewatan batas banyak bertebaran di media berita dan media online. Di tahun-tahun sebelumnya, kita mengenal kasus-kasus seperti meminum air ludah di Fakultas Perikanan dan Kelautan di Universitas Khairun yang viral pada tahun 2019 atau kasus kekerasan yang dilakukan senior hingga meninggal dunia di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta yang sudah ada 4 kasus terjadi, akhirnya pada tahun 2024 menteri perhubungan memutuskan tidak ada kegiatan penerimaan siswa baru khusus di STIP Jakarta. Kasus-kasus yang hari ini mungkin dilupakan, tapi luka dan kematiannya masih menjadi cermin betapa buruknya tata kelola pembinaan mahasiswa baru di negeri ini.
Lucunya, sebagian kampus masih menyebut Ospek sebagai “kegiatan pembinaan karakter.” Seolah bentakan bisa menggantikan diskusi, push-up lebih berguna dari literasi, dan plontos adalah lambang kesetaraan. Kita hidup dalam sistem pendidikan tinggi yang dengan entengnya membiarkan simbol-simbol militeristik hidup subur di tengah institusi sipil. Kampus yang katanya ruang bebas justru sering memelihara pola relasi kuasa paling sempit dan kekanak-kanakan.
“Kamu Harus Tahan, Kami Juga Dulu Begitu”
Ada pembenaran yang tak pernah hilang dari mulut para senior “Kami juga dulu begitu.” Sebuah kalimat sederhana yang mengandung banyak hal trauma yang diwariskan, kekuasaan yang dijaga, dan logika kekerasan yang terus dijalankan atas nama tradisi.
Kita tidak sedang berbicara soal satu-dua orang iseng. Kita sedang membicarakan sistem. Sistem yang menjadikan perpeloncoan sebagai bagian dari struktur orientasi. Sistem yang membiarkan senior tak dilatih, tak dibimbing, tetapi diberi panggung untuk menjadi semacam “aktor” utama dalam kehidupan maba selama satu minggu pertama.
Ironisnya, semua ini sering kali dibungkus dengan jargon moral “membangun solidaritas,” “melatih mental,” “memperkuat karakter.” Tapi karakter seperti apa yang kita bentuk dari kegiatan yang penuh teriakan, perintah tak masuk akal, dan aturan berpakaian yang mengandung unsur penghinaan?
Apa yang Seharusnya Dilakukan Kampus?
Sudah banyak contoh baik di luar negeri maupun beberapa kampus progresif dalam negeri yang mulai meninggalkan pola lama ini. Orientasi bisa dan seharusnya dirancang sebagai pengalaman yang memanusiakan dengan mengenalkan kampus sebagai rumah intelektual, bukan barak pelatihan mental.
Beberapa hal yang bisa dilakukan, pihak kampus dan terkhususnya fakultas untuk kegiatan ospek bagi mahasiswa baru, yaitu tour kampus, tetapi harus benar-benar tour kampus jangan hanya memperkenalkan perpustakaan dan gedung rektorat. Tunjukkan juga lab-lab kecil, ruang diskusi, tempat mahasiswa bersantai, ruang dosen, bahkan toilet. Kampus bukan monumen, tapi tempat hidup.
Baca juga:
Kemudian pameran UKM dan komunitas, buka ruang bagi mahasiswa baru untuk mengenal aktivitas non-akademik, seperti seni, olahraga, jurnalistik, keilmuan, sampai gerakan sosial. UKM adalah ruang tumbuh yang kerap tak terlihat. Ini lebih penting daripada menyuruh mahasiswa baru menghafal nama-nama birokrat kampus yang kemungkinan ketemu secara langsung saja tidak pernah.
Atau bisa menghadirkan sesi diskusi kritis yang membahas isu-isu kampus, seperti UKT, kekerasan seksual, birokrasi akademik, hingga sejarah gerakan mahasiswa. Tumbuhkan kesadaran, bukan kepatuhan.
Lalu yang terakhir pengenalan budaya lokal yang merupakan ciri khas daerah tersebut. Negeri kita yang majemuk ini, pengenalan terhadap budaya lokal dan etika hidup bersama sangat penting. Mengubah penggunaan baju putih, celana kain hitam, jilbab putih (untuk perempuan), dasi hitam (untuk pria), dan sepatu hitam. Gunakan baju daerah (jika memungkinkan). Bisa juga melakukan pertunjukan seni seperti tari, teater, monolog, menonton film karya mahasiswa kampus, menyanyikan lagu daerah, dll. Kampus adalah ruang keberagaman, bukan ruang seragam.
Peran Kampus Tidak Boleh Absen
Yang juga tak kalah penting adalah kehadiran dan keterlibatan nyata dari pihak kampus dan fakultas dalam seluruh rangkaian kegiatan Ospek. Pengawasan bukan sekadar formalitas, tetapi harus menjadi bentuk tanggung jawab institusi terhadap keselamatan, kenyamanan, dan proses pembelajaran mahasiswa baru.
Pihak kampus tidak boleh hanya menyerahkan seluruh pelaksanaan kegiatan pada panitia mahasiswa tanpa pendampingan. Harus ada mekanisme evaluasi ketat, sistem pelaporan yang aman dan terpercaya, serta sanksi tegas bagi oknum yang menyalahgunakan wewenang.
Kehadiran dosen, tenaga kependidikan, dan bahkan pimpinan fakultas di tengah-tengah kegiatan orientasi akan menjadi pesan moral bahwa kegiatan ini bukan ajang main-main, apalagi ajang balas dendam. Dengan pengawasan yang konsisten dan sistematis, potensi terjadinya kekerasan, perundungan, atau pelecehan bisa diminimalisir, bahkan dicegah sepenuhnya.
Ospek Harus Dihapus atau Didesain Ulang Total
Tentu tidak semua kegiatan orientasi itu buruk. Tapi selama masih ada elemen kekerasan, perendahan, atau dominasi simbolik, maka Ospek tidak layak dipertahankan. Apalagi jika korban terus berjatuhan dan pihak kampus berdalih bahwa itu adalah “di luar tanggung jawab kami.”
Pertanyaannya sederhana apakah kita ingin mempertahankan tradisi yang “membunuh”, baik secara harfiah maupun simbolik? Atau kita cukup berani untuk mengakui bahwa yang usang harus ditinggalkan, dan bahwa mahasiswa baru layak disambut dengan hormat, bukan intimidasi?
Kampus seharusnya menjadi tempat yang paling masuk akal di negeri ini. Tapi selama kita masih memelihara kekuasaan yang tak berdasar, atas nama nostalgia atau senioritas, maka kita hanya sedang membesarkan warisan kekerasan dengan wajah yang berbeda.
Mari akhiri ini. Sudah cukup! (*)
Editor: Kukuh Basuki