Istriku, Aku Menyebutmu Hari
aku menyebutmu pagi
bahkan sebelum matahari percaya diri terbit.
aku menyebutmu malam
ketika anak-anak tertidur
dan kau masih berdiri.
di tubuhmu,
jam kehilangan angka,
hari kehilangan nama,
dan lelah menjadi bahasa
yang hanya kau pahami.
aku mencintaimu
dengan cara yang tidak selalu terlihat,
sementara kau mencintai kami
dengan cara yang selalu terjadi.
–
Di Rahim Waktu, Kau Ibu
aku tahu
ibu bukan hanya peran,
ia adalah tempat waktu
bersembunyi.
anak-anak tumbuh
di rahim jam dinding,
dan kau yang menjaga
agar detiknya tidak melukai mereka.
aku hanya lewat,
menggenggam sore,
sementara kau menetap
menjadi musim
yang tak pernah libur.
–
Tubuhmu adalah Rumah yang Tidak Pernah Selesai
tubuhmu bukan alamat,
ia proyek panjang
yang dikerjakan tanpa cetak biru.
kau menambal dinding
dengan doa,
menyeka lantai
dengan sisa suara.
jika rumah ini tetap berdiri,
itu karena tubuhmu
tidak pernah benar-benar pergi
meski ingin beristirahat.
–
Aku Belajar Menjadi Ayah dari Caramu Menjadi Ibu
aku belajar diam
dari caramu mendengar,
belajar kuat
dari caramu rapuh.
ketika aku gagal,
kau tidak memperbaiki aku,
kau memperbaiki hari
agar anak-anak tidak ikut retak.
kau tidak mengajari dengan kata,
kau mengajari dengan tinggal.
–
Ada Luka yang Kau Sembunyikan di Celemek
di balik kain dapur,
kau lipat lelah
seperti surat yang tak jadi dikirim.
ada luka kecil
yang kau simpan
agar kami tidak tahu
bahwa cinta
juga bisa berdarah.
jika suatu hari aku menemukan luka itu,
biarlah aku mencium
bekasnya,
sebagai doa
yang terlambat.
–
Hari Ibu adalah Namamu yang Berulang
hari ini orang-orang menyebut: ibu.
aku menyebut: namamu.
sebab hari ibu
hanya tanggal,
sementara kau adalah
kerja seumur hidup.
jika puisi ini sampai padamu,
anggap saja ia bunga
yang kupetik dari rasa bersalah,
dan kutaruh di tanganmu
yang terlalu sering kosong
karena sibuk memberi.
selamat hari ibu, istriku.
dunia memanggilmu ibu,
aku memanggilmu rumah.
(Yogyakarta, Desember 2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA
