Hitler tidak mati di Garut. Setidaknya bukan di Kampung Cikerung.
Awalnya, tentu saja tidak ada yang mengenali bahwa lelaki asing itu adalah Adolf Hitler. Diktator paling sohor sepanjang masa. Ketika kali pertama tiba di Kampung Cikerung, lelaki itu telah mengubah total penampilannya: mengecat rambutnya dengan warna putih menyerupai uban, menggunakan kacamata motif cangkang penyu berbingkai tebal, menumbuhkan janggut kambing yang juga beruban, dan yang paling mencolok adalah, ia melibas habis kumis sikat giginya. Sebetulnya, cukup dengan menghilangkan kumis yang menjadi ciri khasnya itu, lelaki itu tidak akan lagi dikenali lagi sebagai Hitler. Namun, mungkin demi penyamaran yang paripurna, ia melakukan perubahan-perubahan pada wajahnya seperti yang telah disebutkan.
Sebenarnya, tanpa penyamaran pun, penduduk Kampung Cikerung tidak akan mengetahui identitasnya. Jangankan Hitler yang berasal dari negara lain, kami bahkan baru mengetahui kemerdekaan Indonesia satu tahun semenjak diproklamasikan oleh Bung Karno. Di kampung ini, arus informasi sama bohongnya seperti legenda Sangkuriang.
Di antara kampung lainnya di Garut, Cikerung memang kampung yang paling tertinggal. Kampung Cikerung berada di lereng gugusan pegunungan dan tersembunyi di balik rimbunnya hutan yang membentang sejauh mata bisa memandang. Selain penduduk sekitar, mungkin hanya Tuhan dan Hitler yang mengetahui keberadaan kampung tersebut. Atas alasan itu pulalah, kiranya Hitler memilih Kampung Cikerung sebagai tempat persembunyiannya.
Ketika itu, saya masih bocah. Usia sepuluh atau sebelas. Saya tidak dapat mengingatnya dengan jelas, karena kami tidak mengenal hari ulang tahun. Yang jelas, suatu hari ketika saya masih bocah, kampung kecil kami dihebohkan oleh kehadiran orang asing. Orang asing yang benar-benar asing. Bule. Bukan sejenis orang asing dari kampung sebelah atau dari kabupaten yang berperawakan sama dengan kami.
Kedatangan bule tersebut sontak menimbulkan kehebohan. Tentu saja. Di kampung kecil ini, kehebohan sangat jarang terjadi. Selain masuknya beberapa tentara Jepang semasa Pertempuran Kubang beberapa tahun lalu, kedatangan bule itulah yang berhasil menciptakan kehebohan untuk kali kedua di Kampung Cikerung. Sebelum kemerdekaan, sebenarnya keberadaan masyarakat kulit putih bukanlah hal yang aneh. Namun, itu semua hanya terjadi di perkotaan dan kampung-kampung penghasil kopi atau teh. Bukan di kampung seterpencil Cikerung yang tidak ada apa-apa, selain sekumpulan manusia yang menjalani hari entah untuk tujuan apa.
Bule itu datang bersama seorang perempuan. Perempuan pribumi. Asli sunda. Namanya Nyi Nenden. Nyi Nenden sendiri bukan penduduk Kampung Cikerung. Kata orang-orang, Nyi Nenden berasal dari Bandung. Tidak ada yang mengenal Nyi Nenden, meskipun perempuan paruh baya tersebut mengaku memiliki seorang kenalan di Kampung Cikerung. Kami tentu mengenal nama yang disebut Nyi Nenden. Semua warga saling mengenal. Hanya saja, orang yang disebut oleh Nyi Nenden telah wafat beberapa tahun sebelumnya karena suatu penyakit. Dan orang tersebut sebatang kara selama hidupnya, sehingga tidak ada sanak saudara yang dapat mengonfirmasi kebenaran ucapan Nyi Nenden.
Meski begitu, warga Kampung Cikerung memang tidak diciptakan untuk menaruh curiga kepada siapa pun. Nyi Nenden dan bule itu pun kami terima dengan tangan terbuka. Mereka dipersilakan tinggal di rumah salah seorang warga selama beberapa bulan, sebelum akhirnya menempati pondok mereka sendiri yang baru dibangun.
Lelaki bule itu, Nyi Nenden memperkenalkan, sebagai Rafael Dothil. Kami menyebutnya Tuan Rafael. Usianya enam puluh tahun, atau lebih sedikit, dan berasal dari Kroasia. Kami, para udik, bertanya-tanya di mana gerangan Kroasia terletak. Nyi Nenden menjelaskan, bahwa Kroasia berada di Eropa, dekat dengan Jerman, Austria, atau Swis. Meskipun telah dijelaskan, kami tetap tidak mengerti. Bagi kami, orang asing hanyalah Belanda dan Jepang.
“Nah! Kroasia dengan Belanda berada di dalam daratan yang sama,” jelas Nyi Nenden begitu kami menyebut nama negara para penjajah itu. “Mereka hanya dipisahkan oleh beberapa negara saja.”
Tuan Rafael, menurut Nyi Nenden, adalah seorang tukang cukur di negaranya. Kepindahannya ke Indonesia, khususnya Garut, dan lebih spesifik lagi Kampung Cikerung, adalah karena Tuan Rafael pernah melihat sebuah lukisan di museum di Kroasia yang menampilkan bentang alam pegunungan yang sangat indah. Dari keterangan lukisan tersebut, Tuan Rafael mengetahui keberadaan Garut, tempat pemandangan indah itu dipindahkan ke atas kanvas. Menurutnya, pemandangan tersebut seperti bukan berasal dari bumi. Sepanjang hidupnya, ia belum pernah melihat pemandangan semenakjubkan itu: gugusan pegunungan, dengan semburat jingga di kaki langit, serta deretan pepohonan berwarna hijau yang menenangkan. Di kaki gunung, terdapat aliran sungai yang pada beberapa bebatuannya terdapat burung kuntul berwarna putih.
Lukisan tersebut berhasil membius Tuan Rafael. Setidaknya satu kali dalam sepekan, ia akan mengunjungi museum dan memandangi lukisan itu lama-lama. Lukisan itu dibuat oleh seorang perupa asal Jerman yang pernah berkunjung ke Garut sebelum Perang Dunia II meletus. Dan entah bagaimana kisahnya, lukisan itu bisa menjadi salah satu koleksi di museum tersebut. Sayangnya, lukisan tersebut tidak diperjualbelikan. Padahal, Tuan Rafael bersedia membayar berapa pun untuk bisa menggantung lukisan tersebut di tembok rumahnya. Jika perlu, ditukar dengan nyawanya.
Semenjak itu, ia jatuh cinta kepada lukisan tersebut, dan menjadi terobsesi pada Garut. Sebuah daerah antah-berantah dari negeri kepulauan yang telah sekian lama menjadi negara jajahan bangsa Eropa itu.
Bertahun-tahun dihabiskan Tuan Rafael untuk meriset segala sesuatu terkait Garut, termasuk cara untuk menuju ke sana. Namun, sumber bacaan yang memuat informasi tersebut sangat terbatas. Tuan Rafael pun menempuh cara lain untuk mendapatkan informasi terkait Garut, yaitu mencari orang Indonesia yang berada di Kroasia. Tidak banyak orang Indonesia yang berada di Kroasia kala itu, meski akhirnya Tuan Rafael bertemu dengan seorang kuli kapal dagang asal Madura yang kebetulan sedang bersandar di Pelabuhan Rijeka.
Dari orang Madura itu, Tuan Rafael berhasil mengorek sejumlah informasi terkait Garut. Meski begitu, tidak banyak keterangan yang dapat diberikan oleh si orang Madura. Karena, katanya, jarak antara Madura dan Garut sangatlah jauh. Bahkan terpisah oleh selat. Meski begitu, si orang Madura memiliki kenalan yang berasal dari Jawa Barat, provinsi tempat Garut berada. Dan orang tersebut adalah Nyi Nenden, yang ketika itu bekerja di sebuah pabrik pengalengan ikan di dekat pelabuhan.
Tuan Rafael tidak membuang waktu banyak untuk mencari seorang perempuan asal Indonesia yang bekerja di pabrik tersebut. Tidak sulit menemukan Nyi Nenden di antara pekerja kulit putih. Dari situlah perkenalan keduanya berlanjut, hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta dan menikah.
Setelah menikah, mereka memutuskan untuk menetap di Garut. Lebih tepatnya di Kampung Cikerung. Mereka mulai menabung sedikit demi sedikit untuk bisa mewujudkan mimpi Tuan Rafael. Penghasilan sebagai tukang cukur dan kuli pabrik tidak sebanding dengan ongkos perjalanan untuk menuju Indonesia dan biaya darurat untuk memulai kehidupan yang baru. Butuh waktu lima tahun sampai akhirnya mereka bisa berangkat ke Indonesia, dan memutuskan untuk meninggalkan Kroasia selamanya.
Semua kisah itu dituturkan oleh Nyi Nenden, karena Tuan Rafael sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia, terlebih bahasa Sunda. Nyi Nenden yang sudah lebih dari lima belas tahun menetap di Eropa nyaris kehilangan logat Sundanya, meskipun masih bisa berbahasa Sunda secara fasih.
Tuan Rafael benar-benar terpukau dengan pemandangan di sekitar Kampung Cikerung. Kami mengajak dia ke atas sebuah bukit. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan gugusan gunung, hutan yang lebat, dan sungai yang mengular hingga kaki gunung. Menurut Tuan Rafael, pemandangan yang ia saksikan dari atas bukit berbeda dengan pemandangan yang berada di dalam lukisan.
“Pemandangan ini sejuta kali lebih indah,” kata Tuan Rafael melalui Nyi Nenden, dengan mata berkaca-kaca menyaksikan keindahan di hadapannya.
Semenjak itu, nyaris setiap sore, Tuan Rafael mendaki bukit, untuk menyaksikan matahari kembali di peraduan di ujung cakrawala. Usianya memang tidak lagi belia, tetapi ia masih cukup bugar untuk mendaki bukit dan menuruninya kala langit sudah gelap.
Nyi Nenden dan Tuan Rafael pun resmi menjadi warga Kampung Cikerung. Mereka bercocok tanam untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dan Tuan Rafael membuka kios cukur rambut di samping rumahnya. Tuan Rafael pun hobi melukis. Satu kali dalam sebulan, ia dan Nyi Nenden akan berangkat ke kota, dan kembali membawa sejumlah kanvas beserta alat lukisnya.
“Saya pernah bekerja sebagai pelukis sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi tukang cukur untuk bertahan hidup,” kata Tuan Rafael berkisah kepada kami. “Sejak kecil saya memang selalu ingin menjadi pelukis.”
Sepulangnya dari kota, mereka kerap membelikan makanan dan mainan bagi kami para bocah. Mereka sangat dermawan. Bahkan, Tuan Rafael mengajari teknik-teknik mencukur kepada para pemuda, dengan imbalan pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Sunda bagi lelaki tua tersebut. Semua warga menyenangi Tuan Rafael dan Nyi Nenden.
Semuanya berjalan baik-baik saja, hingga empat tahun kemudian, kampung dihebohkan oleh kemunculan beberapa orang tentara.
Kala itu, Tuan Rafael dan Nyi Nenden telah sepenuhnya menjadi bagian dari Kampung Cikerung. Bahkan, Tuan Rafael sudah fasih berbahasa Sunda. Bisnis cukur rambutnya berkembang. Pelanggannya bukan hanya dari warga Kampung Cikerung, melainkan dari kampung-kampung sekitarnya juga. Meski belum dikaruniai anak, pasangan itu hidup sangat harmonis. Dan pada masa-masa itu, Tuan Rafael banyak menghasilkan lukisan pemandangan yang sangat ia banggakan.
Saat itu, Indonesia sudah merdeka delapan tahun, dan peperangan mulai redup di beberapa daerah. Tentara Jepang pun sudah kocar-kacir kembali ke negerinya menyusul luluh-lantaknya Kota Hiroshima dan Nagasaki. Kata orang-orang tua, kondisi negeri sudah semakin aman. Tidak perlu lagi merasa takut karena negeri ini sudah merdeka sepenuhnya. Maka, kemunculan tentara di Kampung Cikerung jelas bukan hal yang lumrah dan membuat semua orang terheran-heran. Terlebih, terdapat tiga orang asing bersama para tentara tersebut.
Salah seorang tentara, yang tampaknya adalah komandannya, menjelaskan kedatangan mereka ke Kampung Cikerung. Termasuk maksud kehadiran para bule bersama mereka.
“Bapak dan ibu sekalian tidak perlu khawatir,” kata komandan berperawakan kekar tersebut mengawali. “Kedatangan kami ke sini bukan karena ada sesuatu perang atau kegawatdaruratan. Keperluan kami hanya mencari seseorang. Seseorang yang sangat penting.”
“Beribu hormat, Bapak Tentara,” kata Kepala Desa yang ditunjuk sebagai juru bicara para warga. “Kampung kami terlalu kecil dan sederhana untuk didatangi oleh orang-orang. Terlebih orang penting seperti yang Bapak Tentara sebutkan.”
“Tapi, kami mendapat informasi, orang tersebut sering terlihat di Kampung Cikerung ini.”
“Mohon maaf, Bapak Tentara, bukan maksud kami tidak mempercayai kemampuan Anda dalam hal menyelidiki. Namun, jika ada orang penting di kampung ini, pastilah tidak akan terlewatkan oleh kami,” Kepala Desa kembali menjelaskan. “Jika Bapak Tentara berkenan, sudikah memberi tahu kami seperti apa gerangan sosok orang penting yang sedang Bapak Tentara cari?”
Komandan tersebut tidak langsung menjawab. Ia merogoh saku di bagian dada seragamnya. Dikeluarkannya secarik foto.
“Orangnya seperti ini, Pak,” foto tersebut disodorkan kepada Kepala Desa, dan warga yang penasaran berebut untuk melihat sosok di dalam gambar tersebut.
Orang di dalam foto benar-benar asing bagi kami: wajahnya pucat, ekspresinya kaku, sorot matanya dingin dan tajam, rambutnya yang klimis disisir ke samping tanpa membiarkan sehelai pun mencuat, dan yang paling mencolok adalah seberkas garis hitam di bawah hidungnya yang tumbuh tipis dan terpangkas rapi.
“Seribu sembah sujud, Bapak Tentara,” Kepala Desa kembali membuka suara setelah mengamati foto tersebut selama beberapa saat. “Orang yang berada di dalam foto, sama sekali asing bagi kami. Tidak ada seorang pun dengan tampang seperti itu di kampung kami. Adapun satu-satunya orang asing di sini adalah Tuan Rafael. Namun, tampangnya sama sekali berbeda dengan apa yang Anda tunjukkan di dalam foto.”
“Tuan Rafael?” kata si Komandan sedikit meninggikan suaranya. “Apakah dia bukan orang Indonesia?”
“Bukan, Bapak Tentara. Tuan Rafael adalah orang Kroasia, yang selama beberapa tahun belakangan tinggal di kampung ini.”
Para tentara saling berbisik, termasuk menyampaikan bisikannya kepada para bule yang turut dalam rombongan mereka. Kemudian, mereka tampak berdiskusi sejenak.
“Baiklah, sekarang di mana Tuan Rafael yang Anda maksud?” kata si Komandan lagi mulai kehilangan kesabarannya.
Ketika itu, kami baru menyadari bahwa Tuan Rafael atau Nyi Nenden tidak ada di dalam kerumunan warga. Para warga celingukan mencari sosok yang dimaksud di antara mereka. Semua saling bertanya di mana gerangan Tuan Rafael dan Nyi Nenden?
“Mohon maaf, Bapak Tentara,” Kepala Desa berinisiatif bersuara. “Sore hari seperti ini, biasanya Tuan Rafael dan istrinya berada di bukit, untuk melihat matahari tenggelam.”
“Antarkan kami ke sana! Bagi dua tim. Kalian cari di rumahnya! Minta antar warga ke rumah Tuan Rafael!” Perintah si Komandan kepada anak buahnya yang disambut tanpa tapi.
Sampai malam jatuh, Tuan Rafael dan Nyi Nenden tidak ditemukan di mana pun. Baik di bukit ataupun di rumahnya. Para tentara pun berpencar menjadi beberapa regu untuk menyisir seluruh kampung. Mereka memasuki rumah warga, membongkar segala sesuatu yang dianggap berpotensi menjadi tempat persembunyian. Mereka juga memasuki hutan, menjadi di setiap sudutnya. Jumlah tentara pun bertambah, dipanggil dari markasnya.
Rumah Tuan Rafael benar-benar dibongkar tanpa sisa. Lukisan-lukisannya dilempar ke atas tanah begitu saja. Kios cukur rambutnya dibuat berantakan. Para warga pun ditanyai satu per satu. Termasuk kami, para bocah. Namun, semua yang keluar dari mulut warga seragam: kami tidak tahu keberadaan Tuan Rafael dan Nyi Nenden. Mereka berdua hilang begitu saja seperti kabut yang disapu sinar matahari pagi.
Pencarian satu minggu berakhir nihil. Sosok yang dicari tidak pernah ditemukan. Jejak Tuan Rafael dan Nyi Nenden tidak terlacak sedikit pun, bahkan tidak selembar foto pun. Para tentara pun menyerah dan kembali ke markasnya, meninggalkan kekacauan di seantero kampung. Mereka pergi dengan tangan hampa dan rasa bingung. Rasa bingung yang sama dialami oleh warga Kampung Cikerung. Ke mana gerangan perginya Tuan Rafael? Siapa dia sebenarnya? Mengapa ia dicari oleh tentara dan orang-orang bule itu? Apakah benar, ia demikian pentingnya? Mengapa mereka menghilang tanpa berpamitan?
Pertanyaan itu tidak pernah terjawab, hingga akhirnya waktu membuat warga kampung melupakan sosok Tuan Rafael dan Nyi Nenden. Satu-satunya yang tersisa dari Tuan Rafael adalah kemampuan mencukur rambutnya yang diwariskan turun-temurun kepada para pemuda di Kampung Cikerung, yang kemudian ditularkan secara luas bagi masyarakat Garut.
*****
Editor: Moch Aldy MA
