Laki-laki kelahiran 2001. Boleh kasih bacotan di @paa_litoo

Goyangan Maut untuk Maha Seksi

Palito -

4 min read

Ibu duduk mematung di kursi plastik, menatap toples permintaan di atas meja. Dulu, toples itu tempat menyimpan permen warna-warni. Kini, menjadi “toples permintaan”—penjara doa-doa tak terkabul ditulis di kertas, dilipat, lalu dilupakan.

Setiap sore, Ibu bertanya-tanya tentang banyak hal. Tak ada jawaban. Hanya pantulan samar dari cermin retak di sudut ruangan. Cermin itu tak pernah memantulkan wajahnya dengan utuh. Seolah-olah mencuri bagian-bagian dirinya: mata yang hilang, kadang bibir, tergantung seberapa besar hari itu mencintainya. Dan perlahan, Ibu mulai percaya bahwa Maha Seksi—figur dari iklan pemutih kulit yang dulu ia tonton setiap sore—tinggal di dalam cermin itu. Maha Seksi bukan sekedar sosok dari layar televisi, tetapi bayangan dirinya dulu: muda, penuh harapan, dan percaya bahwa kecantikan adalah jalan menuju keselamatan. Kini Maha Seksi menjadi pengingat yang menyakitkan—sebuah versi dirinya yang telah lama hilang, terkubur bersama luka-luka.

Hujan sore itu menampar genteng seperti langkah kaki raksasa berlari. Ibu memandang jendela berjeruji yang membatasi dunia luar. Ia melongok ke luar, ragu sesaat, sebelum akhirnya berlari kecil ke halaman. Ia melepaskan pakaian berwarna-warni, satu per satu, membiarkan tubuhnya basah oleh hujan yang menghapus sisa riasan di wajahnya yang mulai keriput. Ibu merasa tubuhnya seperti patung yang perlahan dibentuk dan dikikis oleh waktu. Dulu, tubuhnya menggambarkan kekuatan dan kehidupan. Sekarang, waktu telah mengukirnya dengan halus—buah dada yang tak lagi padat, perut yang membawa beban tak hanya fisik, tetapi juga batin.

“Aku ingin kembali,” gumamnya, namun suaranya hilang terbawa angin. Tapi entah kembali ke mana. Tubuhnya terasa milik orang lain. Ia mengingat-ingat, namun arah pulang dalam pikirannya tampak seperti lorong kabur yang penuh kabut.

Bayangan masa kecilnya mengapung ke permukaan pikirannya. Ia melihat dirinya kecil, bersembunyi di kolong meja saat ayahnya membanting barang-barang. Kilatan wajah ibunya yang lebam muncul dengan samar. Ibunya berdiri di depan cermin retak, mengoleskan lipstik pada bibir yang tetap tersenyum. “Cantik itu penting, Nak,” ujar ibunya yang bercampur tangis.

Ibu tumbuh dengan dua hal: rasa takut dan keyakinan bahwa jika kecantikan bisa menjadi jalan keselamatan.

Hujan terus jatuh. Ibu masuk ke dalam rumah, basah dan telanjang, menggigil. Dunia di dalam rumah tetap beku, seolah hujan tak pernah mengetuk pintu mereka. Seperti ia sudah lama tak menjadi bagian dari rumah ini. Seperti ia hanya tamu dalam hidup yang dulu miliknya. Di kursi ruang tengah, suaminya tertidur pulas. Dengkurannya bersahutan dengan suara dari layar ponsel yang memutar kata-kata seperti “anjay”, “mantap”, dan “gokil bro”.

Di depannya, ada pigura foto kosong. Ibu mulai menari gerakan lambat yang patah-patah, seperti penari profesional yang sudah lama kehilangan panggung. Ia menyebutnya “Goyangan Maut”. Setiap sore, ia mempraktikkan tarian itu di hadapan pigura itu, yang ia yakini adalah panggung penghakiman Maha Seksi. Tangannya terangkat, tubuhnya berputar. “Lihat aku sekarang,” bisiknya, “masih bisa goyang, walau hidupku sudah lumpuh.”

Dari kamar, anak bungsunya mengintip. Anak itu menggambar, tapi tatapannya tak terlepas dari sosok ibunya yang kini lebih sering muram ketimbang ceria. Ada kekhawatiran di balik garisan pensil ia buat, seperti mencoba menggambarkan sesuatu yang ia sendiri tak mengerti. Ia menggambar monster berkepala televisi, dengan tangan besar mencengkeram wajah seseorang yang mirip ibunya. Anak itu hanya tahu: setiap sore, Ibu bicara sendiri dan menari di depan pigura.

Anak itu menekan keras-keras pensilnya, membuat garis-garis hitam yang hampir merobek kertas. Ia tak tahu pasti kenapa wajah ibunya tampak semakin kecil di dalam genggaman monster itu, hanya merasa bahwa itulah yang benar.

“Kalau kamu besar nanti, jangan biarkan cinta menjadi alasan untuk bertahan di tempat yang membuatmu hilang. Jangan mencintai hanya karena ingin diselamatkan. Selamatkan dirimu dulu, sebelum berharap cinta bisa menyelamatkan,” kata Ibu, tidak tahu bahwa anaknya mendengar dari balik pintu.

Di tengah rutinitas sore yang penuh keheningan, sebuah ketukan pintu tiba-tiba memecah pikiran Ibu. Seorang bocah berusia enam tahun datang ke rumah. Ia membawa kue ulang tahun kecil dengan lilin merah di atasnya. “Tante, aku sering dengar Tante nyanyi-nyanyi. Tante persis kayak mama aku waktu belum dibawa ke surga,” kata bocah itu polos.

Ibu terdiam lama. Dalam bola mata bocah itu, ia melihat luka yang sama—luka yang bukan baru, tapi yang diwariskan, seperti toples permintaan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya.

Ibu membuka lemari bewarna putih gading lusuh di sudut ruangan. Jemarinya menyentuh kain gaun berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil itu—gaun untuk acara istimewa yang tak pernah tiba. Gaun yang dulu ia simpan dengan harapan suatu hari akan dikenakan untuk malam penuh cahaya. Tapi malam itu tak pernah datang. Aroma kainnya bukan lagi wangi malam pesta, melainkan bau lemari tua dan waktu yang melapuk.

Ibu berdiri di depan cermin sebentar. Gaun itu tak terasa seperti dulu lagi—hanya sisa dari harapan yang terlalu lama tertinggal. Dulu, ia memilih gaun itu dengan hati yang berdebar. ‘Kau akan cantik,’ seseorang pernah berkata. Tapi kini, ia hanya melihat sosok tak lagi percaya pada harapan itu. Jemarinya menyusuri garis wajahnya, naik ke kulit kepala yang mulai jarang ditumbuhi rambut, lalu turun ke leher yang mengendur pelan-pelan di makan waktu. Dulu, ia sering membiarkan rambut panjangnya terurai sambil menyenandungkan lagu favoritnya. Kini, cermin hanya menunjukkan sosok dirinya yang sepi.

Ibu mengenakan gaun itu dengan gemetar, karena malam ini, ia ingin menghadapi dirinya sendiri. Ia menggandeng tangan kecil itu ke kolam coklat di belakang rumah. Hujan belum sepenuhnya reda, air kolam meluap, menciptakan riak-riak kecil yang berlomba dengan gerimis.

Di tepi kolam, ia menatap riak air yang membelah pantulan wajahnya. Maha Seksi muncul lagi. Kali ini bukan di cermin atau pigura, tapi di dalam air yang bergelombang. Wajahnya menua, bibirnya pecah. Mata cekung itu menatapnya dengan rasa penyesalan yang terlambat.

“Inikah yang tersisa dariku?” pikir ibu.

Ia ingin marah, ingin menangis, tapi hanya tawa getir yang keluar.

Maha Seksi menatap balik dari dalam air, matanya memohon, seperti ingin berbicara. Tapi suara itu hanya gumaman samar di dalam kepala Ibu.

“Aku adalah kamu yang dulu terlalu percaya. Percaya pada fana. Percaya pada cinta. Percaya bahwa luka bisa dihapus dengan lipstik.”

Ibu berjongkok, air membasahi gaun lamanya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil selembar kertas dari toples permintaan yang ia bawa, meletakkannya ke dalam kolam. Perlahan kertas itu tenggelam, bersama semua doa yang pernah ia minta.

Malam itu, Ibu menari lagi. Kali ini bersama bocah kecil itu, di tepi kolam. Tubuh mereka bergerak pelan, seakan berusaha mengingat bagaimana hidup tanpa rasa takut. Setiap gerakan terasa seperti serpihan memori yang berusaha bangkit dari abu—rapuh, tapi penuh tekad. Kaki-kaki yang gemetar, kedua tangan terangkat dengan usaha lebih keras dari bisa yang ia ingat. Tarian itu tak lagi indah, tapi penuh dengan perlawanan—perlawanan terhadap tubuh yang menua dan hati yang terkikis. Bocah itu menatap Ibu dengan mata penuh kekaguman. Meski kecil, ia tahu, Ibu sedang menghadapi sesuatu yang besar dalam dirinya.

Di bawah cahaya rembulan, bayangan mereka di atas tanah membentuk huruf-huruf samar: “Aku sudah cukup.”

Ketika pagi datang, bocah kecil itu masih duduk di tepi kolam. Ia mengenakan lipstik merah yang ia oleskan sendiri—goresannya berantakan, belepotan hingga ke pipi. Di manik matanya ada sesuatu yang bersinar: semacam keberanian kecil yang lahir dari ketidaksempurnaan.

Di sekeliling mereka, angin berbisik pelan, membawa sisa-sisa doa yang pernah tertinggal di toples permintaan. Di dalam kolam, bayangan Maha Seksi sudah tidak ada.

Maha Seksi bukan hanya cermin dari tubuh Ibu yang dulu, tapi juga luka-luka yang tak pernah terungkap—harapan yang selalu berakhir pada kebisuan. Namun, kini hanya bayangan Ibu yang akhirnya utuh, berdiri tegak, tersenyum pada dirinya sendiri.

Dan pertama kalinya, Ibu berhenti menari—bukan sebab lelah, melainkan sebab telah berdamai dengan bayangannya sendiri.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Palito -
Palito - Laki-laki kelahiran 2001. Boleh kasih bacotan di @paa_litoo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email