Yun memandangi semangkuk soto ayam di depannya. Dari sejak makanan itu disuguhkan, sejak uap mengepul hingga uap habis menyatu bersama udara pagi yang diam-diam menerobos masuk lewat jendela, Yun sama sekali tidak menyentuhnya barang sedikit pun.
Tatapan mata Yun tidak bisa sembunyi dari ketidaksukaan dan rasa muak yang meletup-letup. Tetapi, bibirnya tidak juga mengatakan sesuatu untuk menolak hidangan itu.
Aroma soto yang meriah seolah-olah mendesak hidung sehingga menggedor dinding ingatan, menggeletarkan saraf pada sensasi yang pernah ia cicipi beberapa bulan lalu.
“Aku ingin soto,” ujar Yun tiba-tiba.
Jarum jam tepat menyentuh angka sepuluh malam. Di luar gerimis mendarat senyap di permukaan tanah, genteng, batu, dan dedaunan yang bisu.
Apung, suaminya, tidak menghiraukan permintaan Yun yang sudah diulang tiga kali. Mata dan telinga Apung tak urung lepas dari ponsel, memainkan sebuah permainan yang menyandera seluruh perhatiannya.
Yun menatap Apung dengan kedongkolan yang tidak bisa lagi ditawar, sehingga ia mendekat, menyentuh bahu Apung dan mengulang sekali lagi ucapannya. Suaranya dibuat lebih tinggi disertai tekanan yang mendesak.
Prak! Yun belum menuntaskan ucapannya, ponsel di tangan Apung mendadak melayang dan menubruk kaca bufet yang bersandar di dinding ruangan. Kaca bufet pecah, Yun tersentak sehingga napasnya tertahan, mulutnya bungkam, dan tiba-tiba saja air matanya meleleh tanpa aba-aba.
Seekor lalat hinggap di tepi mangkuk soto. Seekor lalat lain datang menyusul, dan akhirnya nyemplung dan berenang dalam kuah soto yang sudah dingin.
Yun sama sekali tidak peduli, lalat itu sama sekali tidak mengusiknya atas kelancangan mereka pada soto yang seharusnya menjadi sarapan paginya.
Dari dalam kamar, suara bayi yang belum genap satu bulan merengek. Semestinya bayi itu sudah mendapat jatah air susu Yun sejak pertama kali ia menggeliat dari tidur. Tetapi Yun terlalu asyik termenung di depan semangkuk soto. “Yun!” panggil Mak Onah, ibu Yun, dari dapur.
“Sarapannya sudah selesai?” Tangisan si Buyung rupanya mengusik Mak Onah yang sejak subuh sudah sibuk mengurusi rumah, mencuci pakaian, memasak; menggantikan tugas-tugas Yun yang baru saja bersalin. Perempuan tua itu datang jauh-jauh dari dusun untuk menemani Yun.
Tidak ada jawaban dari Yun. Mak Onah menyusul ke ruang makan. Ia mendapati Yun bagai sebongkah batu yang teguh pada duduknya, hampa. Lalat yang menggelepar di kuah soto mengejutkan Mak Onah. “Sotonya gak enak, ya?” Yun menggeleng tanpa mengalihkan mata pada Mak Onah.
“Singkirkan soto itu, Bu.”
Bukan sikap yang pernah ditunjukkan Yun sebelumnya. Untuk Mak Onah, boleh dikatakan bahwa, sikap itu ajaib untuk Yun yang tidak pernah menolak makanan apa pun sejak kecil: Yun tidak pernah menampik makanan buatannya, apalagi mengabaikan soto sendirian di atas meja sampai dingin dan direnangi lalat.
“Yun tidak ingin melihat soto lagi!” ujar Yun, saat Mak Onah hendak mengangkat mangkuk soto yang lalat telah benar-benar mati tenggelam dalam kuah soto itu. Suara Yun gemetar.
“Bukannya dulu, sewaktu kamu hamil muda, kamu sempat telepon Ibu kepingin soto buatan Ibu, Yun?”
Yun buang muka. Bibir bawahnya tidak selamat dari gigitannya sendiri. Suara yang gemetar itu, sama persis seperti sepuluh bulan yang lalu ketika ponsel Apung memecahkan kaca bufet.
“Kamu gak tau ini jam berapa? Kamu gak liat aku lagi asyik?”
“Warung soto di pojok perempatan masih buka sampai jam 11. Lagian dekat dari sini.”
“Di dapur masih ada makanan, kan? Kenapa harus soto?”
“Gak ada yang enak di lidah, Bang. Sekarang kepinginnya soto,” jawab Yun sembari mengelus perut.
“Memangnya kalau gak makan soto, kamu bakal mati? Bayinya akan protes, berontak, dan gak mau lahir. Begitu!”
“Bu-bukan begitu,” Yun berusaha menjelaskan keadaannya, yang sesungguhnya ia sendiri tidak paham. Mengapa semenjak hamil ia menjadi sangat pemilih pada makanan? Lalu, kenapa pula ia hanya menginginkan makanan tertentu secara mendadak di waktu-waktu yang tidak bisa diperkirakan? Kenapa keinginan itu mendesak dan ia merasa sangat kecewa dan sedih bila tidak terpenuhi.
“Sebelum hamil kamu makan apa saja. Kamu gak pernah pilih-pilih. Memang niat kamu mau menyusahkan suami, kan?”
Tidak. Tidak begitu, batin Yun. Ia tidak sedang bertingkah dengan membuat-buat keinginan itu. Ucapan Apung seolah tengah menuding bahwa ia menggunakan kehamilannya untuk minta dilayani lebih dan dituruti. Sekali lagi, bukan kesengajaan untuk merepotkan Apung. Tetapi hasrat itu sulit untuk ditolak Yun, kendati pun ia merasa kadang kala hasratnya cukup merepotkan dirinya sendiri seperti menginginkan yang sulit dan mustahil.
Apung keluar rumah meskipun kesal telah bertengger di ubun-ubun. Laki-laki itu kembali setelah empat puluh menit. Bukan karena antrean yang panjang, tetapi sengaja mendiamkan beberapa jenak soto yang sudah siap dibawa pulang untuk mengisap dua batang rokok. Di sana Apung duduk di tepi perempatan, di samping gerobak soto: seperti tungku api yang terus menyala. Di rumah, ia mendapati Yun tengah berbaring di depan televisi dengan mata yang sudah setengah mengantuk. Sementara televisi mengoceh sendiri dengan tayangan sinetron diselingi tiga empat pariwara.
Kejengkelan Apung kembali memuncak tatkala ia melihat ponselnya yang sudah cedera tergeletak di atas meja. Permainan seru yang terjeda beberapa saat lalu, telah memotong kesenangan Apung. Kesenangan yang hampir mencapai puncak itu sulit untuk dibangun kembali, semangat Apung sudah hambar. Apung mendekati Yun yang telah menyadari kedatangannya. Dengan senyum puas dan wajah semringah, Yun menyambut kantong keresek berisi soto ayam. Tetapi, bukan seperti yang diidamkan Yun, soto itu tidak mendarat di lidahnya untuk memuaskan hasrat makan. Apung menumpahkan isi kantong keresek itu ke kepala Yun. Kuah yang, untungnya sudah mulai dingin, mengguyur wajah dan kepala perempuan itu sehingga rambut dan separuh pakaiannya basah. Yun menjerit terkejut.
Menanyakan sikap Apung, suara Yun gemetar, “Ke-kenapa?”
“Makan soto itu sampai muntah!” bentak Apung.
Apung mengambil suwiran daging ayam dan bihun yang tercecer di lantai kemudian menjejalkannya ke mulut Yun. Sebutir telur rebus yang masih utuh pun tidak luput dari sambaran tangan Apung untuk didesak masuk ke mulut perempuan itu. Demi melampiaskan kejengkelan, Apung melakukannya beberapa kali hingga Yun kesulitan bernapas, seperti orang yang tenggelam di dasar laut.
Mak Onah tertegun beberapa jenak. “Sejak kapan aroma soto tidak kamu sukai, Yun?”
Bukannya menjawab, Yun malah menggumam, “Sejak kapan?”
Yun kembali diam setelah itu. Lebih sunyi dari sebelumnya. Dan tangis si Buyung yang kelaparan makin kencang dari arah kamar tidur.
Makassar, 2024
*****
Editor: Moch Aldy MA