Di Ponsel Genggamku Ayah Tak Juga Ada
di bawah langit kota
yang melumat tubuhku
malam membeku
angin berembus lirih
sayup kudengar suara ayah
memanggil-manggil
sedang ia tak ada di sini
dan di ponsel genggamku
ayah tak juga ada—
ratusan ribu kilometer
membentang
puluhan hari berlalu,
waktu terus beranjak
sedang kangen,
tak mampu senyap;
walau sekejap.
(Agustus, 2025)
–
Malam yang Jatuh di Kening Sunyi
aku melihat ayah termangu
memandang malam yang jatuh
meriak di kening sunyi
tubuhnya yang renta
pikirannya yang kusut
melebur bersama
kepulan asap kretek
sepanjang usiaku,
aku menyaksikan ia pandai
mengukur sunyi dan membangun
peta perjalanan untuk kami
namun, tak sekali pun
aku menemukan ia
mengukur hari dan membangun
jembatan mimpinya sendiri.
ayah payah mengakui sedih
tapi mahir menampilkan
kekuatan.
barangkali, dari sanalah
kekuatan lain lahir
dan memenuhi jiwa kami.
(Agustus, 2025)
–
Demam
ayah melahirkan waktu
dari rahim ingatanku.
ia membelah malam,
melintasi sunyi sanubari
mendekap gigil tubuhku.
sepanjang perjalanan pulang
ayah tak bersuara, hanya
derit roda yamaha yang
tersengal-sengal melintasi
terjal bebatuan.
suhu tubuhku masih 39 derajat
tapi sakit telah reda
dan harum masakan ibu
sudah tercium sejauh
15 kilometer jarak tempuh.
(Agustus, 2025)
–
Ayah dan Tanggal Istimewa
malam kian larut
jam berdetak,
dan melambat.
aku merakit doa
dari tanggal yang
baru saja berganti.
24 agustus,
hari yang terus
membayang dalam
ingatan
bahwa ia, telah
melahirkan seorang
petarung dalam hidup
(kami) yang renta—
(Agustus, 2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA