Malam itu, adikku menjadi berita buruk yang bersimbah darah di pinggir jalan. Dua tusukan di perut, dua di punggung, satu di paha—lima lubang yang merampas napasnya.
Aku, kakaknya, berdiri di dunia yang seketika kehilangan warna. Anak bungsu yang dulu kugendong di bawah matahari sore kini terbaring di bawah langit malam yang dingin, mata terbuka kosong, seperti hendak melawan gelap sampai detik terakhir.
Berita itu datang umpama batu besar yang menghantam dadaku. Ponselku berdering—suara di seberang nyaris tak jelas, bercampur deru kendaraan. Tapi ada satu kalimat yang menembus segalanya, “Dia sudah tidak ada.”
Darah di kepalaku mendidih. Telinga dan pipiku merah macam direbus.
“Bangsat! Siapa yang melakukannya?!” suaraku keluar seperti bentakan pada udara kosong.
Tak ada jawaban. Hanya napas berat, lalu pelan, “Dia… ditikam. Di jalan.”
Aku tiba ketika darah di aspal masih basah, mengalir pelan di bawah cahaya lampu jalan. Garis polisi membatasi tempat itu, menjaga jarak antara kematian dan rasa ingin tahu orang-orang.
Di pinggir trotoar, tubuh adikku tergeletak—tanpa kain penutup, tanpa jeda dari rasa sakit yang membekukannya. Mata dan mulutnya terbuka, seolah masih mencoba mengucapkan sesuatu yang tak sempat sampai.
Di balik garis pembatas, orang-orang menonton seperti menyaksikan pertunjukan murahan: berbisik-bisik, mengangkat ponsel. Sirene ambulans terdengar sayup, lalu terdiam. Seorang polisi membungkuk, memotret, mengabadikan detik-detik terakhir yang seharusnya tak pernah ada.
Aku melangkah, mencoba menembus garis itu. Ingin menyentuhnya. Mengangkat kepalanya. Memaksanya menjawab kenapa.
Dua petugas menahan bahuku.
“Jangan, Pak. Proses identifikasi.”
Aku terpaku di tepi jalan. Angin malam menggigit kulit, tapi panas di dadaku tak mau padam. Mataku menatap noda merah di aspal—mengalir panjang di sepanjang jalan, seperti menolak berhenti, seperti masih mencari arah pulang.
Beberapa jam kemudian, kabar itu datang: pelaku menyerahkan diri. Tidak lari, tidak sembunyi. Ia datang sendiri ke kantor polisi, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar. Badik yang dipakai sudah ia buang di semak-semak dekat lokasi.
Kupikir aku akan langsung menerjangnya saat bertemu. Nyatanya, pertemuan itu tidak seperti yang kubayangkan.
Keesokan paginya aku mendatangi kantor polisi. Ruang interogasi sempit itu pengap, bau kopi basi bercampur asap rokok yang menempel di dinding. Pelaku duduk di kursi besi, tangannya diborgol. Wajahnya pucat, matanya merah—bukan sekadar kurang tidur, tapi bekas menangis.
Aku berdiri di ambang pintu. Polisi di sebelahnya menoleh.
“Ini kakaknya korban,” katanya.
Pelaku menunduk. Perlahan, ia mengangkat wajah. Ada gurat yang sulit diuraikan—marah, takut, dan hampa sekaligus.
“Kenapa kau bunuh dia?” tanyaku. Suaraku pecah tapi kering.
Ia terdiam. Polisi mendesak, “Jawab saja.” Tarikan napasnya panjang, lalu kata-kata itu keluar seperti beban yang dimuntahkan.
“Aku suami dari perempuan yang dia ajak bertemu.”
Aku terpaku. Polisi di sebelahnya sedikit condong, memancingnya bercerita.
Beberapa hari terakhir, katanya, ia menemukan percakapan istrinya di WhatsApp dengan adikku. Bukan basa-basi. Ada godaan. Ada janji bertemu. Dan, menurutnya, adikku tahu perempuan itu sudah bersuami.
“Dia tahu,” suaranya serak.
“Dia tahu, tapi tetap mau. Malam itu aku pakai ponsel istriku. Kubalas chat-nya. Kuberi titik lokasi. Dia datang… dia tersenyum waktu lihat aku mendekat. Mungkin mengira aku adalah istriku.”
Ia terhenti, menunduk. “Aku tak pikir panjang lagi. Bara di kepalaku… cuma bisa padam kalau aku tikam dia.”
Aku menatapnya lama. Polisi mencatatku. Di kepalaku, kata-katanya membentuk gambar yang kejam—dan, entah kenapa, terasa begitu akrab.
Aku pernah berada di posisinya. Bukan sebagai pelaku. Bukan sebagai korban. Tapi sebagai suami yang ditinggalkan, dikhianati, dan ditertawakan di belakang. Aku tahu bagaimana rasanya: perih yang menembus tulang, rasa tak berdaya yang membakar harga diri hingga abu. Bedanya, aku tidak pernah menghunus badik. Tapi bukan berarti aku tak pernah membayangkannya.
Hari pemakaman berlangsung singkat. Wajah ibu bengkak, matanya nyaris tak bisa terbuka setelah semalaman menangis. Tubuh adikku yang terbungkus kain kafan putih diturunkan ke liang. Suara tanah menimpa kain itu, disusul doa-doa yang tercekat. Tak ada yang berani menyebut motifnya lantang, tapi gosipnya sudah beredar lebih cepat daripada doa yang dikirimkan untuknya.
Malamnya, aku tak bisa tidur. Kata-kata pelaku menguntit pikiranku: Bara di kepalaku… cuma bisa padam kalau aku tikam dia.
Esoknya, aku kembali ke kantor polisi. Bukan untuk membalas dendam, bukan pula untuk memberi maaf. Hanya untuk menatap matanya sekali lagi.
Kami duduk di ruangan yang sama. Kali ini hanya ada satu petugas di luar pintu.
“Kau tahu?” tanyaku.
“Aku benci kau. Kau bunuh adikku. Tapi…” Aku menarik napas panjang. “Tapi aku mengerti kenapa kau lakukan itu.”
Ia mengerutkan kening, seolah tak percaya pada apa yang baru ia dengar.
“Aku juga pernah dikhianati. Aku tahu rasanya ingin menghapus segalanya dalam satu tebasan. Bedanya, aku tak sampai melakukannya.”
Pelaku menunduk. Suaranya hampir hilang. “Kalau kau di posisiku malam itu… mungkin kau juga akan melakukannya.”
Aku tak menjawab. Di luar, hujan mulai turun, mengetuk atap seng kantor polisi seperti ribuan jarum halus.
Orang akan bilang aku gila—kakak korban yang sedikit banyak membenarkan pembunuhan itu. Aku tidak membenarkannya. Hukum harus berjalan. Tapi aku tak bisa membohongi diriku: ada bagian di dalamku yang merasa puas. Bukan puas karena adikku mati, melainkan karena seseorang akhirnya menjadi tangan yang melepaskan amarah yang selama ini terkunci di dadaku.
Malam itu aku duduk di teras. Jalanan lengang. Dalam kepalaku, malam pembunuhan itu terulang: adikku datang, mungkin tersenyum kecil, lalu mendapati sosok yang bukan ia harapkan. Waktu berhenti, memberi ruang bagi amarah seorang suami yang sudah terlalu lama membara.
Aku tak tahu apakah pelaku merencanakannya atau sekadar terseret emosi. Yang kutahu, bara itu sudah ada sejak lama. Bara yang juga pernah membakar dadaku. Bara yang bisa membakar siapa saja.
Pemakaman telah usai. Pelaku menunggu persidangan. Dan aku… menunggu sesuatu yang tak bisa kuterangkan.
Kadang aku berpikir, andai aku tak pernah merasakan pengkhianatan itu, mungkin aku akan menuntut mati pelaku. Tapi hidup hadir begitu aneh. Luka di masa lalu bisa mengubah cara kita menimbang benar dan salah.
Di mataku, pelaku bukan hanya pembunuh adikku. Dia juga adalah aku—di dunia yang sedikit bergeser, di semesta yang sedikit lebih gelap. Dan entah kenapa, malam ini, untuk pertama kalinya sejak adikku mati, aku bisa tidur nyenyak.
*****
Editor: Moch Aldy MA