Bara Dendam Berta

Pitrus Puspito

2 min read

Sore sedang sangat indah di sebuah perbukitan yang ditanami pohon-pohon cengkih.
Seorang gadis kecil berwajah kumal lunglai di bawah pohon yang mengering. Dia adalah Berta. Wajahnya tampak lelah. Matanya sembap dan pipinya berlinang air mata.

Berta punya alasan untuk meratap di sana. Ia baru saja berdebat dengan orang-orang asing yang membawa gergaji mesin di tangan mereka. Orang-orang itu telah meninggalkannya, menuruni lereng menuju pondok kayu mereka untuk beristirahat.

Berta percaya bahwa orang-orang asing itu dikuasai oleh sang iblis. Bahkan kini, iblis telah menggoda dirinya juga untuk membalas dendam.

“Ibu benar,” kata Berta pada dirinya sendiri. “Rakyat kecil selalu tak berdaya di hadapan penguasa dan pengusaha.” Berta kini memahami pesan ibunya itu.

Berta tak banyak mengingat tentang ayahnya yang meninggal saat ia masih kecil. Kenangan tentang sang ayah hanya berupa foto hitam-putih yang selalu disimpan ibunya. Orang-orang bilang bahwa ayah Berta meninggal karena kecelakaan. Namun, sebagian orang memercayai bahwa ayah Berta mati dibunuh.

Namun, Berta sangat mengingat sosok ibunya, yang juga telah meninggal dua tahun lalu karena suatu penyakit. Ibunya selalu mengajarkan tentang menjaga dan merawat pohon. Sebelum meninggal, ibunya telah berpesan bahwa Berta harus menjaga pohon-pohon cengkih yang mereka tanam itu.

“Pohon-pohon cengkih ini akan memberi kita penghidupan.” Begitu pesan ibunya dulu. Tahun-tahun telah dilewati Berta bersama ibunya untuk merawat pohon-pohon cengkih itu. Kelak, ketika pohon-pohon itu berbuah, masa depan Berta dan ibunya akan terjamin. Berta dan ibunya sangat sabar merawat pohon-pohon cengkih itu—memberinya pupuk, memotong dahan-dahan kering, dan menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitarnya.

Namun, kini semua musnah. Di hadapan Berta, dua puluh pohon cengkih yang hampir panen dibabat habis oleh orang-orang asing. Air mata Berta menetes ke tanah yang diwariskan orang tuanya itu. Malam benar-benar telah turun ketika Berta mulai lelah dan terlelap di antara pohon-pohon cengkih yang tumbang.

***

Berta terbangun dari tidurnya ketika rintik gerimis mulai menetesi pipinya. Di kejauhan, ia mendengar gelegar petir—diikuti tiga gelegar lagi. Ini berarti hujan sebentar lagi akan tiba. Berta sudah tidak peduli dengan hujan sekarang. Bahkan seandainya lereng bukit ini longsor pun, ia tak peduli.

Kemarahan membuat Berta menantang kematian. Angin dingin menghempas tubuhnya. Berta tidak bergeming.

“Mungkin aku harus menyusul Ibu. Bagaimanapun, hidup ini tidak adil bagi kami,” kata Berta kepada dirinya sendiri.

Ia duduk sejenak, dengan saksama memerhatikan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya: langit gelap, tiada satu pun bintang terlihat. Awan hitam tampak berkumpul di atas desa.

“Aku ingin bencana besar terjadi malam ini. Aku ingin banjir bandang datang menenggelamkan semua manusia yang serakah,” kata Berta kepada langit.

Baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, terdengar kembali gemuruh petir, diikuti lolongan anjing-anjing hutan. Suara petir kini semakin dekat. Berta bangkit berdiri, wajahnya menengadah ke langit, merasakan dinginnya air hujan, dan menyadari bahwa langit telah mendengar permintaannya.

***

Pagi telah tiba. Berta melihat pemandangan yang menakjubkan di hadapannya. Lereng perbukitan telah longsor, menimbun jalan di bawahnya, bahkan beberapa rumah penduduk di seberang jalan.

Berta menyadari bahwa longsor ini adalah akibat dari penebangan pohon secara massal. Setidaknya, itulah yang diajarkan gurunya di sekolah tentang fungsi pohon dalam mencegah banjir dan longsor.

Namun, Berta juga percaya bahwa ini adalah balasan dari alam. Alam mendengarkan permohonannya yang tulus. Dulu, ibunya pernah membacakan sebuah pepatah dari suku Indian tentang perusakan alam. Berta yakin pepatah itu adalah semacam mantra para suku Indian yang bersedih kehilangan tanah dan hutan mereka.

Berta hafal dengan pepatah itu: “Ketika pohon-pohon terakhir telah ditebang dan sungai terakhir telah mengering, uang pun tak dapat dimakan.”

Seketika itu, Berta tersadar akan keserakahan manusia. Betapa jahatnya orang-orang asing itu. Mereka mengatasnamakan pembangunan strategis nasional untuk merenggut mimpi-mimpi rakyat kecil seperti dirinya.

Untuk menciptakan kehancuran, manusia dan iblis tak membutuhkan banyak waktu. Mereka dapat menebang pepohonan yang berumur ratusan tahun, atau ribuan batang cengkih dalam sekejap. Namun, Berta juga percaya bahwa alam lebih berkuasa dari manusia. Alam hanya butuh waktu sekejap untuk membinasakan apa saja.

Berta mengenang kembali ibunya, yang selalu mengisahkan alam sebagai sosok yang menumbuhkan dan merawat apa saja yang bertunas di atasnya. Namun, kini Berta telah melihat sisi lain dari alam—yakni alam yang marah dan membalas dendam.

Jadi, sekarang Berta hanya perlu menunggu dan melihat apa yang akan terjadi. Apa lagi yang akan ditumpahkan langit kepada keserakahan manusia yang tak berujung ini.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Pitrus Puspito

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email