“Ada sesuatu di tenggorokanku,” ini yang ke tujuh belas kalinya Sadir berkata begitu. “Mungkin tulang ikan, mungkin radio, mungkin juga piringan hitam. Entahlah. Besok aku akan pergi ke puskesmas.”
Sembari mengelus-elus perutnya yang sebesar semangka, Ghania melempar pandangan ke arah jendela. Terlintas malam-malam bersama Sadir yang cukup mencekam di atas ranjang mereka: suaminya kerap mendengus dan menggeram layaknya satwa liar. “Kau tidak perlu pergi ke puskesmas,” sahutnya. “Dokter, perawat, atau bahkan ahli bedah dengan gelar sebanyak apapun, tidak akan mampu untuk menemukan sesuatu dalam tenggorokanmu itu.”
Tampak Sadir tengah menggaruk-garuk lehernya yang semerah kepiting panggang. “Mengapa?”
“Sebab,” Ghania menoleh. “Ada seekor babi dalam tenggorokanmu.”
***
Kemunculan hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung lemper itu terakhir kali disaksikan oleh Barman Sulapadri. Petang ketika ia menggiring kambing-kambingnya dari lapangan merah, Barman mengaku melihat mahkluk berbulu cokelat menyelinap di balik semak-semak. Mengetahui apa yang sedang dilihatnya dan itu adalah fenomena yang sangat asing, Barman sontak berteriak, “Celeng! Ada celeng!” Ia lalu mengambil sebatang ranting yang jatuh, mengejarnya dengan gerakan selincah tupai, meski dalam hati Barman berpikir: jika ia dikejar balik, tamatlah riwayatnya.
Babi itu terhitung besar kalau dibandingkan dengan ukuran babi-babi ternak pada umumnya, begitu Barman menjelaskan. Tangannya membuat isyarat: kira-kira selebar empat langkah kaki, tingginya sepinggang orang dewasa, tebal tubuhnya seperti berbelas-belas lapis roti dengan isian ayam opor. Entah apa yang mampu membikin Barman berani memburu makhluk itu dengan modal satu batang ranting kayu, tapi yang pasti, jejak hewan itu serta-merta raib di persimpangan jalan. Barman bingung bukan kepalang, bisa-bisanya hewan dengan ukuran yang abnormal itu mampu membelok ke sana-ke mari, menyelinap tak ubahnya seperti cacing, lekas menghilang tanpa bunyi: hal yang sangat tidak mungkin dilakukan oleh seekor babi raksasa. Barman yakin, sosok yang dilihatnya saat pertengahan tahun itu bukanlah sosok binatang biasa. “Tidak ada yang memelihara babi di sini,” jelasnya. “Kompleks yang kecil. Rumah-rumah yang padat. Nihil hutan, hanya ada lapangan. Pohon-pohonnya juga sedikit. Dari mana asal-muasal hewan liar itu tercipta? Kambing-kambing saya saja beberapa di antaranya sudah ada yang tidak mau memakan rumput. Kadang, mereka lebih memilih makan kentang goreng yang baru saya beli dari pinggir jalan.”
Orang-orang pula percaya bahwa memang ada seekor babi yang lari lintang-pukang mengelilingi kompleks mereka. “Saya dengar Barman berteriak. Ketika saya membuka jendela, saya lihat Barman mengacung-acungkan ranting kayunya, dan persis di hadapannya, saya seperti melihat mainan mobil-mobilan anak saya yang berumur tujuh tahun sedang dikendarai seseorang dengan kecepatan maksimal. Bedanya, mobil ini berbulu, tidak sedang dikendarai seseorang, dan punya suara menggeram bagai anjing.”
“Sekalipun ada yang memelihara babi,” istri Barman Sulapadri menimpali. “Saya yang akan pertama melakukan demonstrasi di depan ketua RT. Kambing-kambing suami saya saja sudah mampu membikin kepala saya mau meledak karena ingar-bingar hewan itu sangat tidak cocok berada di kompleks ini. Ayam saja sudah begitu risih, apalagi kerumunan kambing,” ia menghela napas, “apalagi seekor babi!”
Rekaman CCTV dari pelbagai rumah tentu mendadak beredar di saluran televisi serta media sosial: memperlihatkan seorang laki-laki paruh baya berteriak-teriak sembari membawa ranting kayu dan tampak mengejar sesuatu bertubuh gempal, yang sampai saat ini, sesuatu itu tak kunjung berhasil terkejar. Bahkan, musnah tanpa menyisakan tapak.
Orang-orang menyebutnya sebagai Babi Perumahan Elit. Itu boleh dijadikan sebuah kisah turun-temurun yang cukup apik, pikir Barman.
***
“Kau tahu soal itu, Mas?”
“Aku tahu, tapi tidak terlalu peduli.” Sadir melepaskan dasinya lalu melemparkannya sembarang arah. Diambilnya remot, diganti-gantinya saluran televisi yang kala itu hanya menampilkan berita tentang kemunculan babi. “Buatkan aku kopi,” pintanya.
Ghania mengelus-elus perutnya yang telah tumbuh selama delapan bulan. “Kau sudah cek halaman belakang, Mas?”
“Halaman belakang? Ada apa? Kemarin aku ke sana, bukan?” Sadir menatap balik istrinya yang berada di belakang punggung lehernya, kendati yang lebih ditatapnya adalah sebungkus kopi yang tampak tergeletak di atas meja makan. “Aku memperbaiki gudang kemarin, kau tahu itu.”
“Ya,” sekonyong-konyong lidah Ghania seperti banting setir: belok ke kanan, belok ke mari. Ia jadi tergeragap. “T-tapi, apakah mas tidak berpraduga bahwa kerusakan yang terjadi pada gudang di belakang rumah…”
Sadir mengernyitkan dahinya.
“Adalah ulah dari babi yang dikejar Barman?”
***
Ghania dapat insting buruk: petang itu, boleh-boleh babi yang diburu Barman masuk ke dalam rumahnya. Mereka baru pindah rumah ke kompleks ini. Tempat yang mereka tinggali merupakan bekas sebuah pasangan lansia. Maklum, suaminya perlu memperbaiki banyak hal, termasuk halaman belakang yang kata suaminya kurang begitu aman. Musang bisa dengan begitu mudah masuk melompati pagar atau bahkan menubruknya. Sama halnya untuk maling, atau seekor siluman babi.
Halaman belakangnya itu tidak pernah dipasangi lampu. Menurut Sadir, itu hanya buang-buang listrik. Lagipula, tidak ada satu pun dari mereka yang mau tidur di sana. Kalau malam datang, biarlah gelap. Biarlah seperti yang semestinya. Namun, Ghania berpegang teguh pada perkataan ibunya dahulu: bahwa sesuatu yang gelap itu tidak baik. Dan, Ghania tidak mau sesuatu yang tidak baik terjadi pada keluarganya. Apalagi mereka baru diberi karunia berupa calon anak pertama.
“Ada kemungkinan besar,” tanggap Pok Imah. “Rumahmu dekat sekali dengan persimpangan jalan. Boleh-boleh itu satu di antara kemungkinan lain yang membikin hewan itu bisa raib dalam waktu kurang dari sedetik.”
Selain kerusakan pada pagar dan isi gudang yang serta-merta berantakan layaknya terdapat angin puting beliung yang hanya berputar-putar di dalam sana, Ghania pula menemukan rumput-rumput halaman belakangnya seperti tidak setegak sedia kala. Tumbuhan itu seperti diinjak-injak. Ya, tentu diinjak-injak oleh kaki. Oleh kaki yang begitu besar, batinnya.
***
Sardi menggeram. Mendengus. Sesekali membunyikan suara seperti tikus, “Cit! Cit! Cit!” Dan itu mampu membuat Ghania hampir pingsan. Setiap kali Sardi membunyikan suara-suara aneh melalui tenggorokannya, lampu di kamar mereka seketika mati. Malam seperti lebih muram dari biasanya. Ghania bahkan sampai harus membeli banyak bohlam untuk berjaga-jaga dan mengganti lampu-lampu yang padam itu. Tak jarang Sardi kesal karena menurutnya apa yang dilakukan Ghania sekadar membuang-buang duit. Namun, perkataan ibunya selalu terngiang-ngiang dalam saluran auditori Ghania: bahwa sesuatu yang gelap itu tidak baik.
“Dan aku tidak mau sesuatu yang tidak baik terjadi pada keluarga kita,” ungkapnya pada Sardi.
Tentu, suaminya itu mendadak seperti anak kecil yang tidak kebagian permen: kesal, marah-marah, menggerutu sendiri, atau bahkan jika tantrumnya itu sudah sampai di titik paling mendidih dalam saraf kepalanya, Sardi akan berteriak, “Babi!” Lalu memukul kepala Ghania.
“Ibu melihat ada sesuatu yang tidak terang dalam hubunganmu dengan Sardi,” lontar ibu Ghania sebelum hari pernikahan mereka. “Kamu yakin sudah jujur pada ibu?”
Ghania meremas jarinya seperti ketika ia meremas potongan jeruk untuk dijadikan sambal jeruk limau di atas cobek. Ia tidak bisa membeberkan semua yang dilakukan Sardi padanya jikalau ia ingin mendapat uang pengobatan ibunya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Seperti saat satu minggu sebelum Sardi melamar Ghania, ibunya itu tiba-tiba muntah darah. Kerongkongannya bagai hampir robek. Dan tentu itu butuh penanganan yang cepat. Ghania butuh uang. Hanya Sardi yang mampu membuat ibunya selamat, kendati ia terus meyakinkan dirinya: bahasa kasih yang dimiliki oleh Sardi mungkin sedikit berbeda. Mantan peternak babi yang beralih profesi sebagai pengusaha pakan babi itu bisa jadi menggunakan kata ‘cinta’ sebelas-dua belas dengan kata ‘babi’.
“Babi! Sudah aku bilang tidak ada babi atau siluman babi atau raja babi yang masuk ke rumah kita, babi!” Sardi melempar gelas kopinya, lalu dengan langkah berdebam-debam, ia pergi menuju kamar, tak lupa membanting pintunya.
Pertama kali Sardi menunjukkan gelagat aneh, Ghania kira itu hanyalah tabiat biasanya yang suka mengeluarkan kata ‘babi’. Namun, ternyata tidak. Ada sesuatu yang janggal dalam tenggorokannya, bahkan sampai permukaan kulitnya berubah warna jadi merah padam. Rahasia selain kelakuan mistis Sardi tentu ia simpan rapat-rapat atas nama baik pernikahan mereka: dalam lubuk hatinya yang begitu dasar, begitu curam, dan begitu gelap.
***
“Ini bukan lagi soal kegelapan malam,” terang Pok Imah yang pada akhirnya buka suara. “Ini tentang gelapnya hubungan kalian yang bahkan lebih gelap dari malam itu sendiri.”
“Lantas, apa yang harus kulakukan, Pok?”
Pok Imah tampak tercenung sejenak, menelan ludah, sebelum pada akhirnya menghela napas dan mengeluarkan satu kata, “Pergi.”
Malam itu, Sardi kejang-kejang. Bedanya bukan kejang-kejang biasa dan bukan pula situasi yang biasa: seluruh barang di dalam kamarnya mendadak terlempar ke sana-ke mari. Sardi mengendus-endus, merangkak-rangkak, dan hampir mau menggigit tangan Ghania. Diambilnya senter, ditendangnya kepala Sardi sebagai teknik perlindungan diri, lalu Ghania membuka mulut suaminya itu dengan susah payah: peluh membanjiri lehernya. Dilihatnya di sana, tampak ada buntut seekor hewan yang mengayun seperti ekor kucing, ke kanan dan ke kiri, menjulur dari bagian dalam tenggorokan dan tengah-tengah kedua amandel Sardi.
Ghania panik tak karuan. Ia lempar senter itu dan segera beranjak menuju lantai bawah. Namun, Sardi dengan gesit mencengkeram perutnya, membantingnya ke dinding, lekas Ghania berguling-guling menuruni tangga. Darah merembes dari balik celananya. Rasa nyeri timbul di penjuru sudut tubuhnya. Ghania mengerang, dan tepat di atasnya, Sardi sedang menyeringai sembari perlahan-lahan menuruni anak tangga: satu per satu. Geramannya semakin terdengar jelas.
Dipegangnya kursi ruang tamu, diangkatnya kaki dengan begitu pelik, Ghania menuju halaman belakang disertai aliran darah yang menitik-nitik sepanjang lantai. Ia membuka pintu gudang, mengunci dirinya, dan tiba-tiba tumbang ke atas tumpukan pakan babi. Ghania rebah, tak sadarkan diri, sedang telinganya masih mendengar suara geraman Sardi.
Keesokan harinya, Ghania bangun-bangun dalam kondisi perut yang sudah kempis. Darah di mana-mana. Ia buka pintu gudang dan menemukan Barman Sulapadri tengah berteriak-teriak, “Celeng! Celeng!” sembari mengacung-acungkan ranting kayu. Persis di hadapan matanya, Ghania menyaksikan dua ekor babi hitam lari lintang pukang. Satunya kecil, satunya besar.
*****
Editor: Moch Aldy MA
