Ini akan menjadi aksi terakhir Nurdin Majid, setelah sebelumnya berhasil menipu korbannya dengan modus jual beli kendaraan. Ia menelepon dengan waswas di kamar yang pengap dan panas. Tubuhnya bermandi keringat. Bau apak menguar dari alas tidur dan pakaian tergantung. Agar aman, seorang siaga di depan pintu bangunan. Ia akan memberi tanda jika ada sipir mendekat.
Bagi Nurdin Majid itulah saat paling krusial, sebab korbannya — penjual dan pembeli — akan bertemu. Jika berhasil, korban akan mengirim sejumlah uang sesuai harga yang disepakati. Uang itu bisa Nurdin Majid gunakan untuk pengobatan istrinya. Meski demikian perasaan bersalah sesekali berkelebat di kepalanya. Sebab aksinya bikin susah korbannya atau bahkan membuat mereka berakhir dengan aksi baku tonjok.
Tidak ada pilihan lain, istrinya sakit serius dan harus segera dioperasi. Jika tunda, nyawanya tak tertolong. Nurdin Majid tak bisa berbuat apa-apa, geraknya dibatasi. Tiga bulan lalu, ia masuk penjara, karena truk pasir yang ia bawa melindas tubuh seorang pengendara motor. Nurdin Majid merasa tak bersalah, kematian itu murni kelalaian korban. Namun keluarga korban tidak terima. Nurdin Majid akhirnya berakhir di penjara dengan masa hukuman empat tahun.
Kabar tentang kondisi istrinya ia dengar dari ibunya beberapa minggu lalu. Sejak dulu istrinya sesekali mengeluh sakit tapi, Nurdin Majid tak menyangka bisa seserius itu. Barulah saat ibunya mengunjunginya di penjara, Nurdin Majid tahu jika ada masalah pada batu empedunya, sehingga harus segera diatasi. Mendengar kabar itu, seolah pendulum besar tak kasat mata menghantam dadanya.
“Istrimu harus dioperasi, Nak. Itu kata dokter, tapi ibu kekurangan biaya,” keluh ibunya terisak.
Nurdin Majid meminta ibunya sabar dan bilang akan coba cari jalan keluar. Setelah kunjungan ibunya berakhir, Nurdin Majid segera menghubungi satu persatu kenalannya di wartel penjara. Namun, mereka tak cukup percaya dengan omongan janji cepat lunas seorang pesakitan.
Sore itu Nurdin Majid gelisah, pikirannya kalut. Satu sisi ia harus mengumpulkan uang secepat mungkin, di sisi lain itu mustahil sebab ia berada di penjara. Di tengah lamunannya perhatiannya tiba-tiba tertumbuk saat mendengar salah seorang teman sekamarnya berhasil menipu puluhan juta rupiah. Seperti menemukan peta saat tersesat di wilayah asing, Nurdin Majid berpikir mungkin itu bisa jadi solusi.
Malam itu Nurdin Majid meminta tolong kepada Boni Sitaba, salah satu narapidana yang berkuasa di kamar itu. Boni Sitaba mempekerjakan dua narapidana lainnya dengan meminjamkan ponsel pintar miliknya. Sebagai balasan, mereka harus membagi dua hasil kerjanya kepada Boni Sitaba.
Boni Sitaba bersedia membantu Nurdin Majid, selain iba, ia masih punya ponsel pintar yang diselundupkan kerabatnya saat membesuk. “Tapi ada satu catatan, jangan sampai kau seret-seret namaku jika petugas menemukan ponselmu. Ingat itu,” Boni Sitaba memperingatkan.
Nurdin Majid awalnya bimbang, sebab jika aksinya ketahuan sipir, ia akan dijebloskan ke sel isolasi dan tercatat melakukan pelanggaran. Dari keterangan sesama narapidana, sel itu sesak dan bau dan sempit. Narapidana yang bikin ulah bisa terkurung berhari-hari sampai berminggu-minggu di sana. Jelas sipir tak akan mentoleransi setiap pelanggaran. Namun demi istrinya, Nurdin Majid rela mengusir ketakutan-ketakutan itu dari kepalanya.
Nurdin Majid mulai mempelajari sedikit-sedikit alur penipuan modus jual beli kendaraan. Mula-mula ia akan mencari korbannya di grup jual beli di Facebook. Ia menekuri layar ponsel pintarnya secara teliti untuk melihat postingan motor dan mobil yang dijual, sekaligus mencari orang yang butuh kendaraan dengan spesifikasi tertentu. Saat menemukan orang yang jual kendaraan, ia mengaku jadi pembeli. Sebaliknya saat menemukan orang yang ingin membeli, ia akan pura-pura jadi penjual. Tugas Nurdin Majid mempertemukan pembeli dan penjual ini. Sementara tetap bekerja, Nurdin Majid harus menajamkan antena kewaspadaannya dari kehadiran sipir.
Saat situasi genting Nurdin Majid sudah menyiapkan tempat untuk menyembunyikan ponsel pintarnya, dipilihnya sisi bawah lemari pakaian. Tripleks dasar lemari dibuat bersusun, di antaranya ada celah yang tidak terlihat. Celah itu bisa dijangkau jika penutup ditarik ke atas. Lemari itu berlindung di balik toilet kamar sel, sehingga pandangan orang yang berada di abang pintu kamar jadi terhalang. Nurdin Majid akan menyembunyikan ponsel pintarnya di sana, di bawah tumpukan pakaian-pakaian yang tersusun rapi.
Di awal percobaan, aksi Nurdin Majid selalu gagal dan berakhir umpatan dan ancaman lapor korbannya. Makian itu mengendap di pikiran Nurdin Majid, meninggalkan perasaan sentimental atas aksi tercelanya, apalagi saat salah seorang korban mengutuk Nurdin Majid dan keluarganya agar tidak selamat dunia akhirat. Wajah istrinya selalu berkelebat di kepalanya.
Ia menyesali keadaan yang tidak memberikan pilihan baginya, seolah Nurdin Majid didorong ke sisi jurang dan disuruh melompat tanpa pengaman. “Jika kau kesulitan, lempar kepadaku, biar aku bantu,” usul Boni Sitaba saat Nurdin Majid menceritakan kegagalannya.
***
Narapidana yang memantau di depan bangunan bergegas masuk ke depan kamar Nurdin Majid saat melihat sipir mendekat. Ada enam kamar sel di bangunan itu dan Nurdin Majid berada di ujung bersama satu kamar di hadapannya. Mendengar peringatan itu, Nurdin Majid buru-buru menyingkirkan pakaian dan mengangkat tripleks dasar lemari, dengan cekatan memasukkan ponsel pintarnya.
Tidak ada narapidana selain Nurdin Majid di kamar itu, semuanya berkeliaran cari angin sore di halaman depan bangunan. Mereka tak tahan seperti cacing kepanasan. Barulah Nurdin Majid legah, saat teman sekamarnya menyampaikan jika kondisi sudah aman.
Nurdin Majid bergegas mengambil ponsel pintar, mengecek respon kedua korbannya setelah menentukan lokasi pertemuan. Tidak berselang lama, Sebuah pesan Whatsapp masuk disusul pesan dari kontak lainnya. Keduanya sepakat bertemu di lokasi yang ditentukan.
Nurdin Majid lantas menghubungi pembeli kendaraan dan memulai bualannya. Ia beralasan ada urusan mendadak, sehingga mengutus keluarganya untuk membawa kendaraan. Nurdin Majid meyakinkan pembeli untuk menghubunginya saat ingin negosiasi harga dan tidak sekalipun membahas harga dengan orang yang akan ditemui. Barulah Nurdin Majid memutus panggilan telepon saat yakin korbannya akan mengikuti permintaannya.
Nurdin Majid selanjutnya menghubungi pemilik kendaraan sebenarnya, di saat itu ia juga beralasan dirinya berhalangan datang dan hanya mengutus kenalannya. Ia pun berusaha meyakinkan orang di seberang telepon untuk tidak ungkit soal harga.
Nurdin Majid selalu berusaha meyakinkan korbannya untuk tidak bicara harga, sebab saat ia pura-pura jadi penjual ia akan menawarkan harga terendah agar korban tergiur. Sebaliknya saat jadi pembeli, ia akan menawar dengan harga tinggi bahkan kasih janji duit lebih agar korbannya dibikin senang sampai-sampai hilang akal. Jika mereka bahas harga tentulah mereka sadar mereka lagi dikibuli.
Di luar terdengar riuh sorak-sorai narapidana yang menonton pertandingan sepak bola di halaman. Nurdin Majid mengambil bajunya yang sejak tadi ditanggalkan, kemudian mengelap keringat di tubuhnya dan mengibas-ngibaskan untuk mengumpulkan angin.
Tidak berselang beberapa saat si korban menelepon Nurdin Majid dan mengabarkan jika dirinya sudah bertemu dengan keluarga Nurdin Majid. Ia mempersilakan lelaki di seberang telepon untuk mengecek kendaraan dan surat-suratnya, sebelum akhirnya memutuskan panggilan. Nurdin Majid bersandar di dinding kamar sambil memeluk lututnya. Ia berharap aksinya mulus.
Narapidana lain masuk ke kamar, mengambil kitab suci di sisi bantalnya lantas berlalu pergi, sesaat setelah itu muncul sebuah panggilan di ponsel pintar Nurdin Majid. Ia segera mengangkat telepon dan lelaki di seberang telepon mengaku puas dengan kondisi motornya. Si korban lantas mengirim sejumlah uang ke rekening yang sudah disiapkan Nurdin Majid.
Sebuah bukti kirim masuk tanda transaksi sukses. Nurdin Majid segera mematikan ponselnya dan menemui Boni Sitaba untuk membagi dua hasil kerjanya. Jika dikumpulkan dengan uang yang sudah ia peroleh dari aksi sebelumnya dan sedikit pinjaman dari Boni Sitaba, itu sudah cukup untuk operasi istrinya.
***
Malam itu ia terjaga hingga dini hari. Nurdin Majid gelisah sebab hari itu istrinya dioperasi dan ia belum menerima kabar. Ia berusaha menghubungi ibunya namun tak ada sambungan. Narapidana lain sudah tertidur pulas. Suara lonceng dari empat penjuru mata angin saling bertalu, tanda kesiapsiagaan sipir piket malam.
Pikirannya surut ke masa silam, menelusuri jejak awal pertemuan dirinya dengan istrinya, masa-masa kenalan, awal pernikahan, hingga usaha mereka banting tulang memenuhi kebutuhan. Semuanya hadir berkelebat di dalam kepalanya, berlomba-lomba merebut ruang yang tersisa, hingga akhirnya mengantarkannya pulas.
Keesokan paginya saat petugas sipir masuk ke kamar dan menyuruh narapidana bergegas ke masjid untuk belajar baca Al-Quran, Nurdin Majid mendapatkan panggilan lewat pengeras suara. Dadanya bergemuruh, perasaannya tak karuan. Nurdin Majid meminta izin kepada petugas dan segera ke sumber suara.
Saat sampai di ruang tunggu, Nurdin Majid melihat sosok yang tak asing baginya. Laki-laki itu duduk gelisah. Saat melihat Nurdin Majid laki-laki itu berdiri dan dengan ragu, ia menyampaikan sebuah pesan jika istri Nurdin Majid sudah tiada.
Mendengar itu, seolah waktu membeku, nafasnya tersengal-sengal tak karuan. Kenyataan itu seolah mengisap seluruh energi Nurdin Majid hingga kakinya tak mampu menyangga tubuhnya. Nurdin Majid memegang dinding mencoba menyeimbangkan bobotnya, sebelum merosot duduk di kursi besi dengan tubuh terguncang karena terisak.
Seolah belum cukup derita Nurdin Majid, sesaat kemudian dua lelaki yang memperkenalkan diri sebagai polisi masuk ke ruangan itu bersama seorang sipir. Mereka menyampaikan jika dari hasil penelusuran, Nurdin Majid terlibat aksi penipuan. Kabar itu seolah menyempurnakan penderitaannya, membuat malam perlahan jatuh di matanya.
*****
Editor: Moch Aldy MA
