Dalih Pembunuhan

Dhony Fachri Wibawa

4 min read

Kantor Prof. Dr. Hartawan terletak di lantai tiga gedung Fakultas Ilmu Sosial, menghadap ke sebuah amphiteater kecil di dekat perpustakaan pusat kampus. Dari jendela, ia bisa melihat mahasiswa berlalu-lalang dengan tas punggung dan selempang mereka; tertawa, berdebat, pacaran, hidup.

Saya masuk ke ruangannya pukul dua siang dengan segelas kopi dan tumpukan dokumen. Sebagai asisten riset, tugas saya sederhana: mengumpulkan data, menyusun footnote, dan memastikan setiap kutipan tercatat dengan benar. Hari itu, kami harus menyelesaikan naskah akademik untuk pemerintah. Naskah penting yang mampu memuluskan implementasi kebijakan relokalisasi masyarakat urban.

“Nah, Dimas. Datang juga.” Ia menyapa tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Kacamata bacanya melorot di ujung hidung. “Sudah dapat data demografis kelompok C?”

Kelompok C dan huruf-huruf lainnya. Label netral yang kami gunakan untuk demografi etnis dan golongan tertentu.

“Sudah, Pak.” Saya meletakkan folder di mejanya. “Distribusi geografis, komposisi usia, tingkat pendidikan, semuanya ada.”

Ia mengangguk puas, membolak-balik halaman dengan gerakan mekanis. Jari-jarinya berhenti di tabel yang saya buat semalam. Sebuah grafik populasi berdasarkan wilayah.

“Bagus. Ini akan memperkuat argumen di bab empat.” Ia mencatat sesuatu di margin. “Kita perlu menunjukkan bahwa konsentrasi mereka di wilayah perbatasan menimbulkan risiko keamanan struktural.”

Frasa keamanan struktural terdengar ilmiah dan objektif.

Saya duduk di kursi kantor sudut ruangan, membuka laptop untuk melanjutkan draf bab lima. Prof. Hartawan mulai mendiktekan revisi dengan suara datar dan terukur. Secara praktis mengingatkan saya dengan masa kuliah dulu. Nadanya persis saat ia mengajar teori negara atau membahas kebijakan fiskal.

“Tulis begini,” katanya. “Mengingat kapasitas ekonomi yang terbatas dan kebutuhan untuk memaksimalkan produktivitas nasional, realokasi kelompok C ke wilayah pengembangan khusus merupakan langkah rasional. Ini merupakan optimalisasi distribusi modal manusia.”

Jari saya bergerak di atas kibor. Kata demi kata muncul di layar; kalimat-kalimat yang terdengar seperti teori ekonomi, atau perencanaan pembangunan. Tidak ada kata “pengusiran” atau “pemisahan paksa.” Hanya “realokasi” dan “wilayah pengembangan khusus.”

“Pak,” saya bersuara pelan. “Koreksi saya kalau saya salah. Wilayah pengembangan khusus itu maksudnya kamp, kan?”

Prof. Hartawan menatap saya di atas bingkai kacamatanya, seperti guru yang harus menjelaskan hal mendasar pada murid yang lambat.

“Kamp adalah kata yang bermuatan. Kita berbicara tentang pusat pelatihan kerja dengan fasilitas hunian terintegrasi.” Ia kembali pada dokumennya. “Presisi bahasa itu penting dalam penulisan akademis. Paham ta?

Saya paham. Tiga tahun bekerja dengannya telah mengajarkan saya kekuatan dahsyat dari bahasa. Karena kata-kata mempunyai kemampuan untuk mengubah realitas. Bagaimana “kehilangan pekerjaan massal” menjadi “transisi tenaga kerja,” dan “kemiskinan ekstrem” menjadi “kelompok berpendapatan terendah”.

Kami bekerja sampai malam. Di luar jendela, lampu taman mulai menyala, mahasiswa-mahasiswa pulang ke kos atau keluyuran lagi entah ke mana. Prof. Hartawan menraktir makan malam hari itu dengan layanan pesan makanan online. Saya yang mengambil makanan di lobi, sambil menerka kategori demografi kelompok huruf si pengemudi ojek daring. Kami makan sambil terus bekerja, nasi dan ayam geprek di sebelah kiri keyboard, dokumen di sebelah kanan.

“Bab enam ini perlu diperkuat,” katanya sambil mengunyah. “Saya bisa bayangkan, banyak kritik yang harus diantisipasi. Terutama dari kelompok HAM. Bukannya ini akan beresiko melanggar HAM, tapi lebih baik kita ambil tindakan preventif. Setuju?” Ucapnya kali ini sembari menyeruput teh panasnya.

Saya membayangkan berbagai skenario, tentang bagaimana kebijakan ini bisa menuai kritik seperti itu, lalu mengangguk setuju. “Tambahkan bagian tentang preseden historis. Kan banyak negara-negara maju yang juga pernah melakukan program serupa dengan sukses… Sebentar saya mau ke belakang dulu.” Profesor itu dengan letih berjalan ke arah toilet kampus yang sudah mulai redup.

Tapi pikiran saya masih mengawang ke skenario, jika, kebijakan ini diimplementasikan. Apa preseden historis yang sukses? Saya mengetik: “Kebijakan realokasi populasi memiliki preseden dalam sejarah pembangunan modern…”

Jari saya berhenti. Di kepala muncul gambar-gambar yang saya pernah saksikan melalui banyak media: trail of tears, deportasi kulak, Japanese internment camps. Preseden historis.

Prof. Hartawan kembali ke ruangan. Ia duduk, mengeluarkan hembusan letih sambil mengelus-elus perutnya. Kekenyangan mungkin.

“Pak, contoh negara mana yang sebaiknya saya rujuk?”

Ia berpikir sebentar. “Gunakan kasus realokasi populasi urban di Singapura tahun 60-an. Itu terdengar netral dan fokus pada pembangunan ekonomi. Hindari contoh yang kontroversial.”

Pukul sepuluh malam, draf selesai. Seratus dua puluh halaman argumen terstruktur, data statistik, proyeksi ekonomi, dan rekomendasi kebijakan. Semuanya rapi dalam format akademis standar, dengan font Times New Roman 12, spasi ganda, dan sitasi yang komplit.

Prof. Hartawan membaca ulang kesimpulan dengan lantang: “Dengan demikian, program realokasi dan pelatihan ulang Kelompok A-E merupakan respons kebijakan yang proporsional dan berbasis bukti terhadap tantangan integrasi sosial-ekonomi. Implementasi yang terukur dan bertahap akan meminimalkan disrupsi sambil memaksimalkan manfaat jangka panjang bagi kohesi nasional.”

Senyum tipis memancar. “Bagus. Ini akan dibawa ke rapat kabinet minggu depan.”

Saya mengemas barang-barang. Laptop, buku catatan, koleksi pulpen yang hampir habis tintanya. Prof. Hartawan mematikan komputer, merapikan meja dengan gerakan-gerakan rutin. Seperti pegawai kantor biasa yang menyelesaikan laporan kuartalan.

Di parkiran, kami berpapasan dengan satpam malam yang memberi salam. Prof. Hartawan membalasnya dengan ramah, menanyakan kabar cucu satpam yang baru lahir. Percakapan hangat tentang hal-hal sehari-hari, kemudian kami berpisah ke mobil masing-masing.

Di perjalanan pulang, saya menyalakan radio. Berita malam melaporkan protes kecil di alun-alun kota — kelompok C dan D menolak rencana pemerintah. Penyiar membacakan dengan nada netral, “Pihak berwenang menegaskan bahwa kebijakan ini didasarkan pada kajian akademis komprehensif dari para ahli terkemuka.”

Prof. Hartawan akan disebutkan dalam konferensi pers besok. Reputasi namanya sebagai ilmuwan objektif, gelar doktoral dari luar negeri, ratusan publikasi, tentu saja akan memberi legitimasi.

Saya telah berada di apartemen dengan kamar yang sangat luas untuk satu orang. Saya membuka laptop lagi, menatap dokumen yang kami buat. Seratus dua puluh halaman yang rapi, logis, penuh data. Tidak ada kata “pembunuhan” di sana. Bahkan tidak ada kata “penderitaan” atau “kehancuran.”

Semuanya bernuansa kebijakan. Hanya angka. Hanya rekomendasi berbasis bukti lapangan.

Saya teringat pada fakta menarik bahwa tidak semua aktor-aktor Holocaust adalah monster, melainkan birokrat yang mengikuti prosedur. Gerigi di dalam mesin. Malam itu, di kamar kos saya, saya memahami sesuatu yang lebih lucu: kejahatan tidak memerlukan kebencian. Ia memerlukan profesionalisme, dedikasi pada tugas, dan kemampuan untuk mengubah manusia menjadi angka di spreadsheet.

Saya menutup laptop. Minggu depan, kami akan mulai menyiapkan presentasi untuk kabinet. PowerPoint dengan grafik warna-warni, bullet points yang ringkas, animasi transisi yang halus. Prof. Hartawan akan menyampaikannya dengan tenang, menjawab pertanyaan dengan bukti, dan meyakinkan para pembuat keputusan bahwa ini adalah jalan terbaik.

Profesional. Objektif.

Tentu sebagai asisten riset dan mentee yang baik, saya akan duduk di barisan belakang ruang rapat untuk mencatat usulan, pertanyaan dan detail penting lainnya. Melakukan pekerjaan saya dengan baik.

Sebelum tidur, saya memandang kota yang sedang tidur dalam kegelapan. Di suatu tempat di sana, ratusan ribu orang dari Kelompok A-E tidur tanpa tahu bahwa nasib mereka sudah dituliskan dalam font Times New Roman 12, spasi ganda, dengan footnote yang lengkap dan sitasi yang tepat.

Dalih pembunuhan terbaik adalah yang tidak terlihat seperti dalih sama sekali. Yang terdengar seperti kemajuan… Seperti ilmu yang bisa diyakini dengan buta… seperti kebijakan yang membawa kemakmuran bagi sebagian besar dari kita.

Seperti pekerjaan sehari-hari.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Dhony Fachri Wibawa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email