Penikmat Kopi dan Senja

Pesantren: Dari Spiritualitas menuju Kesadaran Sosial

Ali Afifi

2 min read

Pasca tayangan Trans 7 yang disinyalir telah merendahkan martabat kiai pesantren, berbagai respon bermunculan. Mulai dari kampanye boikot Trans 7 di media sosial, pemboikotan gerai Transmart oleh Banser, hingga demonstrasi damai oleh berbagai organisasi masyarakat.

Aksi demonstrasi ini muncul di sejumlah daerah dengan basis alumni pesantren yang kuat, seperti Malang, Jember, Kediri, dan wilayah lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pesantren, sebagai bagian dari kebudayaan, memiliki kekuatan sosial yang besar. Karisma kiai dan jaringan alumni pesantren masih berakar kuat dalam kognisi sosial masyarakat.

Baca juga:

Sebagai lembaga pendidikan sekaligus subjek budaya, pesantren telah memberikan kontribusi besar terhadap perjalanan bangsa—bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Ingatan kolektif kita masih menyimpan peristiwa 10 November 1945, saat kekuatan pesantren menjadi motor perlawanan terhadap penjajahan.

Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari membuktikan betapa kuatnya daya mobilisasi pesantren. Kharisma itu masih tetap hidup hingga hari ini. Demonstrasi pasca tayangan Trans 7 menjadi salah satu buktinya.

Secara pribadi, saya setuju dengan aksi protes tersebut. Trans 7 memang layak dikritik karena melihat pesantren hanya sebagai objek, bukan subjek yang terus tumbuh dan beradaptasi. Sebagai alumni pesantren, saya tahu betul bahwa pesantren bukan entitas kaku, melainkan organisme budaya yang dinamis dan reflektif.

Namun, di sisi lain saya juga menyayangkan pola respons pesantren yang cenderung itu-itu saja. Gerakan demonstrasi kali ini tampak lebih sebagai reaksi spiritual ketimbang tindakan rasional. Spirit perlawanan yang muncul memang lahir dari rasa cinta dan pembelaan terhadap simbol agama, tetapi sayangnya belum diiringi dengan analisis kritis terhadap akar persoalan yang lebih luas. Aksi massa seolah berhenti pada tataran emosional—menunjukkan solidaritas, tetapi tidak berlanjut pada upaya strategis yang dapat menciptakan perubahan sistemik.

Padahal, sebagai lembaga yang identik dengan pendidikan dan nilai-nilai keilmuan, pesantren seharusnya mampu menawarkan solusi yang lebih konseptual, bukan hanya simbolik. Demonstrasi tentu penting sebagai bentuk ekspresi moral, tetapi tanpa diikuti gerakan intelektual dan advokasi kebijakan, pesantren akan terus terjebak dalam pola reaktif: muncul ketika tersinggung, lalu tenggelam ketika isu mereda.

Pertanyaan mendasarnya: ke mana gerakan pesantren selama ini? Ke mana mereka ketika RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan? Ke mana pula suara pesantren saat konflik agraria terus menelan korban? Mengapa mereka baru muncul ketika simbol tertinggi mereka—para kiai—tersinggung?

Jika pesantren hanya bergerak ketika harga diri simboliknya diganggu, maka yang terjadi bukanlah kesadaran sosial, melainkan kesadaran simbolik. Padahal kekuatan sejati pesantren terletak pada nilai-nilai moral yang mampu menembus batas kepentingan kelompok dan berdiri di atas kepentingan kemanusiaan.

Bayangkan jika saat pembahasan RUU Perampasan Aset, pesantren turut mengawal dengan tegas. Dengan kharisma kiai dan jaringan alumninya, kesadaran publik bisa lebih cepat terbentuk, dan gerakan massa lebih mudah termobilisasi.

Dalam perspektif Islam, perjuangan menegakkan keadilan sosial juga merupakan bagian dari perjuangan agama. Bukankah segala bentuk pencurian dan kezaliman diharamkan? Maka keterlibatan pesantren dalam isu-isu kebangsaan seharusnya tidak berhenti pada perkara simbolik, tapi juga menjangkau ranah struktural.

Saya yakin, keterlibatan pesantren dalam ranah ini akan memberikan warna baru bagi perjuangan sosial di Indonesia. Gerakan keagamaan memiliki kekuatan yang tidak hanya bersifat moral, tetapi juga emosional dan kultural. Dalam sejarah, agama selalu menjadi sumber nilai yang mampu menggerakkan massa secara mendalam. Nilai-nilai seperti keadilan, kemanusiaan, dan amar ma’ruf nahi munkar bukan sekadar ajaran normatif, melainkan energi sosial yang jika dimobilisasi dengan tepat, dapat melahirkan perubahan besar.

Coba kita lihat Revolusi Islam di Iran, misalnya. Gerakan itu berangkat dari basis spiritual dan moral, namun dampaknya menjalar hingga ke level politik dan sosial. Kekuatan agama di sana tidak berhenti pada aspek ibadah, tetapi berkembang menjadi kesadaran kolektif untuk menolak kezaliman dan menegakkan keadilan. Ini membuktikan bahwa agama, ketika dijadikan fondasi nilai dalam gerakan sosial, memiliki daya transformasi yang luar biasa.

Baca juga:

Begitu pula pesantren di Indonesia. Dengan jaringan ulama dan santrinya yang luas, pesantren sesungguhnya menyimpan potensi serupa. Kiai bukan hanya guru spiritual, tetapi juga penjaga moral publik. Nilai-nilai yang ditanamkan di pesantren—tentang keikhlasan, keadilan, tanggung jawab, dan kepedulian sosial—dapat menjadi bahan bakar moral bagi gerakan masyarakat sipil. Jika kekuatan nilai-nilai ini diolah secara strategis dan rasional, pesantren bisa menjadi lokomotif perubahan sosial yang berakar pada spiritualitas, bukan sekadar reaksi sesaat.

Ke depan, pesantren perlu lebih tanggap terhadap persoalan nasional dan berani mengambil sikap. Dengan basis moral, sosial, dan kultural yang kuat, pesantren memiliki potensi besar untuk membawa bangsa ini menuju arah yang lebih adil dan beradab. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

Ali Afifi
Ali Afifi Penikmat Kopi dan Senja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email