Pasca penghapusan sistem perbudakan pada tahun 1865, masyarakat keturunan Afrika di Amerika tidak serta merta mendapatkan kemerdekaannya dalam kehidupan. Pasalnya, Amerika menjalankan sistem segregasi ras, yaitu pelarangan percampuran kontak sosial antara warga kulit putih dengan kulit berwarna.
Pemisahan sosial itu bukannya tanpa maksud. Baik secara langsung ataupun tidak langsung sistem pemisahan itu memberikan efek pembedaan hak yang didapatkan setiap warga negara. Kulit putih mempunyai privilege dalam mencari kerja, mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas publik. Kulit putih seolah mempunyai strata tertinggi sebagai warga negara yang patut mendapatkan kemudahan-kemudahan itu. Sementara masyarakat keturunan Afrika, Indian, Spanyol, dan kulit berwarna lainnya mendapatkan diskriminasi.
Masyarakat keturunan Afrika, terutama, dianggap masyarakat kriminal, bodoh, dan kasar. Identitas historisnya sebagai keturunan budak membuat mereka dipandang tidak layak bergaul dengan masyarakat kulit putih. Adapun alasan lain yang digunakan untuk memisahkan adalah karena orang-orang kulit hitam dianggap sangat rentan berbuat kekerasan dan aktivitas kriminal yang mengancam keselamatan orang-orang kulit putih.
Politik segregasi ras ini dari tahun ke tahun mulai ditinggalkan karena tidak relevan. Politik berdasarkan kecurigaan dan diskriminasi itu sangat menyesatkan dan membuat kelompok-kelompok masyarakat tertentu menderita secara fisik maupun psikis. Fakta saintifik perlahan tapi pasti membuktikan bahwa politik segregasi ras dibangun dengan argumen-argumen yang keliru dan penuh prasangka.
Baca juga:
Segregasi Gender
Secara samar, politik segregasi ini, walaupun tidak digaungkan secara resmi, terjadi di Indonesia. Bedanya, ini bukanlah segregasi ras atau warna kulit, tapi segregasi gender. Masyarakat yang mempunyai gender selain laki-laki atau perempuan dianggap menyimpang. Mereka seperti disingkirkan dalam kegiatan masyarakat ataupun lingkungan sosial.
Salah satu kaum minoritas yang terdiskriminasi itu adalah gay. Orientasi seksual yang mereka miliki, yaitu tertarik dengan sesama lelaki, dianggap amoral. Mereka sering kali dikambinghitamkan dengan label biang kemunculan dan menyebarnya penyakit menular seksual. Aktivitas seksual mereka dianggap berbahaya dan tidak wajar. Mereka sering diasingkan dari masyarakat karena dianggap bisa memengaruhi masyarakat lainnya untuk menjadi gay.
Dalam dunia medis, gay juga pernah dianggap sebagai kelainan, begitu pun di bidang psikologi. Individu gay pernah dianggap mengalami gangguan jiwa. Walaupun secara resmi dunia medis dan psikologi sudah mencoret anggapan gay dari daftar kelainan dan gangguan jiwa, tidak serta merta hal itu menghapus stigma gay pada masyarakat. Bahkan, beberapa dokter dan psikolog masih berpegang pada status lama, yaitu individu gay sebagai orang yang harus disembuhkan.
Perspektif negatif terhadap gay tersebut membuat komunitas gay mengalami apa yang dialami masyarakat keturunan Afrika di Amerika yang kehilangan hak-haknya hanya karena warna kulit dan silsilah keluarga. Komunitas gay sangat sulit mendapatkan pendidikan tinggi, pekerjaan, layanan kesehatan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang relatif mudah diakses oleh masyarakat pada umumnya.
Di ruang publik, gay juga sering mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis. Gaya berpakaian, gestur, dan cara berbicara mereka yang berbeda selalu dihubungkan dengan godaan seksual. Mereka dianggap biang kerusakan moral masyarakat. Karena itu, keberadaan mereka sangat dibatasi. Mereka seperti terusir dari ruang publik yang seharusnya terbuka bagi siapa saja.
Strategi Komunikasi
Banyak sekali stigma dan asumsi negatif yang disematkan pada gay sehingga membuat mereka kehilangan hak-haknya, termasuk hak berpendapat dan berekspresi. Komunitas gay tidak bisa mendefinisikan dengan bebas opini, pemikiran, dan ide-ide mereka di media massa. Masih jarang sekali media massa yang memberikan mereka ruang yang proporsional untuk menuliskan apa pun sesuai sudut pandang mereka.
Keterbatasan dalam mengutarakan pendapat di media massa itu menimbulkan ketimpangan tersendiri di bidang ketersediaan informasi dan pengetahuan. Komunitas gay juga sulit berkomunikasi dengan sesama gay secara terbuka dan leluasa. Sensor-sensor media massa membatasi suara-suara mereka. Selain membuat komunitas gay kekurangan informasi yang relevan dengan mereka, ketiadaan ruang untuk komunitas gay bersuara juga semakin memperparah stigma gay di masyarakat. Keberadaan dan eksistensi mereka semakin disalahpahami.
Untuk itulah mereka membuat media alternatif di luar media mainstream untuk dapat menyuarakan aspirasi, pemikiran, dan opini mereka. Aktivis gay berusaha mencari format terbaik bagi komunitas mereka untuk berkomunikasi, berkorespondensi, dan memperkuat jejaring. Salah satu jalan yang mereka tempuh adalah membuat zine.
Format zine yang disusun dan dicetak sendiri oleh komunitas dengan biaya sendiri, serta editorial yang minimalis memudahkan komunitas gay menuliskan apa pun dari perspektif mereka. Biaya produksi zine yang murah dan sangat bebas dilipatgandakan juga membuat media itu lebih mudah tersebar dan dibaca oleh semua orang. Selain untuk media komunikasi bagi sesama gay, zine tersebut juga digunakan sebagai media edukasi bagi masyarakat bahwa banyak sekali salah paham terhadap gay. Zine berusaha menjelaskan secara lebih objektif perihal apa dan siapa gay yang sebenarnya.
Salah satu contoh zine yang pernah dibuat kelompok gay adalah Jaka. Media ini diproduksi dan beredar di Yogyakarta sejak era 80-an. Komunitas gay di Jogja menggunakan Jaka untuk menuliskan berita-berita yang lebih objektif dan proporsional tentang gay di Yogyakarta. Saking mudahnya zine itu dicetak, besar kemungkinan eksemplar Jaka juga tersebar ke luar daerah dan strateginya ditiru oleh komunitas gay di daerah lain.
Baca juga:
Zine dan Penjernihan
Komunitas bawah tanah maupun subkultur yang terpinggirkan dalam masyarakat sudah menggunakan zine untuk media penyebaran ide sejak lama. Salah satu subkultur tersebut adalah punk.
Komunitas punk juga sering disalahpahami. Fesyen mereka yang nyeleneh, gestur yang nyentrik, juga selera musik yang tidak mainstream membuat mereka dianggap musuh masyarakat dan penyebab kebobrokan moral. Keberadaan mereka dalam masyarakat selalu menjadi perhatian khusus, seolah-olah mereka adalah biang kerusuhan dan kriminalitas.
Pandangan-pandangan negatif itu membuat apa pun yang terjadi dalam komunitas punk dikabarkan secara bias oleh media massa dan mulut-mulut masyarakat. Jika ada suatu keburukan, misalnya, kekerasan yang melibatkan komunitas punk, masyarakat akan menghakimi habis-habisan secara sosial dan menjadi justifikasi kebencian terhadap punk. Media massa akan dengan mudah mengangkatnya dengan judul yang dibesar-besarkan. Sebaliknya, jika komunitas punk terlibat dalam kegiatan positif, misal, penggalangan dana bagi pengungsi bencana alam, hal itu tidak akan terekspos secara proporsional. Seolah hal itu tidak cukup penting untuk diberitakan kepada masyarakat luas.
Dengan keterbatasan-keterbatasan itu, sangat strategis jika punk membuat media alternatif untuk memberitakan komunitas mereka secara lebih adil dan proporsional. Bentuk dari zine sangat sederhana, yaitu dari kertas folio atau A4 yang dilipat jadi dua bagian dan distaples. Penggandaannya cukup difotokopi dan setiap orang dibebaskan menggandakannya tanpa harus izin terlebih dahulu.
Proses editorial zine cukup sederhana. Tidak ada sensor bahasa yang terlalu ketat di dalam zine. Hal itu menjadi pertimbangan penting karena tidak semua yang mempunyai ide bagus itu pandai menulis. Begitu juga sebaliknya, tidak semua penulis mempunyai ide bagus. Untuk menjalankan asas kesetaraan, nilai yang dijunjung tinggi dalam komunitas punk selain do it yourself dan anti kemapanan, semua anggota komunitas—baik yang pandai menulis ataupun tidak—mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa menyampaikan pendapat, opini, dan pandangannya melalui zine.
Oleh karena itu, jangan kaget jika di dalam zine kita tidak akan menemukan kebakuan bahasa, kalimat, ataupun paragrafnya. Bahkan, tata letaknya pun sangat tidak teratur. Jenis-jenis huruf yang digunakan pun juga beraneka ragam. Gaya bahasa zine bisa halus, bisa juga kasar.
Zine membuat semua anggota komunitas bisa menulis, bisa memberitakan, dan bebas mengutarakan pendapat dan pandangannya tanpa takut dianggap tidak bisa menulis. Semua anggota komunitas juga semakin termotivasi untuk menulis dan menulis dengan adanya zine.
Keberadaan zine komunitas mengumpulkan suara yang lebih jernih karena ditulis oleh orang-orang yang berkecimpung langsung di dalam komunitas tersebut. Dengan menuliskan apa yang mereka alami sehari-hari, komunitas menyuguhkan sesuatu yang masyarakat umum tidak pernah temui dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari orang kebanyakan. Hal itu sangat besar perannya dalam mengikis prasangka dan kesalahpahaman terhadap komunitas marjinal seperti gay dan punk.
Baca juga:
Komunitas punk sangat menjunjung tinggi perbedaan. Konsep equality membuat mereka sangat membenci rasisme ataupun diskriminasi gender. Mereka berkeyakinan bahwa setiap orang bebas berekspresi dan berkarya. Semua orang mempunyai kedudukan yang setara dan hak yang sama.
Nilai kesetaraan itu juga menjadikan semangat zine punk dan zine gay mempunyai satu sisi irisan atau benang merah yang sama, yaitu menghancurkan segregasi gender. Dengan semangat militan, mereka memproduksi zine dengan spirit do it yourself—ditulis sendiri, diproduksi sendiri, dan disebar sendiri. Mereka berada dalam satu barisan paling depan dalam menghancurkan stigma dan prasangka terhadap gender.
Zine lantas menjadi simbol perlawanan terhadap tirani sesat pikir dan prasangka yang membelenggu masyarakat. Untuk keadilan sosial yang lebih baiklah zine harus tetap ada dari masa ke masa.
Editor: Emma Amelia